Jumat, 16 Desember 2011

Sebagian Bentuk Adzab Kubur


“Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur.” (QS. Al-‘Aadiyaat: 9)

Adzab kubur adalah benar adanya, dan ia merupakan salah satu prinsip keimanan yang dipegang oleh Ahlussunnah wal Jama'ah. Ada beberapa bentuk siksa kubur berdasarkan penjelasan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah:

Kepala Dijatuhi Batu hingga Hancur
Al-Bukhari di dalam al-Jami' ash-Shahih meriwayatkan dari Samurah bin Jundab bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya telah datang kepadaku dua malaikat tadi malam (dalam mimpi, red), yang keduanya diutus supaya mendatangiku. (Dalam mimpi itu) kami mendatangi seorang laki-laki yang sedang tidur telentang, sