Rabu, 30 Juli 2008

ISRA' DAN Mi'RAJ

“Dan katakanlah: “Segala puji bagi ALLAH, DIA akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-NYA, maka kamu akan mengetahui. Dan TUHAN-mu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah: 2)

Peristiwa besar ini telah jelas dan gamblang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih yang jumlahnya sangat banyak dan mutawatir. ALLAH telah berfirman :“Maha Suci ALLAH, yang telah memperjalankan hamba-NYA pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah KAMI berkahi sekelilinginya agar KAMI perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran KAMI. Sesungguhnya DIA, adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS AL Isro : 1)

Adapun dalil dari hadits sangat banyak sekali, para ulama dari ahli ilmu sepakat dengan keshahihnya. Tercantum dalam kitab hadits, As-Shahihain, kitab-kitab tarikh, shirah dan tafsir yang ma’tsur dan terpercaya. Seluruh ulama sepakat dengan zhahirnya kejadian Isra’ yang termaktub dalam ayat tersebut dan sebagian kelompok ulama memandang bahwa kejadian Mi’raj tersirat dalam ayat yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an.

Firman ALLAH dalam surat An-Najm ayat 13-18: “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagagian tanda-tanda (kekuasaan) RABB-nya yang paling besar.” (QS. An-Najm : 13-18)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Nabi melihat bentuk asli malaikat Jibril pada dua tempat, ketika Beliau menerima wahyu pertama di gua Hira, beliau melihatnya membentangkan 600 sayapnya yang meliputi ufuk. Lalu ia mendekati Nabi SAW. Sebagaimana disebutkan dalam firman ALLAH yang artinya: “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-NYA (Muhammad) apa yang telah ALLAH wahyukan.” (QS An Najm : 5-10)

Yang kedua ketika malam Isra’ di Sidratul Muntaha sebagaimana firman ALLAH: “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratil Muntaha.” (QS. An Najm: 13-14)

SIKAP ORANG YANG BERIMAN

Tiada yang lebih pantas bagi seorang yang mengaku beriman kepada ALLAH bahkan merupakan suatu kewajiban untuk meyakini dan mempercayai kebenaran kejadian ini. Contoh dan teladan ini ada pada diri Abu Bakar, karena pembenarannya ini di kala semua orang meningkarinya, karena hal inilah beliau mendapat gelar “As Shiddiq”.

Imam Ibnu Ishak mengisahkan bahwa ketika Rasulullah SAW turun dari langit menuju ke bumi bersama malaikat Jibril dan ketika itu Beliau sampai di Baitul Muqadas, Beliau bertemu dengan beberapa Nabi diantaranya adalah Nabi Ibrahim, Musa dan Isa kemudian kepada Beliau diajukan dua bejana yang berisi susu dan khamr. Beliau memilih bejana yang berisi susu dan meninggalkan khamr. Lalu meminum susu tersebut, malaikat Jibril pun berkata, “Engkau telah diberi hidayah dengan memilih sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia demikian juga umatmu telah mendapatkan hidayah itu serta diharamkan khamr bagi kalian.

Keesokan harinya ketika Rasulullah SAW sampai di Makkah di pagi hari Beliau ceritakan kejadian ini kepada orang-orang Quraisy dengan maksud mereka dapat mempercayainya. Tak berapa lama ada salah seorang sahabat Nabi yang mengumumkan kejadian ini kepada khalayak ramai, ia berkata, “Apakah kalian masih percaya kepada Al-Amin, Muhammad ?”. Mereka pun serentak menjawab, “Ya”. “Lalu apabila ia mengatakan akan ada seekor kuda yang akan datang menyerang dari balik bukit ini, apakah kalian juga akan mempercayainya?”. Untuk kedua kalinya mereka mengiyakannya. Kemudian sahabat tadi mengkisahkan kejadian Isra’ dan Mi’raj yang dialami Nabi SAW. Mereka merasa heran dan tidak percaya dengan apa yang ada pada mereka. Sebagian dari orang-orang yang telah masuk Islam menjadi ragu-ragu. Sedang orang musyrikin jelas mereka akan menolak dengan tegas dan menganggap Muhammad adalah seorang yang telah hilang akal. Mereka pun ingin menguji kebenaran peristiwa yang baru saja dialami Nabi tersebut dengan berbagai pertanyaan seperti berapa jumlah pintu dan jendela Masjid Al-Aqsha atau bagaimana sifat dan ciri-ciri pepohonan dan yang ada disekitarnya. Dan dengan mantap dijawab oleh Rasulullah. Segolongan manusia yang sebelumnya yakin dengan apa yang mereka yakini tetap saja dalan keragunnya dan akhirnya mereka murtad.

Segolongan orang Quraisy juga mendatangi Abu Bakar untuk memberitahu dan menanyakan kebenaran kisah ini. Beliau bertanya, “Apakah yang menceritakan ini adalah Muhammad?” Mereka menjawab dengan serentak, “Ya, itu dia sedang berada dalam masjid.” “Sungguh benar apa yang telah ia kabarkan, ini adalah pendapatku yang menyelisihi pendapat kalian”. Setelah itu beliau beranjak untuk menanyakan peristiwa ini langsung kepada Nabi. “Apakah benar apa yang mereka ceritakan datang darimu wahai utusan ALLAH,” tanya Abu Bakar. “Benar,” jawab Nabi. Kemudian sahabat Abu Bakar meminta Nabi untuk menceritakannya dan Beliau pun menceritakan apa yang telah terjadi pada diri beliau. “Demi ALLAH, sungguh benar apa yang dikatakan engkau wahai Rasulullah. Ini merupakan tanda kebesaran ALLAH,” sergah Abu Bakar.

Dengan jawaban tersebut Rasulullah memberinya gelar Ash-Shidiq (yang dapat dipercaya). Mulai hari itu pula Abu Bakar dipanggil dengan gelarnya.

Al-Hasan berkata, “Adapun bagi orang-orang yang mengingkari dan murtad dengan adanya kejadian ini, maka ALLAH telah menurunkan ayat atas mereka dalam surah al-Isra ayat 60 :
“Dan (ingatlah), ketika KAMI wahyukan kepadamu. ‘Sesungguhnya (ilmi) RABB-mu meliputi segala manusia’. Dan KAMI tidak menjadikan mimpi yang telah KAMI perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Dan KAMI menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (QS. Al-Isra : 60).
Demikian juga apa yang telah dikatakan Imam Qatadah.

SYUBHAT-SYUBHAT

Diantara pemahaman yang keliru dan sangat tidak mengimani apa yang telah menjadi kekuasaan ALLAH, menjadi tanda keagungan yang DIA miliki adalah seseorang yang menganggap mustahil dengan terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Ia beranggapan bagaimana mungkin seseorang dapat berjalan dari Masjidil Haram yang ada di Makkah menuju ke Masjidil Aqsha di Palestina hanya dalam satu malam. Kalaulah benar yang mustahil adalah perjalanan dari Masjidil Aqsha ke tingkatan langit paling tinggi dalam sekejap, satu malam saja. Sungguh orang-orang ini tidak beriman kepada ALLAH. Karena ALLAH telah kisahkan sendiri dengan firman-NYA dalam Al-Qur’an tentang kejadian Isra’ dan Mi’raj ini.

Atau seseorang yang menganggap mustahil dengan perjalanan ke luar planet bumi yang memiliki batas udara yaitu atmosfer bumi. Di luar batasan ini adalah ruang hampa udara berjarak 300 ribu kilometer lebih. Bilakah seseorang dapat hidup tanpa udara. Sekali lagi pemahaman ini adalah pemahaman orang-orang yang bodoh. ALLAH adalah Pencipta segala sesuatu. ALLAH maha berkehendak, menghidupkan dan mematikan sesuatu, hanya ALLAH-lah yang maha kekal dan hidup, yang mendahului dan mengakhiri sesuatu, maha sempurna ALLAH dari apa yang mereka anggap. Mereka meragukan kebenaran dan kekuasaan ALLAH.
WALLAHu a’lam.


sumber: Ar-Risalah: no. 38 tahun 2004

SISTEM YANG SEMPURNA: PEMBEKUAN DARAH

Peradaban manusia telah berusia ribuan tahun, dan selama itu pula pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi manusia berhasil menyingkap rahasia alam semesta dan menghasilkan berbagai teknologi. Namun, apa yang dihasilkan manusia ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan kehebatan dan kesempurnaan teknologi di alam.

Kekuatan teknologi dan peradaban manusia – yang merupakan simbol kekuatan, kecerdasan, kehebatan dan kedigdayaan mereka – dengan mudah terhempaskan oleh kekuatan alam seperti bencana gunung berapi, banjir, angin tornado, gempa bumi. Bahkan manusianya pun mudah dibuat lunglai tak berdaya, bahkan tak bernyawa, akibat serangan organisme yang tampaknya jauh lebih lemah dari dirinya, seperti virus, bakteri, jamur, dan sebagainya.

Demikianlah, ini berarti keberadaan serta keberlangsungan alam ini beserta seluruh isinya, termasuk tumbuhan, hewan dan manusia itu sendiri, tercipta dengan kecerdasan, kekuatan dan kekuasaan yang jauh lebih hebat dari manusia maupun makhluk lainnya. Inilah kekuasaan dan kekuatan Pencipta dalam mencipta dan berkehendak atas segala sesuatu, yang tak dapat dihadang oleh siapa pun, termasuk manusia itu sendiri. Seluruh seluk-beluk isi alam ini, termasuk tubuh manusia sendiri, telah dirancang dengan sengaja dan secara sempurna. Satu bagian kecil saja dari keseluruhan sistem yang mengatur tubuh manusia ini tidak berfungsi, maka ini akan membahayakan hidupnya. Di antara ratusan, atau bahkan ribuan, sistem yang ada pada tubuh manusia adalah sistem pembekuan darah.

Setiap orang mengetahui bahwa pendarahan pada akhirnya akan berhenti ketika terjadi luka atau terdapat luka lama yang mengeluarkan darah kembali. Saat pendarahan berlangsung, gumpalan darah beku akan segera terbentuk dan mengeras, dan luka pun pulih seketika. Sebuah kejadian yang mungkin tampak sederhana dan biasa saja di mata Anda, tapi tidak bagi para ahli biokimia. Penelitian mereka menunjukkan, peristiwa ini terjadi akibat bekerjanya sebuah sistem yang sangat rumit. Hilangnya satu bagian saja yang membentuk sistem ini, atau kerusakan sekecil apa pun padanya, akan menjadikan keseluruhan proses tidak berfungsi.

Darah harus membeku pada waktu dan tempat yang tepat, dan ketika keadaannya telah pulih seperti sediakala, darah beku tersebut harus lenyap. Sistem ini bekerja tanpa kesalahan sedikit pun hingga bagian-bagiannya yang terkecil.

Jika terjadi pendarahan, pembekuan darah harus segera terjadi demi mencegah kematian. Di samping itu, darah beku tersebut harus menutupi keseluruhan luka, dan yang lebih penting lagi, harus terbentuk tepat hanya pada lapisan paling atas yang menutupi luka. Jika pembekuan darah tidak terjadi pada saat dan tempat yang tepat, maka keseluruhan darah pada makhluk tersebut akan membeku dan berakibat pada kematian.

Keping darah atau trombosit, yang merupakan unsur berukuran paling kecil penyusun sumsum tulang, sangat berperan dalam proses pembekuan darah. Protein bernama faktor Von Willebrand terus-menerus mengalir dan berlalu-lalang ke seluruh penjuru aliran darah. Protein ini berpatroli, dengan kata lain bertugas memastikan bahwa tidak ada luka yang terlewatkan oleh trombosit. Trombosit yang terjerat di tempat terjadinya luka mengeluarkan suatu zat yang dapat mengumpulkan trombosit-trombosit lain di tempat tersebut. Sel-sel trombosit ini kemudian memperkuat luka yang terbuka tersebut. Trombosit lalu mati setelah melakukan tugas menemukan tempat luka. Pengorbanannya hanyalah satu bagian dari keseluruhan sistem pembekuan dalam darah.

Trombin adalah protein lain yang membantu pembekuan darah. Zat ini dihasilkan hanya di tempat yang terluka, dan dalam jumlah yang tidak boleh lebih atau kurang dari keperluan. Selain itu, produksi trombin harus dimulai dan berakhir tepat pada saat yang diperlukan. Dalam tubuh terdapat lebih dari dua puluh zat kimia yang disebut enzim yang berperan dalam pembentukan trombin. Enzim ini dapat merangsang ataupun bekerja sebaliknya, yakni menghambat pembentukan trombin. Proses ini terjadi melalui pengawasan yang cukup ketat sehingga trombin hanya terbentuk saat benar-benar terjadi luka pada jaringan tubuh. Segera setelah enzim-enzim pembantu proses pembekuan darah tersebut mencapai jumlah yang cukup, kumpulan protein yang disebut fibrinogen terbentuk. Dalam waktu singkat, terbentuklah benang-benang yang saling bertautan, saling beranyaman dan membentuk jaring pada tempat keluarnya darah. Sementara itu, trombosit atau keping-keping darah yang sedang berpatroli tanpa henti, terperangkap dalam jaring dan mengumpul di tempat yang sama. Apa yang disebut dengan gumpalan darah beku adalah penyumbat luka yang terbentuk akibat berkumpulnya keping darah yang terperangkap ini. Ketika luka telah sembuh sama sekali, gumpalan tersebut akan hilang.

Sistem yang memungkinkan pembentukan darah beku, yang mampu menentukan sejauh mana proses pembekuan harus terjadi, dan yang dapat memperkuat serta melarutkan gumpalan darah beku yang telah terbentuk, sudah pasti memiliki kerumitan luar biasa yang tak mungkin dapat disederhanakan. Sistem tersebut bekerja tanpa kesalahan sekecil apa pun bahkan hingga pada bagian-bagiannya yang terkecil sekalipun.

Apa yang terjadi ketika terjadi sedikit gangguan pada sistem pembekuan darah yang bekerja secara sempurna ini? Misalnya, jika terjadi pembekuan dalam darah meskipun tidak terjadi luka, atau seandainya gumpalan darah beku tersebut mudah terlepas dari luka, apa yang akan terjadi? Hanya ada satu jawaban atas pertanyaan ini: dalam keadaan demikian, aliran darah ke organ-organ tubuh yang paling penting dan peka terhadap kerusakan, seperti jantung, otak dan paru-paru, akan tersumbat oleh gumpalan darah beku, dan kematian pun tak terelakkan.

Ini adalah kenyataan yang menunjukkan kepada kita sekali lagi bahwa tubuh manusia didesain dengan sempurna tanpa cacat. Sungguh mustahil menjelaskan sistem pembekuan darah dengan menganggapnya sebagai peristiwa kebetulan atau “perkembangan bertahap” sebagaimana pernyataan teori evolusi. Sistem yang dirancang dan diperhitungkan dengan hati-hati seperti ini adalah bukti kesempurnaan dalam penciptaan yang tak perlu diperdebatkan lagi. Allah, yang telah menciptakan dan menempatkan kita di bumi, telah menciptakan tubuh kita beserta sistem pembekuan darah yang melindungi kita dari banyak peristiwa luka yang kita alami sepanjang hidup.

Selain mengatasi luka yang dapat terlihat, pembekuan darah juga sangat diperlukan untuk memulihkan kerusakan pada pembuluh darah kapiler dalam tubuh kita yang terjadi setiap saat. Meski tidak terlihat, terdapat pendarahan kecil di dalam tubuh secara terus-menerus. Ketika membenturkan lengan pada pintu atau duduk hingga kepayahan, ratusan pembuluh darah kapiler pecah. Pendarahan yang kemudian terjadi segera diatasi oleh sistem pembekuan darah, dan pembuluh kapiler dibentuk kembali seperti sedia kala. Jika benturan lebih keras terjadi, maka akan terjadi pendarahan yang lebih parah dalam tubuh dan menimbulkan luka memar yang umumnya disebut “turning purple” atau “berubah menjadi ungu”. Seseorang yang sistem pembekuan darahnya tidak berfungsi dengan baik, misalnya pada penderita hemofilia, harus menghindari benturan sekecil apa pun. Penderita dengan hemofilia sangat parah tidak mampu hidup lama. Sebab, pendarahan kecil saja, misalnya akibat terpeleset dan jatuh, sudah cukup untuk mengakhiri hidupnya.

Kenyataan sederhana ini sudah sepatutnya mendorong setiap orang merenungkan keajaiban penciptaan dalam dirinya sendiri dan bersyukur kepada Allah, yang telah menciptakan tubuhnya dengan sempurna tanpa kekurangan sedikit pun. Tubuh ini adalah kenikmatan tersendiri yang Allah karuniakan kepada kita. Kita tidak mampu membuat satu saja dari keseluruhan sel pembentuk tubuh tersebut. Allah berfirman kepada manusia: Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan (hari berbangkit)? (QS. Al Waaqi’ah, 56:57)

Sumber: Insight Magazine

THE MUSLIM WOMEN'S IDEAL CHARACTER

In the Qur'an, Allah informs us how belief benefits a woman:

"Do not marry women who associate [others with Allah] until they believe. A slave girl who is one of the believers is better for you than a woman who associates [others with Allah], even though she may attract you. And do not marry men who associate [others with Allah] until they believe. A slave who is one of the believers is better for you than a man who associates [others with Allah], even though he may attract you. Such people call you to the Fire, whereas Allah calls you, with His permission, to the Garden and forgiveness. He makes His Signs clear to people so that, hopefully, they will pay heed." (Surat al-Baqara: 221)

Allah reveals that belief, fear and respect of Allah, and Islamic morality are the foremost causes of the believers' strength of character and virtue. Belief makes all of a person's qualities meaningful. In addition, the Qur'an's morality helps women, and everyone else, to acquire a most strong, solid, and virtuous character. As Allah revealed in the verse, "No indeed! We have given them that by which they are remembered [i.e. their honor, eminence and dignity]" (Surat al-Mu'minun: 71), this morality gives people their dignity and honor. Therefore, women who live by this morality will be respected and enjoy their deserved honor and dignity.

As we mentioned earlier, Allah has not determined separate characters for men and women and therefore calls on all people to abide by one Muslim character. Therefore, Muslims fear and respect Allah, seek His good pleasure, and seek only to win the Hereafter, in the full knowledge that this worldly life is temporary and that he or she will die one day.

All Muslims always strive to live by the Qur'an's morality. Women who do so are free from all of the character defects, weaknesses, and prejudices found among unbelievers. Instead, they develop a strong character based on their belief. Believers disregard the suggestions and criticisms of their society, family, or friends and live according to the Qur'an's values and morality.

Maryam is one of the best role models for such women, for during all of the difficult trials that she underwent at the hands of her unbelieving society, she always showed her strength of character and integrity. And, the strength that she derived from her belief in Allah, her sincere submission to Him, and her constant adherence to Islam's values enabled her to preserve her honor and integrity. In fact, she was noted for these qualities among people.

In the coming pages, we will explore the basics of a woman's ideal character and how much it differs from the character of unbelieving women.

Muslim Women Submit to God

Muslim women believe in Allah with a true heart, submit completely to Him, are aware that there is no other deity, that He is the Lord of every being and thing, and that He is All-Powerful. Therefore, she fears and respects only Him and seeks to win only His good pleasure. She worships only Him, accepts only Him as her closest friend, and seeks only His help. She also knows that only He can direct good and bad toward her, and so lives in the full knowledge that she is dependent on Him. She knows that He keeps her alive, provides and cares for her, and protects and guards her. For these reasons, she has no expectations of other people.

She believes in Allah without the slightest doubt in her heart for her whole life, never losing heart or belief regardless of the circumstances. She knows how to be grateful and content with her closeness to Him both when her life is good and when she is undergoing difficulties. She is in a state of constant submission, certain of our Lord's love, compassion, forgiveness, and providence.

When she encounters a problem, she knows that Allah has provided a solution in the Qur'an, and that what matters most is her continued sincere love, submission, and trust in Allah. She is certain of Allah's promise that He creates everything according to His justice and with wisdom and goodness.

Even if her problems seem to go on forever, she never surrenders to hopelessness or worries when His help will come. Content with what He has sent her way, she maintains her patience and submission, knowing that something good will come out of it. She remembers what the Qur'an says about those who abandon their belief in such times. In addition, she recites "My Lord is with me and will guide me" (Surat ash-Shu'ara': 62), just as the Prophets did when faced with hardship. Throughout her life, her profound faith enables her to see Allah's compassion, closeness, love, help, and friendship at all times.

This superior character becomes even more distinctive when compared with that of unbelieving women. Some unbelieving women do not show the appropriate degree of submission in their encounters, because they ignore the fact that Allah creates everything and inserts much wisdom and goodness hidden therein. One of the best-known characteristics of such women is their impatience, lack of determination, panic, and throwing tantrums when experiencing various hardships.

For this reason, and to save themselves the hassle, men often try to keep women away from potentially troublesome situations. Movies and novels are full of such stories. Since they do not place their trust in Allah and do not submit to Him, they cannot find the patience and resolution to endure hard times. In fact, their strength is in direct proportion to the size of the gain they can expect from working through these difficulties.

Believing women derive their strength from their belief and their determination to win Allah's good pleasure. Therefore, their resistance can be quite powerful. The Qur'an reveals this truth in the following verse: "Allah's guidance, that is true guidance. We are commanded to submit as Muslims to the Lord of all the worlds" (Surat al-An'am: 71). Allah gives good news to those who submit to Him:

"Those who submit themselves completely to Allah and do good have grasped the Firmest Handhold. The end result of all affairs is with Allah." (Surah Luqman: 22)

"Not so! All who submit themselves completely to Allah and are good-doers will find their reward with their Lord. They will feel no fear and will know no sorrow." (Surat al-Baqara: 112)

The Muslim Women, the Qur'an, and the Hadiths

As is the case with all believers, a Muslim woman's sole sources of guidance are the Qur'an and the sunnah (example) of our Prophet (saas). She shapes her personality, character, lifestyle, ideals, desires, behavior, and morality according to these two sources. By asking "Do they then seek the judgment of the Time of Ignorance? Who could be better at giving judgment than Allah for people with certainty?" (Surat al-Ma'ida: 50), Allah proclaims that the most correct and best judgments are contained in the Qur'an. Moreover,

"... We have sent down the Book to you making all things clear and as guidance, and mercy and good news, for the Muslims." (Surat an-Nahl: 89)

Our Prophet (saas) said: "Verily, I have left among you the Book of Allah and the sunnah (example) of His Apostle. If you hold fast to them, you shall never go astray."21
With these words, he reminded Muslims that the most important guidance is the Qur'an and his sunnah.

When looking at an unbelieving society's stereotypical ideas of women, we notice immediately that they act according to their whims or instincts. The conditioning they receive from childhood onward about the ideal woman's character become almost their sole source of guidance. Given that the women in their immediate environment act and speak in the same way, that women portrayed in films and novels display the same character, that people seem to agree on what a woman's character should be, their character is a habitual one. Thus, it is easy to predict how they will respond in certain situations, what decisions they will reach, how they will behave, and even what they will say.

On the other hand, Muslim women always react correctly, make the right decisions, and obtain the best results because they are guided by the Qur'an and the Prophet's (saas) sunnah. Besides, they do not experience the unhappiness and discontent that unbelieving women do. As the following verse reveals, Muslim men and women lead a happy life, as promised by Allah: "Anyone who acts rightly, male or female, being a believer, We will give them a good life and recompense them according to the best of what they did" (Surat an-Nahl: 97).

Muslim Women Have Great Ideals

One of the unbelievers' most misguided character traits is the restrictions that they placed on people's ideals, thoughts, and lifestyle. In the case of women, society tells them that they have certain duties and responsibilities that they are expected to fulfill to the best of their ability. Usually, they are not encouraged to acquire different ideals or develop their personalities. Only when women become aware of this reality do they begin to perceive the need to seek greater ideals, widen their horizon, and develop their personalities.

Primarily, women are expected to provide for and cater to their families' needs and raise their children. Otherwise, they focus on themselves, according to the conditioning they received when young. They concentrate on their physical appearance, hair style, make-up, clothing and fashion in general; keeping their homes clean; and talking with their friends. While there is nothing wrong with such activities, it is wrong to limit their lives just to these tasks without even knowing why this is so.

Allah created men and women for a purpose and revealed their responsibilities in the Qur'an. Most importantly, each woman is responsible to our Lord, for He created her, gave her life, protected and watched over her, and provided for her. Men and women are required to lead the moral life prescribed by Allah, worship and serve Him, and to win His good pleasure. They are required to tell people who are far from the happy and contented life of following the Qur'an's values about Islam's values and to make a genuine effort to help them draw closer to Allah's pleasure, mercy, and Paradise. They must strive to save people from negative frames of mind, and from suffering under the influence of the chaos and disorder, all of which are presented by Satan and thus are devoid of true love, respect, and friendship.

All believers are obliged to help and guide those who are weak and distressed to His path:

What reason could you have for not fighting in the Way of Allah-for those men, women, and children who are oppressed and say: "Our Lord, take us out of this city whose inhabitants are wrongdoers! Give us a protector from You! Give us a helper from You!?" (Surat an-Nisa': 75)

Allah further reminds Muslims that they are obliged to assist orphans, people who are stranded, and other needy people:

"Worship Allah and do not associate anything with Him. Be good to your parents and relatives, orphans and the very poor, neighbors who are related to you and neighbors who are not related to you, and companions, travelers, and your servants. Allah does not love anyone vain or boastful." (Surat an-Nisa': 36)

A Muslim woman is aware of all these responsibilities and so does not focus only on herself. Rather, she does her best to solve the problems around the world, such as helping people who are suffering, fighting infectious diseases, working with children displaced or orphaned by war and conflict, and taking care of the elderly and other women as if they were her own problems.

She gives her full attention to every matter in her daily life, because she knows that the truly important thing is to win Allah's good pleasure, live the Qur'an's morality, and spread this morality in order to bring true contentment and happiness to all others. For this reason, she acts in the knowledge that what she encounters each day is not so important when put into the overall context of what she was created to do.

Muslim Women Are Dignified

"... And the soul and what proportioned and inspired it with depravity or heedfulness; he who purifies it has succeeded, he who covers it up has failed." (Surat ash-Shams: 7-10)

The above verses warn people about the selfish ego that, when not brought under control, will lead them to limitless evil. A person's fear and respect of Allah, as well as his or her belief in the Hereafter, gives each person the strength and reason to resist these temptations.

Without this awareness, people will follow their desires and not worry about their meeting with Allah in the Hereafter, where they will be held accountable for their deeds. If his ego demands anger, jealousy, or ill-treatment of someone else, he will indulge it. If her selfish ego encourages her to vent her anger or jealous frustration with insinuations, mockery, slander, lies, conspiracies, or hypocritical behavior, she will oblige it without giving it a second thought. Such people will commit all of these sins without reservation, because they believe that they will never have to account for their deeds.

Allah, however, reveals that all of these activities are unconstrained evils called for by the selfish ego. When people act on these impulses, things just get worse. People who cannot control their emotions, even when they know that what they are doing is wrong, show that they are both weak and ignore their conscience. In other words, they seem to grow smaller. It is debasing to be unable to act maturely or respond rationally when their selfish egos suggest otherwise. As Allah reveals, the dignifying and rightful response to such evil suggestions is to ignore them and act conscientiously. This character trait needs to be worked on, for eventually it will earn other people's respect and love and raise the person's ranks in His eyes, as well as in the eyes of other people.

Muslim women have enough dignity and character to reject such debasing behavior for small gains. Allah informs us of the conspiring nature of unbelieving women: "He saw the shirt torn at the back and said: 'The source of this is women's deviousness. Without a doubt your guile is very great'" (Surah Yusuf: 28). Unbelieving women often try to resolve situations by conspiring, intriguing, or lying instead of seeking rational solutions. Indulging Satan's suggestions, they fall back on hypocrisy, cowardice, or devious methods. Believing women, on the other hand, resolve their problems by honesty, openness, and sincerity, for their awareness of Allah totally removes them from such inappropriate behavior.

Unbelieving women also are characterized by envy. Allah mentions envious people and warns others about their evil: "Say: 'I seek refuge with the Lord of Daybreak, from the evil of what He has created and from the evil of the darkness when it gathers, and from the evil of women who blow on knots and from the evil of an envier when he envies'" (Surat al-Falaq: 1-5). Some unbelieving women are prone to such behavior, which causes distrust, tantrums, broken relationships, and endless arguments, all of which result in an unfulfilled and unhappy life. In addition, they cause great suffering and damage to themselves and to those around them. Believing women, however, will disregard this aspect of human ego, knowing that it leads to great losses in this life as well as in the next.

Mockery is another character defect of unbelieving women. In the following verse Allah warns them against such behavior: "O you who believe! People should not ridicule others who may be better than themselves; nor should any women ridicule other women who may be better than themselves. And do not find fault with one another or insult each other with derogatory nicknames" (Surat al-Hujurat: 11).

Those women who are shaped by the unbelief that rules their societies do not hesitate to ridicule people for their shortcomings or to mock others, because they do not think of the Hereafter. They do not consider this behavior as wrong, but rather as a kind of humor. Often this mockery is not even verbal, but is expressed by making faces, rolling one's eyes, imitating their mannerisms, or whispering about them. Believing women shun such activities, because they know that Allah requires them to live according to the Qur'an's morality.

In another verse, Allah reminds people not to speculate or gossip about others: "O you who believe! Avoid most suspicion. Indeed, some suspicion is a crime. Do not spy and do not backbite one another. Would any of you like to eat his brother's dead flesh? No, you would hate it. And have fear of Allah. Allah is Ever-Returning, Most Merciful" (Surat al-Hujurat: 12).

Believing women live dignified lives. Instead of mocking others, they try to help. They compliment people who are successful, instead of succumbing to envy and gossip. And, when in the company of unbelieving people who might somehow offend them, they do not compromise their integrity or dignity.

Muslim Women Have a Strong Character and Willpower

The values of unbelief usually identify power with such things as money, fame, prestige, or status, for each of them is believed to confer power on that particular person. In fact, even one who acquires the patronage of such a person considers himself or herself to be powerful. In reality, however, power based on this world's impermanent values can disappear just as quickly as it appeared.

Muslims derive their power from their faith, and so their power never changes. This is an important factor in the character of Muslim women, and Allah describes it in the following terms:

"O you who believe! If any of you renounce your religion, Allah will bring forward a people whom He loves and who love Him, humble to the believers, fierce to the unbelievers, who strive in the Way of Allah and do not fear the blame of any censurer. That is the unbounded favor of Allah, which He gives to whoever He wills. Allah is Boundless, All-Knowing. "(Surat al-Ma'ida: 54)


Hamid Aytac's calligraphy, in which the names of Prophet Muhammad (saas) and the four rightly guided caliphs are written.

Another important Islamic character trait revealed here is the believers' strong personality, which can withstand the criticism of people. Muslims know very well that all Prophets were accused and persecuted, made to suffer and forced to emigrate, or even killed. Nevertheless, these Prophets are the believers' role models, due to their strong, enduring, and solid personalities, as well as their patience and determination.

As Allah reveals, Muslims know that they will be tested in this life through hardship, suffering, and insulting words: "You will be tested in your wealth and in yourselves, and you will hear many abusive words from those given the Book before you and from those who associate [others with Allah]. But if you are steadfast and guard against evil, that is the most resolute course to take" (Surah Al 'Imran: 186). They will regard all such events as opportunities to prove their faith in Allah, their surrender and loyalty to Him, and will endure them with determination and patience.

They never show the weaknesses of unbelieving women. No one's insults, rude behavior, or criticism causes them to lose heart or become weak, and they consider it beneath their dignity to respond with an emotional display of hurt or being upset. Whatever happens, they trust in Allah and keep their peace of mind, knowing that Allah is ever Just and All-Knowing, and that "they will not be wronged by so much as the smallest speck" (Surat an-Nisa': 49). They surrender to Allah, knowing that He will expose any injustice, and so do not worry about any unfounded accusation.

Some unbelieving women consider strength and willpower to be male characteristics, out of the mistaken belief that only men have to show strength and determination for themselves, as well as for the women in their charge, in the face of adversity. Thus, they consider it to be in their best interest to surrender to men's intellect, willpower, and strength. Especially when encountering trouble and difficulty, they lose whatever little strength and willpower they have and panic, and thus give themselves up to irrational and confused behavior.

This pale and weak personality leads unbelieving women to pay too much attention to what other people think about them. Often, they knowingly do something wrong just to impress others or to win a respectable place among them. Likewise, if they are criticized, they feel belittled and disliked, and so feel devastated. Not understanding that what matters is their value in Allah's presence, they only seek the approval of people and end up being upset and distraught, thinking that all they ever do is a waste. As a result, they become depressed and lose their strength, willpower, and courage.

But Muslim women never stagger because of people's criticism. Given that they measure themselves by the yardstick of the Qur'an, which spells out clearly what is right and what is wrong, they strive to live up to the Qur'anic morality. If they are criticized for doing so, they become even more determined and stronger in their pursuit of His good pleasure, which is the highest goal to pursue. Believing that only the Qur'an's morality gives them any value in this world and the next, they do not care what other people think of them. Even if they are all alone, they do not follow the majority but remain independent. Bediuzzaman Said Nursi, when discussing this matter, stated that the people's approval has no significance for those who live in ways designed to win His good pleasure:

The Divine assent is sufficient. If He is your beloved, then everything is your beloved. If He is not your beloved, then the applause of the entire world is utterly worthless.22

You should seek Divine pleasure in your actions. If Almighty Allah is pleased, it is of no importance even should the whole world be displeased. If He accepts an action and everyone else rejects it, it has no effect. Once His pleasure has been gained and He has accepted an action, even if you do not ask it of Him, should He wish it and His wisdom require it, He will make others accept it. He will make them consent to it, too. For this reason, the sole aim in this service should be the direct seeking of Divine pleasure.23

O lower self, if you acquired your Creator's assent with your piety and devotion, then it shall be sufficient and there shall be no need to look for people's assent. If the people agree and accept on Allah's behalf, then it is good. If they act to gain worldly blessings, then it shall be utterly worthless. Because they are weak servants, just like you...24

Muslim Women Are Balanced and Measured

People who live by their own self-made rules can easily make compromises when they deem it in their best interests to do so. No paramount guiding principle shapes their lives and gives permanence to their personalities. Therefore, from time to time, their personalities show signs of change and cannot be considered consistent.

The defining factor is usually their selfish ego, for Allah reveals that all people have been created with egotistic tendencies. If people are ruled by their ego, all of their behavior will be determined accordingly. This will have an impact on their personality's balance, consistency, and stability. For example, they can become angry, emotional, cross, or envious at a moment's notice and then reflect it in their behavior. Such people constantly surprise others with their unexpected reactions, and so evoke distrust and uncertainty.

Such character traits are found among unbelieving women. Since they are far removed from the Qur'an's values, they surrender to the stereotyped emotions of women and let their lives be determined by this behavior. Eventually, this leads them to irrational and imbalanced behavior.

Believing women, since they read the Qur'an, know that their ego always tempts them toward wickedness and that Satan will try to persuade them to indulge in imbalanced and irrational behavior and to act on their instincts. In many verses, He reminds people that those who accept the Qur'an's guidance and follow the voice of their conscience will develop an ideal personality and become distinguished in both worlds.

Muslim women acquire this strong and superior personality by following the path shown by Allah. This involves conforming their responses to Islam's values in order to develop a measured and balanced personality. Their actions, viewpoints, and logic will never surprise other people, for their personalities will always reflect the stability flowing from the Qur'an's morality. In other words, they will have reliable personalities, unlike all unbelieving women.

Muslim Women Are Not Emotional

Unbelievers think that being emotional is an important part of the human character. According to this view, the resulting behavior is a feeling that needs to be experienced. Such behavioral defects as being angry, upset, and introverted, or weeping, complaining, and apathy, are encouraged, for they supposedly come from the heart. This view is completely wrong. In unbelieving societies, such emotionalism, especially that seen in women, is responsible for a weak personality. And, as we saw above, people with weak personalities are, to a great extent, unable to think rationally or logically and thus cannot make appropriate decisions.

Muslim women know the selfish ego's qualities and how to fight them, for their personalities and lives are defined by the Qur'an. They know that emotionalism clouds the mind, prevents reality from being seen as it is, and causes weakness and irresolution. In addition, they are very well aware that such stereotypical qualities as being sentimental, upset, introverted, angry, and envious are not consistent with the believers' character, because Allah does not like it and tells Muslims to refrain from it.

These behavioral defects issue from flawed beliefs and the lack of sufficient awareness of certain facts. People who easily surrender to them have either forgotten or else continue to deny the fact that Allah is All-Powerful; creates everything according to His wisdom, justice, and goodness; creates whatever He wills; and answers all prayers.

Genuine surrender and dedication to Him, as well as knowing that He controls everything, results in seeing goodness in everything and prevents inappropriate emotion-based behavior. Muslim women guard themselves against all such behavioral defects out of their strong love, and fear and respect of Allah. They seek to be role models of Islamic behavior, personality, and high morality, as the following verse reveals: "Those who say: 'Our Lord, give us joy in our wives and children and make us a good example for those who guard against evil'" (Surat al-Furqan: 74). Thus, they never give way to depression or emotionalism.

Avoiding these non-Islamic character traits, they acquire a strong personality in order to serve as examples to other women and act in full awareness of this responsibility. By cleansing their ego from wickedness, they find generosity and contentment in both worlds and thus live happy lives: "It is the people who are safeguarded from the avarice of their own selves who are successful" (Surat al-Hashr: 9).

Muslim Women Have a Genuine and Natural Personality

Sincerity means to be the same in every situation; to have one's heart reflect its feelings as they are; and to be honest, open, and clear. In other words, it consists of fully and honestly revealing one's personality and thoughts without seeking any gain for doing so. An important feature of sincerity is the impossibility of imitating in one's life what goes on in one's heart. A sincere person's behavior comes from the heart, is natural, and creates a very positive and lasting impression on other people. A genuine person's looks, conversation, style, and body language are natural and influential.

However, many people are unaware of sincerity's power and effect and so look for it elsewhere. Some people resort to pretence, hoping to discover what behavior or way of thinking will please the other people. Since all people have different character traits, these insincere people develop a suitable personality for each person they want to influence, behave differently, and try to appear as if they were representing different thoughts. But since this insincere approach forces people into hypocrisy, it does not have the desired effect and eventually creates an atmosphere of repulsion, coldness, and distance. In addition, such people make others nervous, for they never know what to expect.

Allah tells us about such people:

"Allah has made a metaphor for them of a man owned by several partners in dispute with one another, and another man wholly owned by a single man. Are they the same? Praise be to Allah! The fact is that most of them do not know." (Surat az-Zumar: 29)


Kazasker Mustafa Izzet's calligraphy: "Allah is the Best of protectors. He is the Most Compassionate of the compassionate."
Unbelievers consider pretence a legitimate behavior, because they do not reflect sufficiently upon the consequences of insincerity toward Allah and other people. Pretence is especially common among unbelieving women, for some of them appear to like and take an interest in others, whom they neither respect nor like, but backbite nevertheless because of some common interests that they may have. They can lie and cheat one another without a second thought or, by concealing their antipathy, create the opposite impression. Likewise, they can conceal these feelings and try to fool the people they value and like very much.

Muslim women do not behave this way, because their lives are guided by their sincere fear and respect of Allah. They never worry about pleasing anyone for some small material gain, for Allah and many other people despise such behavior. Rather, they seek to behave in a way that will win them His good pleasure. They also know that Allah likes only those who are sincere, for "He knows what the heart contains" (Surat ash-Shura: 24). In another verse, Allah says: "Though you speak out loud, He knows your secrets and what is even more concealed" (Surah Ta-Ha: 7). For this reason, only unbelievers seek to conceal from others what is really in their hearts.

Besides, Muslim women know that winning people's pleasure will not benefit them in either world, for Allah has revealed that He will not forgive anyone who ascribes partners to Him. Therefore, all believers must refrain from such behavior, for seeking to win other people's approval is just one of the many ways of ascribing partners to Allah.

Muslim Women Are Honest Allah reminds people not to lie:

"O You who believe! Have fear [and respect] of Allah and speak the right word. He will put your actions right for you and forgive you your wrong deeds." (Surat al-Ahzab: 70-71)

"... Have done with the defilement of idols and with telling lies." (Surat al-Hajj: 30)

He also reveals that turning the truth upside down and lying brings evil and Satan's friendship:

"Shall I tell you upon whom the demons descend? They descend on every evil liar. They give them a hearing, and most of them are liars." (Surat ash-Shu'ara': 221-223)

As Allah reveals with "Cursed be the liars" (Surat adh-Dhariyat: 10), Muslim women know that Allah disapproves of lying and so refrain from it. Aware that all of their words will confront them in the Hereafter, believing women speak only words of goodness, which will be rewarded with Allah's grace and mercy.

Lies, which will bring great loss in the Hereafter, bring no benefit in this world either. As they always lead to psychological and material loss, hypocritical and insincere people reflect their true nature on their faces. Admitting to themselves that they are dishonest and insincere, they lose their self-respect and the respect for those whom they deceive. Nevertheless, they believe that others do not perceive their insincerity and so develop a superiority complex toward them. But such behavior leads to a major difficulty: One is forced to develop more and more elaborate lies to conceal the truth, and therefore lives with the constant fear of being exposed. Allah will expose their insincerity and lies either in this world or the next.

On the other hand, telling the truth is superior and dignifying. Allah reveals the difference between good words and corrupt words in the following example:

"Do you not see how Allah makes a metaphor of a good word: a good tree whose roots are firm and whose branches are in heaven? It bears fruit regularly by its Lord's permission. Allah makes metaphors for people so that, hopefully, they will pay heed. The metaphor of a corrupt word is that of a rotten tree, uprooted on Earth's surface. It has no staying-power. Allah makes those who believe firm with the Firm Word in the life of this world and the Hereafter. But Allah misguides the wrongdoers. Allah does whatever He wills. "(Surah Ibrahim: 24-27)

Aware of the goodness and prosperity inherent in truth and honesty, Muslim women never compromise in such matters, regardless of the consequences to themselves or others. With courage and openness, they speak the truth at all times. Allah reveals this character trait:

"O you who believe! Be upholders of justice, bearing witness for Allah alone, even against yourselves or your parents and relatives. Whether they are rich or poor, Allah is well able to look after them. Do not follow your own desires and deviate from the truth. If you twist or turn away, Allah is aware of what you do." (Surat an-Nisa': 135)

Allah also reminds people not to sacrifice truth and honesty in moments of anger:

"O you who believe! Show integrity for the sake of Allah, bearing witness with justice. Do not let hatred for a people incite you into not being just. Be just. That is closer to heedfulness. Have fear of Allah. Allah is aware of what you do." (Surat al-Ma'ida: 8)

In unbelieving societies, many women lie to their family members, spouses, children, siblings, or friends. They have an excuse for each of these lies: some lies are harmless, it is alright to lie in order to benefit someone, or white lies do not count. For instance, they believe that there is nothing wrong with lying about where they have been, whom they have been with, or on what they have spent their money. Such things, they claim, are little harmless lies common in every marriage.

In reality, none of these excuses is valid, since Allah has forbidden lies. Moreover, lying is a characteristic of Satan. As we know, Satan resorted to lies in order to get Prophet Adam (as) and his wife expelled from Paradise.

Muslim women know the final destination of liars, for their guiding principles are the Qur'an and our Prophet's (saas) sunnah. Therefore, they refrain from this activity and strive to remain honest, because following the truth at all times will bring goodness and respect. Our Prophet (saas) told the believers that:

"Truthfulness leads to righteousness, and righteousness leads to Paradise. And a man keeps on telling the truth until he becomes a truthful person."25

Muslim Women Are Brave

A common stereotype, often held by unbelieving men, is that women do not have the necessary patience and maturity to deal with certain stressful situations. In fact, they believe that women actually make matters worse and become liabilities. There is an element of truth in this claim. Whereas men tend to remain cool even in very dangerous situations and just deal with it courageously, unbelieving women often surrender to fear and panic, thereby escalating the situation and making it even more difficult for themselves. For this reason, men are often forced to calm their women down while trying to resolve the situation.

Such a situation is inconceivable for Muslim women, for their love, trust, dedication, and submission to Allah help them develop a strong, courageous, and brave personality. They know that Allah will test them with hardship and that those who remain firm in their submission and dedication to Him will be rewarded with His mercy. This makes them even more determined, as Allah reveals below:

"Many a Prophet has been killed, when there were many thousands with him. They did not give up in the face of what assailed them in the Way of Allah, nor did they weaken, nor did they yield. Allah loves the steadfast." (Surah Al 'Imran: 146)

"Those who, when disaster strikes them, say: "We belong to Allah, and to Him we will return." (Surat al-Baqara: 156)

"Those to whom people said: "The people have gathered against you, so fear them." But that merely increased their faith, and they said: "Allah is enough for us and the Best of Guardians." (Surah Al 'Imran: 173)

This bravery is based on their lack of concern for their worldly life, for they know that their submission and trust in Allah will be rewarded in the best possible way. Allah gave life and will take it back again, just as He gave everything else (e.g., health, youth, and property) and will take it all back again. Aware of this truth, and that Allah creates everything according to His wisdom and goodness, they maintain their peace of mind. As a result, believing women never lose heart in the face of danger, hardship, or personal risk.

Furthermore, their courage is reflected in their determination to observe the limits that Allah has imposed upon humanity. Whatever the situation, they do not make compromises with the Qur'an's morality or fear or respect any thing or being other than Allah. Allah reveals this quality in the verse given below:

… those who conveyed Allah's Message and had fear [and respect] of Him, fearing [and respecting] no one except Allah. Allah suffices as a Reckoner. (Surat al-Ahzab: 39)

Muslim Women Refrain from Empty Words and Deeds

Allah defines the believers as "those who turn away from worthless talk" (Surat al-Mu'minun: 3) and "those who do not bear false witness and who, when they pass by worthless talk, pass by with dignity" (Surat al-Furqan: 72). In other words, Muslims who come face to face with such situations do not compromise on their dignity and honor and do not behave in an un-Islamic manner.

Passing time in such ways is common among unbelieving women. As we mentioned above, women who have not acquired great ideals are characterized by certain types of behavior. Some are of benefit to their families, their environment, and themselves, while others are just habits designed to pass time. Some of the best known of these are socializing with friends on certain days, spending the whole day watching television programs of no particular value, spending hours on the phone, complaining about anything and everything, gossiping, and discussing other people's shortcomings. The common denominator of all these activities is that they benefit no one.

Allah reveals that such people's hearts are drawn toward the things of this world:

"Their hearts are distracted." (Surat al-Anbiya': 3)

Muslim women avoid such useless activities, since they are well aware that Allah has granted people only a limited amount of time. Knowing that they must use this time to win Allah's good pleasure, mercy, and His Paradise, they live every moment of their lives accordingly. Not willing to waste even one moment with pointless activities or small talk, which they will regret in the Hereafter, they strive to do good deeds. As He reveals, they are engaged in a constant race to win His good pleasure: "They believe in Allah and the Last Day, enjoin the right and forbid the wrong, and compete in doing good. They are among the believers." (Surah Al 'Imran: 114)

Muslim Women Are Chaste and Honorable

"Wealth and sons are the embellishment of the life of this world. But, in your Lord's sight, right actions that are lasting bring a better reward and are a better basis for hope. "(Surat al-Kahf: 46)

Through this verse, Allah reveals an important fact to people: Those things that are so important for some and to which they dedicate their entire lives to obtaining, are only the temporary pleasures of this life. The only true and lasting values are the spiritual values and their firm establishment in a person's life. But people who disregard this reality chase wealth, status, and property due to their misguided belief that these will bring them honor, respect, and true values. Likewise, they measure others with these values and, according to their material wealth, decide whether to respect, like, and admire them or not.

In reality, Allah gives all of these things as gifts for the people to use. But the qualities that bring distinction and worth in His presence as well as here on Earth, such as honor, chastity, and integrity, are very different. These qualities, along with the Muslims' fear and respect of Allah, give purpose and value to their life and win them other people's sincere respect and love. Even the richest, most beautiful or powerful person cannot have the same degree of superiority and exalted nature as a chaste, honorable, and virtuous person. A person of such qualities has a natural radiance, beauty, and depth of soul.

Allah reveals that He honors those who make a genuine effort to live by the Qur'an's morality and fear and respect Him, as is His due: "If you avoid the serious wrong actions you have been forbidden, We will erase your bad actions and admit you by a Gate of Honor" (Surat an-Nisa': 31) and that:

"The men and women who give charity and make a good loan to Allah will have it increased for them, and they will have a generous reward." (Surat al-Hadid: 18)

People's true honor is revealed by their refusal to become base when with base people, to seek little gains by little frauds, to behave like unbelievers, lie, and become a hypocrite. In other words, they respond to all people with the same maturity and good character. Muslim women display honor and integrity by behaving in accordance with their complete fear and respect of Allah, as well as their total belief in and submission to Him. They never compromise over such issues, for they know that doing so will displease Him and put them on the same level as unbelievers.

In many verses, Allah mentions the importance of chastity and how it benefits women. He reveals that Maryam's character and chastity is an example for all women, regardless of time or location, and reminds them of their ensuing superiority:

And when the angels said: "Maryam, Allah has chosen you and purified you. He has chosen you over all other women." (Surah Al 'Imran: 42)

In other verses, Allah reminds people that chastity is an important and defining characteristic of Muslim women:

If any of you do not have the means to marry free women who are believers, you may marry slave girls who are believers. Allah knows best about your faith; you are all the same in that respect. Marry them with their owners' permission and give them their dowries correctly and courteously as married women, not in fornication or taking them as lovers. (Surat an-Nisa': 25)

"... so are chaste women from among the believers and chaste women of those given the Book before you, once you have given them their dowries in marriage, not in fornication or taking them as lovers. But as for anyone who rejects faith, his actions will come to nothing, and in the Hereafter he will be among the losers." (Surat al-Ma'ida: 5)

Chastity brings honor and respect to women and prevents their being made to suffer in society. In another verse, Allah states that "this makes it more likely that they will be recognized and not be harmed" (Surat al-Ahzab: 59).

Muslim women acquire honor, integrity, and respect by adhering to the limits that Allah has established for humanity. A person's virtuous and chaste nature can be determined from his or her behavior, conversation, movements, facial expressions, and even from a smile. A chaste woman has a natural aura of well-being, a radiant personality, and a trustworthy character. As Allah reveals, Muslims are recognized by these qualities. In fact, "their mark is on their faces, the traces of prostration..." (Surat al-Fath: 29)

Notes:

21. Sahih al-Bukhari hadiths.
22. Bediuzzaman Said Nursi, The Risale-i Nur Collection, Barla Lahikası (Barla Letters), 78.
23. Bediuzzaman Said Nursi, The Risale-i Nur Collection, The Flashes Collection: The Twenty-first Flash.
24. Bediuzzaman Said Nursi, The Risale-i Nur Collection, Mesnevi-i Nuriye ("The seed-bed" of the Risale-i Nur), 215.
25. Sahih al-Bukhari hadiths.

Copy From: www.womeninthequran.com

Selasa, 29 Juli 2008

KEWAJIBAN TERHADAP AL-QUR’AN

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:2)

Sampai saat ini, masih ada sebagian muslim yang merasa tidak beruntung memiliki kitab suci Al-Qur’an. Selain karena bahasa pengantarnya berbahasa Arab, juga karena ada isi dan kandungan Al-Qur’an yang kontradiktif dengan kehendak nafsunya, seperti pembagian waris yang katanya tidak adil antara laki-laki dan perempuan, kebolehan poligami yang disinyalir meremehkan derajat kaum hawa

Sahabat agung, sebaik-baik penafsir Al-Qur’an, Abdullah bin Abbas bercerita kepada muridnya, “Ada seorang laki-laki di zaman sebelum kalian, dia beribadah kepada ALLAH selama 80 tahun, kemudian dia terjatuh kepada suatu dosa, lalu diapun takut atas dirinya karena dosa tersebut.”

Kemudian dia mendatangi hutan dan berkata, “Wahai hutan yang banyak bebatuannya, yang lebat pepohonannya, yang banyak hewan-hewannya, adakah engkau memiliki tempat bersembunyi bagiku dari RABB-ku?” dengan ijin ALLAH hutan menjawab, “Wahai manusia, demi ALLAH, tiada satupun rumput maupun pohon dalam wilayahku, melainkan ada seorang malaikat diutus di sana, maka bagaimana aku hendak menyembunyikanmu dari ALLAH?”

Laki-laki itupun mendatangi laut dan berkata, “Wahai laut yang melimpah airnya, yang banyak ikan-ikannya, adakah engkau memiliki tempat untuk menyembunyikan diriku dari RABB-ku?”

Maka lautpun menjawab, “wahai manusia, demi ALLAH tiada satu butir pasirpun atau binatang airpun kecuali disertai malaikat yang diutus, bagaimana aku hendak menyembunyikanmu?”

Laki-laki itupun mendatangi gunung dan berkata, “Wahai gunung yang tinggi menjulang langit, yang banyak goa-goanya, adakah engkau memiliki tempat untuk menyembunyikan diriku dari RABB-ku Tabaraka wa Ta’ala?” gunung menjawab, “Demi ALLAH, tiada satu batu atau goapun yang ada di wilayahku kecuali ada malaikat yang diutus, bagaimana mungkin aku menyembunyikanmu?” (Haa kadza tahaddatsa as-salaf: 40)

PERISAI DOSA

Isu tentang perselingkuhan berjejal begitu banyaknya. Para pelakunya merasa enjoy sepanjang tak ketahuan istri atau suaminya. Korupsi dan kolusi merajalela di setiap lini dan tempat kerja, koruptor pun santai saja selagi petugas audit tak mencium bau busuknya. Jumlah uang yang dilalap tak kepalang tanggung banyaknya. ICW menyebutkan, angka korupsi di tingkat DPRD masing-masing bernilai milyaran, tak hanya jutaan. Kumpul kebo dan perzinaan terjadi dimana-mana, terus menjadi rutinitas, selagi keluarga, orang tua dan masyarakat tak mendeteksi tindakan kotornya. Sayangnya, masyarakatpun saat ini juga sudah terlalu permissif (acuh) dengan keadaan sekitar.

Padahal bisa saja mereka bersembunyi dari manusia, tetapi tidak akan mampu bersembunyi dari ALLAH. “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari ALLAH, padahal ALLAH beserta mereka.” (QS. An-Nisaa’: 108)

Maksiat terjadi karena adanya kemauan atau terbukanya peluang untuk melakukannya. Namun keduanya dapat dicegah secara sekaligus dengan muraqabatullah (merasa diawasi oleh ALLAH). Mengapa demikian? Karena muraqabatullah menjadikan seseorang sadar bahwa setiap gerak-gerik dan kerlingan matanya selalu diawasi oleh ALLAH Dzat yang Maha Mengawasi yang akan memberikan sanksi kepadanya ketika berdosa. Tak ada tempat dan kesempatan yang memungkinkan baginya berbuat dosa tanpa sepengetahuan-NYA. Maka otomatis kendurlah kemauannya untuk berbuat dosa, meskipun tak ada orang lain bersamanya. Sebab ALLAH mengawasinya.

Tidak akan terlintas dalam benak pencuri untuk mengganyang mobil patroli yang diparkir depan kantor polisi. Karena ia sadar aksinya dengan mudah diketahui dan jeruji besi siap menantinya.

Jika demikian, sudah selayaknya seorang hamba yang cerdas tidak coba-coba menjamah wilayah dosa yang dilarang Sang Pencipta. Karena ALLAH takkan sedikitpun lengah dalam mengawasinya, sedangkan hukuman-NYA tak hanya berupa jeruji besi, tapi siksa yang tiada tara beratnya. Maka, merasakan pengawasan ALLAH adalah perisai utama yang menghalangi seseorang untuk berbuat dosa.

TIADA TEMPAT SEMBUNYI

Muraqabah juga menumbuhkan rasa malu untuk berbuat dosa kepada ALLAH. Manusia yang ber-muraqabah menyadari bahwa ALLAH yang memberikan segala nikmat kepadanya, juga memantau segala gerak-geriknya. Tak ada tempat bersembunyi dari-NYA agar dia bebas berbuat dosa. Malaikat yang menjaga di setiap bumi yang dia pijak akan menjadi saksi atas segala yang dilakukannya. Maka bagaimana dia akan durhaka kepada-NYA di hadapan pengawasan-NYA. Yang dia lakukan adalah sebaliknya, dia ingin ingin agar DZAT yang memberikan nikmat kepadanya melihat dirinya selalu dalam ketaatan kepada-NYA, sehingga DIA akan merasa ridha.
Kesempurnaan muraqabatullah diraih manakala seseorang juga menyadari bahwa setiap gerak, nafas dan detik perbuatannya direkam dalam catatan malaikat. Kelak catatan itu akan diperlihatkan kepadanya. Terbuktilah bahwa tak ada yang terlewat dalam perbuatannya, semua tercatat detail di dalamnya. Tidakkah kita malu jika catatan kita dibuka di hari kiamat sementara di sana terdapat rekaman dosa yang kerjakan di setiap saat, sekalipun secara sembunyi.

SAMA SAJA

Muraqabatullah berdampak sangat baik sekali terhadap amal seorang hamba. Ia membuat orang tidak hanya bersemangat berbuat baik di saat banyak orang, tapi loyo di saat sendiri, atau jauh dari maksiat di saat banyak orang, namun akrab dengan maksiat saat dia sendiri. Sebab dalam hati seseorang telah tumbuh kesadaran bahwa DZAT yang mengawasinya selalu memantau dirinya di saat ia ditengah orang ramai atau di saat dia sendiri. ALLAH berfirman, “Tidakkah mereka mengetahui bahwa ALLAH mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?” (QS. Al-Baqarah: 77)

Dia juga sadar bahwa malaikat yang mengawasinya takkan pernah bosan untuk menyertai dan mecatat perbuatannya, “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf: 17)

Catatan yang terdapat dalam kitab itupun detail tak ada sedikitpun yang tercecer, hingga orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka akan berkata, “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan TUHAN-mu tidak menganiaya seorang juapun.”(Qs. Al-Kahfi: 49)
Muraqabatullah menyebabkan seseorang beramal ketika sendiri sama bagusnya dengan apa yang dia lakukan di saat bersama orang banyak.

Alangkah bagusnya seorang muslim tatkala menyendiri, lalu dia merasakan pengawasan ALLAH dan ia juga merasa takut dengan suatu hari dimana diputuskan segala amal usahanya. “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan ALLAH memperingatkan kamu terhadap siksa-NYA.” (QS. Ali Imran: 30)

Untuk itu, para ulama tak membedakan amal antara yang Dzohir dan bathin.

YANG BERDOSA SAMBIL TERTAWA

Sebagian orang yang hatinya sakit, bahkan mati mengira ALLAH tidak melihat mereka kala bermaksiat atau lengah dari apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka melakukan dosa sambil tertawa. Apalagi hukuman atas dosanya tidak segera nampak di depan mata. Para pezina yang aman dari penyakit kelamin, para pembunuh kaum muslimin, para penjahat dan pendosa, jangan disangka ALLAH membiarkan mereka. ALLAH tidak membiarkan para pendurhaka pendahulu mereka seperti kaum Luth, kaum Tsamud, kaum ‘Aad maupun Fir’aun. ALLAH berfirman, “karena itu TUHAN-mu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya TUHAN-mu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 13-14)

sumber: Ar-Risalah: no. 40 tahun 2004

BUKAN JALAN BERKABUT

Bid’ah lebih disukai Iblis daripada dosa besar. Karena orang yang melakukan dosa besar mengetahui kesalahannya, sehingga mungkin dia bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah, bukan saja dia tidak menyadari yang dia lakukan mengandung dosa, bahkan ia sangka mendatangkan pahala. Maka sulit diharapkan taubatnya. (Ibnul Jauzi)

Hati hamba yang bersih adalah hati yang bisa terhubung kepada ALLAH tanpa hijab. Hatinya tidak dikotori dengan ibadah kepada selain ALLAH dan terbebas dari berbagai kotoran maksiat. Salah satu penutup hati, yang dapat menghalangi hamba kepada SANG MA”BUD adalah bid’ah (sesuatu yang baru dalam beragama, yang tidak ada perintah yang mendasari berupa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang shahih, tidak dicontohkan dan tidak diperbuat oleh Rasulullah SAW). Bid’ah ini menyelisihi prinsip kewajiban ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah SAW. Padahal salah satu syarat diterimanya ibadah adalah harus ittiba’ kepada Rasulullah SAW.

Tindakan bid’ah adalah tindakan menambah-nambah hal baru dalam agama tanpa dasar yang sah dalam prinsip agama itu sendiri. Maka perbuatan bid’ah ini akan mengakibatkan kekaburan ajaran agama yang murni. Bahkan membingungkan umat, yang mana benar dan yang mana yang salah.

KABUT KEBENARAN

Tidak diragukan lagi berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. ALLAH berfirman, ”Dan bahwa (yang KAMI perintahkan ini) adalah jalan-KU yang lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-NYA. yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)

Maka, meski lebih disenangi nafsu- sebab dianggap sebagai qurbah (sarana mendekatkan diri kepada ALLAH) dan tidak menyimpang dari syariat-, serta diterima oleh khalayak ramai, hakikat bid’ah adalah tetap kesesatan. Ia serupa kabut yang mengepung pandangan mata, sehingga jalan yang lurus sekalipun menjadi samar dan kabur. Ia menipu.

Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya, setiap bid’ah itu sesat.” (HR. An-Nasa’i, Ahmad, Abu Dawud)

Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadits di atas merupakan perkataan yang mencakup keseluruhan. Tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut, dan itu merupakan dasar dari dasar agama. Jadi setiap orang yang mengada-adakan sesuatu, kemudian menisbahkannya kepada agama padahal tidak ada dasarnya di dalam agama sebagai rujukannya, maka orang itu sesat. Islam berlepas darinya; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun bathin.

Ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR. Bukhari)

Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak."

KRITIK TERHADAP SYARI’AT

Keyakinan pelaku bid’ah yang menganggap bahwa yang ia lakukan adalah sebagai qurbah, jalan yang dapat mendekatkan diri kepada ALLAH dan menganggap bahwa boleh untuk melakukan ibadah menurut apa yang dia suka dan baik menurut pandangannya walaupun tidak ada dalil yang shahih dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidak pernah pula Rasulullah SAW melakukan dan mencontohkannya. Pelaku bid’ah dengan perbuatan bid’ahnya beranggapan bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Maka keyakinan orang seperti ini, adalah suatu pelanggaran yang besar, yaitu melampaui hukum-hukum ALLAH dalam membuat syariat dan menyalahi keyakinan bahwa syariat Islam sudah sempurna, sehingga tidak boleh ada penambahan dan pengurangan.

Sedangkan ALLAH telah memberikan jaminan mengenai kesempurnaan Islam sebagai agama, sebagaimana firman-NYA, “Pada hari ini telah KU-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah KU-cukupkan kepadamu nikmat-KU, dan telah KU-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah: 3)

Dan dalam ayat lain ALLAH berfirman, ”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain ALLAH yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan ALLAH?” (QS. Asy-Syura: 21)

PINTU KERUSAKAN

Ketika seseorang condong kepada bid’ah, maka ketahuilah bahwa orang tersebut sedang menjauh dari sunnah dan hidayah. Kadang kita melihat orang seperti itu adalah orang-orang yang bersemangat menghadiri acara-acara bid’ah, tetapi shalat lima waktu berjam’ah di masjid yang jelas merupakan perintah dan sunnah dari Rasulullah SAW, ia tinggalkan. Mereka menganggap acara bid’ahnya lebih penting dari sunnah, atau bahkan lebih utama dari kewajban yang ia tinggalkan. Inilah orang yang tertipu oleh fatamorgana bid’ah.

Bid’ah juga seringkali melemahkan keimanan dan tidak secara langsung menjadikan pelakunya kafir. Maksiat itu ibarat benih yang akan menumbuhkan maksiat – lain – minimal serupa, kemudian bertambah kepada yang lebih berat secara bertahap. Ulama mengatakan, akibat keburukan adalah keburukan sesudahnya. Jika seorang hamba sudah bermaksiat, maka maksiat yang lain akan berkata, ”lakukan aku juga!” dan begitu seterusnya hingga bertambah dan berlipat-lipat.

Seperti kita melihat orang yang berdoa dan bernadzar kepada penghuni kubur ini adalah jelas bid’ah dalam aqidah yang membuat pelakunya melakukan dosa syirik.

Oleh karena itu, bid’ah bagaimanapun baiknya adalah tetap maksiat, yang tidak dapat diremehkan dan harus segera dihentikan. Yang jika tidak akan mengantarkan pada kerusakan lebih besar.

MEMBENTENGI DIRI

agar diri kita terbentengi dari keburukan bid’ah, ada sejumlah hal yang harus kita perhatikan dan kita lakukan.

Pertama, adalah membebaskan diri dari kebodohan tentang hukum-hukum agama. Karena Ilmu wajib sebelum beramal. Sehingga dapat menebalkan keyakinan kita atas kesempurnaan agama. Dan dengan ilmu pula kita dapat mengetahui yang salah dan menyimpang dan memisahkannya dari kebenaran.

Kedua, menyelaraskan nafsu dengan syariat. Pelaku bid’ah dalam melakukan perbuatan bid’ahnya didorong oleh keinginan untuk mendapat kebaikan, berupa kedekatan kepada ALLAH dan ganjaran pahala. Tetapi, karena tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih akhir nya terjatuh kepada memperturutkan prasangka dan hawa nafsu. Sedangkan bid’ah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diperturutkan. ALLAH berfirman, ”... ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari ALLAH sedikitpun.” (QS. Al-Qashshash: 50)

Ketiga, Jangan ash-shabiyah (fanatik) terhadap pendapat orang tertentu saja. Sebab sikap ini, akan menjadikan kita berpihak dan tidak jernih ketika menerima kebenaran. Padahal kita harus menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits di atas pendapat siapa saja, jangan sebaliknya. ALLAH berfirman, ”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan ALLAH," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)

Keempat, meneladani salafus shalih (para pendahulu dalam Islam yang shaleh, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in). Rasulullah SAW bersabda, ”Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan geraham! Dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Ya ALLAH, bimbinglah kami menuju jalan-MU yang lurus dan agar tetap istiqamah di atasnya. Amin.


ISLAM DAN TEROR

”Wahai hamba-hamba-KU , Sesungguhnya AKU telah mengharamkan diri-KU berlaku zalim, dan AKU telah menjadikannya diharamkan di antara kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi.”
(HR. Muslim)

SALAH KAPRAH

Di waktu belakangan, sangat sering terjadi pengeboman. Hal ini, selain menimbulkan ketakutan ternyata juga menyebabkan terjadinya pro dan kontra dari umat Islam. Yang pro menyatakan bahwa hal tersebut adalah bagian dari jihad umat Islam melawan orang kafir yang saat ini berlaku sewenang-wenang terhadap umat Islam. Persepsi mereka bahwa dengan melakukan Bom Bunuh

Diri tersebut dapat mengantarkan kemenangan bagi umat Islam dan mengantarkan pelakunya masuk ke surga. Sedangkan yang kontra menyatakan perbuatan tersebut adalah teror yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, hanya menimbulkan kerugian bagi umat, bahkan mendatangkan mudharat yang jauh lebih besar bagi kaum Muslimin.

Menyikapi hal tersebut, kita harus menyerahkan hal ini kepada ahli ilmu, yaitu ulama yang memahami agama berdasarkan pada nash (dalil) yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits shahih) dengan pemahaman yang lurus, tidak didasari oleh hawa nafsu.

TEROR ADALAH HARAM

Tindakan teror dengan berbagai cara, baik dengan pengeboman atau hanya berupa ancaman melalui telpon sangat diharamkan oleh agama Islam berdasarkan dalil yang shahih dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Pengharaman pengeboman tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu:

1. sebagai tindakan melampaui batas, karena banyaknya kematian dan besarnya kerusakan yang timbul. ALLAH berfirman, “Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya ALLAH tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

Dan dalam hadits Qudsi, ALLAH berfirman, “Wahai hamba-hamba-KU, Sesungguhnya AKU telah mengharamkan diri-KU berlaku zalim, dan AKU telah menjadikannya diharamkan di antara kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim)

2. sebagai tindakan Perusakan, mengingat sangat besarnya kerusakan terutama terhadap tubuh manusia, kemudian barang-barang baik gedung, kendaraan, peralatan dan lainnya. ALLAH berfirman, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan ALLAH tidak menyukai kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 205)

“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqarah: 11)

3. sebagai tindakan bunuh diri, karena pelakunya sudah tahu bahwa dirinya akan mati dalam aksi itu. ALLAH berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya ALLAH adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi ALLAH.” (QS. An-Nisa: 29-30)

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa sengaja menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati, maka dia di neraka Jahanam dalam keadaan menjatuhkan diri di (gunung dalam) neraka itu, kekal selama-lamanya. Barangsiapa sengaja menenggak racun hingga mati maka racun itu tetap di tangannya dan dia menenggaknya di dalam neraka Jahanam dan kekal selama-lamanya. Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu akan ada di tangannya, dan dia tusukkan ke perutnya di neraka Jahanam dalam keadaan kekal selama-lamanya.” (HR. Bukhari-Muslim)

4. sebagai tindakan membunuh orang lain, termasuk di dalamnya orang-orang yang tidak sengaja terbunuh yang kebanyakan adalah wanita dan anak-anak, dan sebagian mereka juga adalah umat Islam. ALLAH berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan ALLAH (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33)

ALLAH juga berfirman, “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta ALLAH dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan ALLAH (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,” (QS. Al-Furqan: 68-69)
Nabi SAW bersabda, “Tidak halal ditumpahkan darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang haq) selain ALLAH dan bahwa saya adalah utusan ALLAH, kecuali salah satu dari yang tiga ini: orang yang berzina (padahal dia telah nikah), orang yang membunuh orang lain, dan orang yang murtad meninggalkan jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari-Muslim)

“Lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi ALLAH daripada pembunuhan seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i, At-Tirmidzi)

Rasulullah SAW, “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kecil.” (HR. Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Berangkatlah (ke medan perang) dengan nama (pertolongan) ALLAH, dan dengan agama Rasulullah. Janganlah membunuh orang tua jompo, kanak-kanak, bayi dan perempuan.” (HR. Abu Dawud)

5. sebagai tindakan membahayakan pihak lain, termasuk jiwa, badan dan barang-barang orang lain yang kebanyakan juga tidak tahu menahu sama sekali tentang masalahnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa (sengaja) membahayakan (seseorang), maka ALLAH mendatangkan bahaya kepadanya, dan barangsiapa (sengaja) menyusahkan (seseorang), maka ALLAH akan menurunkan kesusahan kepadanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani)

“Tidak boleh (satu pihak) membahayakan (pihak lain), dan tidak boleh (keduanya) saling membahayakan.” (HR. Ibnu Majah)

6. sebagai tindakan yang mengancam orang lain, termasuk teror dengan telpon yang menyebabkan manusia tidak tentram karenanya. Nabi SAW bersabda, “Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani)

Nabi SAW juga bersabda, “Barangsiapa yang membawa senjata untukmenyerang kami, maka dia bukan dari kami.” (HR. Muslim)

7. dan diantara kaidah Islam adalah “Mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan”, sedangkan aksi mereka tidak mendatangkan kecuali kemadharatan. Saat ini kaum Muslim dicap sebagai Teroris bahkan negara Afganistan dan Irak diserang Amerika dengan tuduhan sebagai negara teroris, banyak para aktivis Muslim yang ditangkap, bantuan bagi kegiatan keislaman distop dan sebagainya.

PEMBUNUHAN TERHADAP ORANG KAFIR

Dalam ajaran Islam terdapat perintah memelihara kesepakatan dan perjanjian, dan larangan membunuh orang-orang yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin dan orang-orang yang mendapat jaminan keamanan. ALLAH berfirman, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34)

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
Nabi SAW juga bersabda, “Barangsiapa yang menjamin kemanan seseorang, lalu dia membunuhnya, maka aku berlepas diri dari pembunuhan itu, sekalipun yang dibunuh adalah seorang yang kafir.” (HR. Bukhari dan An-Nasa’i)

ALLAH berfirman, “Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” (QS. An-Nisa: 92)

Juga Rasululah SAW bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (non muslim yang mendapat jaminan kemanan), maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari)

Jadi, tidak boleh mengganggu orang-orang kafir yang dijamin keamanannya dengan gangguan apapun, apalagi sampai membunuhnya, sebagaimana terjadi dalam teror tersebut. Dan pelakunya diancam tidak masuk surga.

Sumber: Fatawa No. 07 tahun 2004


FUNGSI GUNUNG

Al Qur’an mengarahkan perhatian kita pada fungsi geologis penting dari gunung.
"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)

Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-gunung berfungsi mencegah goncangan di permukaan bumi.

Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan. Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi modern.

Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi.

Dalam tulisan ilmiah, struktur gunung digambarkan sebagai berikut:
Pada bagian benua yang lebih tebal, seperti pada jajaran pegunungan, kerak bumi akan terbenam lebih dalam ke dalam lapisan magma. (General Science, Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 305)
Dalam sebuah ayat, peran gunung seperti ini diungkapkan melalui sebuah perumpamaan sebagai "pasak":

"Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?" (Al Qur'an, 78:6-7)

Dengan kata lain, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi dengan memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan lempengan-lempengan ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak bumi dan mencegahnya dari terombang-ambing di atas lapisan magma atau di antara lempengan-lempengannya. Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu.

Fungsi pemancangan dari gunung dijelaskan dalam tulisan ilmiah dengan istilah "isostasi". Isostasi bermakna sebagai berikut:
Isostasi: kesetimbangan dalam kerak bumi yang terjaga oleh aliran materi bebatuan di bawah permukaan akibat tekanan gravitasi. (Webster's New Twentieth Century Dictionary, 2. edition "Isostasy", New York, s. 975)

Peran penting gunung yang ditemukan oleh ilmu geologi modern dan penelitian gempa, telah dinyatakan dalam Al Qur’an berabad-abad lampau sebagai suatu bukti Hikmah Maha Agung dalam ciptaan Allah.

"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)

Senin, 28 Juli 2008

MUSLIM DI KANCAH FITNAH

“Lalu mereka berkata: ‘Kepada ALLAH-lah kami bertawakkal! Ya TUHAN kami; janganlah ENGKAU jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang'zalim.’”
(QS. Yunus: 85)

Fitnah adalah cobaan dan ujian. Dosa syirik disebut juga sebagai fitnah, kekufuran juga disebut fitnah. ALLAH Ta’ala berfirman dalam kitab-NYA, “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi.” (QS. Al-Baqarah: 193) Maksudnya yaitu sehingga tidak ada lagi syirik dan kekufuran.

Namun istilah fitnah lebih banyak diucapkan untuk sesuatu berupa bala dan cobaan yang kerap kali memperdaya dan menyimpangkan banyak orang dari jalan yang lurus. Sementara mereka tidak mampu mengatasinya, akhirnya mereka larut bersama bala dan cobaan tersebut. Itulah bala dan cobaan yang menyesatkan, yang Rasulullah SAW mengkhawatirkan terjadi pada umatnya.

Rasulullah SAW bersabda, “Menjelang kiamat nanti bakal terjadi fitnah-fitnah seperti potongan malam kelam. Pada saat itu seseorang beriman pada pagi hari dan menjadi kafir pada sore harinya, beriman pada sore hari dan menjadi kafir pada pagi harinya. Ia menjual agamanya dengan materi dunia.” (HR. Abu Dawud)

Maknanya, apabila fitnah tersebut telah menimpa seseorang, ia akan terpedaya dan selanjutnya sesat serta menyimpang dari kebenaran dan petunjuk, bahkan juga rela menjual agamanya dengan dunia!

Fitnah-fitnah itu telah banyak kita saksikan pada hari ini. Ia benar-benar wujud bagaikan potongan malam kelam. Harta adalah fitnah (cobaan), anak-anak adalah fitnah (cobaan), wanita adalah fitnah (godaan), bercampur baur dengan orang-orang kafir dan munafik adalah fitnah (bencana), ajakan kepada kebathilan dan menjauhi kebenaran adalah fitnah (malapetaka), teman pergaulan yang jahat adalah fitnah (bencana), seruan kepada perkara sia-sia, sesat dan bathil adalah fitnah (bencana). Dan masih banyak lagi yang lainnya.

RAGAM FITNAH

Diantara fitnah yang paling ganas adalah merebaknya ajakan kepada kesyirikan atau kekufuran. Inilah ancaman terbesar bagi fitrah manusia, dan ALLAH Ta’ala telah memperingatkan manusia dari perkara tersebut dalam firman-NYA, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALLAH; (tetaplah atas) fitrah ALLAH yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah ALLAH. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)

Fitnah dari jenis yang kedua adalah kemaksiatan yang merajalela. Fitnah ini berasal dari orang-orang yang gemar berbuat maksiat dan memerdekakan syahwat. Darimanapun golongan mereka namun dalam persoalan maksiat ini mereka telah se-ia sekata untuk melestarikan, bahkan menyerukan kepada orang lain agar mengikutinya. Yang demikian karena pandangan mereka telah terbalik, hatinya telah buta, nuraninya sudah tuli, sehingga menganggap baik kesesatan dan bangga terhadap kehinaan. Dan yang paling dahsyat darinya adalah eksploitasi terhadap kaum wanita.

Rasulullah SAW telah mengabarkan bahwa wanita itu adalah salah satu fitnah terbesar, “Berhati-hatilah dari godaan dunia dan waspadailah rayuan kaum wanita, sebab fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.” (Hr. Muslim)

Kini kita lihat kebanyakan kaum wanita (di antara mereka itu ada istri kita, anak-anak kita dan keluarga kita) telah berani bersolek dan sangat terbuka. Atas nama persamaan dan kebebasan, juga atas “restu” kita sehingga mereka sampai hati menerjang kodrat kewanitaannya. Sebagian lainnya lagi dieksploitasi gila-gilaan melalui berbagai media dalam bermacam tampilan iklan, film dan foto-foto yang tak karuan. Tak ada akal sehat yang menolak bahwa itulah pemicu ledakan syahwat dan beragam interaksi yang diharamkan, termasuk perzinaan dan semua akibat yang dihasilkan.

Selain itu, ada juga fitnah tengah mewabah, yakni khamr, obat-obatan terlarang, musik dan nyanyian. Fitnah inilah yang telah banyak menelan korban dan merampas masa depan bangsa dimana saja, terutama generasi mudanya. Padahal sejak dini ALLAH telah memperingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat ALLAH dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Ma’idah: 90-91)

Demikian pula soal nyanyian, ALLAH telah berfirman, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan ALLAH tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan ALLAH itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)

Ibnu Mas’ud RA dan sebagian besar Ahli Tafsir mengatakan, yang dimaksud dengan lahwul hadits (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat tersebut adalah nyanyian. Hasan Al-Bashri berkata bahwa ayat itu turun dalam masalah musik dan nyanyian.

Imam Syafi’i juga berkata, “Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara bathil. Barangsiapa memperbanyak nyanyian maka dia adalah orang dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat diterima.” Dan masih banyak lagi ragam fitnah di zaman kita ini, tetapi tiga perkara itulah yang menduduki tiga besar yang paling harus diwaspadai.

HANYA SATU JALAN SELAMAT

Layaknya ketika seorang insan jatuh terperosok ke dalam mara bahaya dan musibah; maka ia harus bersegera mencari jalan keluar dan berusaha menyelamatkan diri. Tidak boleh hanya menerima dan membiarkan dirinya binasa.

Hal itu tak akan terjadi apabila seseorang itu tidak menyadari bahwa dirinya terjatuh ke lembah maksiat dan jurang kenistaan. Sehingga tidak ada kesadaran untuk keluar dari maksiat dan bertaubat ke jalan ALLAH, bahkan sebaliknya merasa dirinya dalam “kenikmatan surga” yang enggan dia kehilangan.

Sesungguhnya jalan agar tetap selamat hanyalah satu, yaitu jalan ALLAH yang lurus. Yang telah ALLAH sebutkan dalam firman-NYA, “Dan bahwa (yang KAMI perintahkan ini) adalah jalan-KU yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-NYA. Yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)

Telah dinukil dari sebuah hadits shahih bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menarik sebuah garis lurus, lalu menarik garis-garis ke kanan dan ke kiri dari garis yang lurus itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Inilah (garis lurus) jalan ALLAH, sementara garis-garis ke kanan dan ke kiri itu adalah jalan-jalan setan.” Kemudian Beliau membaca ayat: “Dan bahwa (yang KAMI perintahkan ini) adalah jalan-KU yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai- beraikan kamu dari jalan-NYA. (HR. Ahmad dan Ad-Darimi)

Ada yang mengibaratkan sebagaimana pelepah kurma yang menjulur hingga ke tanah. Sekiranya seekor serangga merayap naik melalui batangnya, niscaya ia akan menikmati buah kurma yang diinginkannya, artinya ia telah sampai ke tujuannya. Lain ceritanya jika ia naik melalui pelepah daun kurma yang menjulur ke kanan dan ke kiri itu, baru saja ia mencoba merayap naik pasti sudah terjatuh. Batang itulah ibarat jalan ALLAH, sementara pelepah daun kurma itu adalah jalan-jalan setan.

Meski boleh memilih, akal sehat niscaya mengambil yang memberikan manfaat. Karena itu, di sinilah letak pentingnya ilmu, karena hanya orang alim (berilmu) saja yang mengetahui apa yang bermanfaat baginya dan apa yang membahayakan dirinya. Ilmu adalah cahaya bagi hati dan penerang bagi akal pikiran. Imam Syafi’i mengatakan, “Tidak ada sesuatu lebih mulia setelah kewajiban kecuali menuntut ilmu. Karena ilmu itu adalah cahaya, yang dengannya memberi petunjuk bagi orang yang kebingungan.”

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa dikehendaki ALLAH baik, maka dipahamkan-NYA agama.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Sumber: Ar-Risalah No. 68 Tahun 2007

Angin Yang Mengawinkan

Dalam sebuah ayat Al Qur’an disebutkan sifat angin yang mengawinkan dan terbentuknya hujan karenanya.

"Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit lalu Kami beri minum kamu dengan air itu dan sekali kali bukanlah kamu yang menyimpannya." (Al Qur'an, 15:22)

Dalam ayat ini ditekankan bahwa fase pertama dalam pembentukan hujan adalah angin. Hingga awal abad ke 20, satu-satunya hubungan antara angin dan hujan yang diketahui hanyalah bahwa angin yang menggerakkan awan. Namun penemuan ilmu meteorologi modern telah menunjukkan peran "mengawinkan" dari angin dalam pembentukan hujan.

Fungsi mengawinkan dari angin ini terjadi sebagaimana berikut:

Di atas permukaan laut dan samudera, gelembung udara yang tak terhitung jumlahnya terbentuk akibat pembentukan buih. Pada saat gelembung-gelembung ini pecah, ribuan partikel kecil dengan diameter seperseratus milimeter, terlempar ke udara. Partikel-partikel ini, yang dikenal sebagai aerosol, bercampur dengan debu daratan yang terbawa oleh angin dan selanjutnya terbawa ke lapisan atas atmosfer. . Partikel-partikel ini dibawa naik lebih tinggi ke atas oleh angin dan bertemu dengan uap air di sana. Uap air mengembun di sekitar partikel-partikel ini dan berubah menjadi butiran-butiran air. Butiran-butiran air ini mula-mula berkumpul dan membentuk awan dan kemudian jatuh ke Bumi dalam bentuk hujan.

Sebagaimana terlihat, angin “mengawinkan” uap air yang melayang di udara dengan partikel-partikel yang di bawanya dari laut dan akhirnya membantu pembentukan awan hujan.
Apabila angin tidak memiliki sifat ini, butiran-butiran air di atmosfer bagian atas tidak akan pernah terbentuk dan hujanpun tidak akan pernah terjadi.

Hal terpenting di sini adalah bahwa peran utama dari angin dalam pembentukan hujan telah dinyatakan berabad-abad yang lalu dalam sebuah ayat Al Qur’an, pada saat orang hanya mengetahui sedikit saja tentang fenomena alam…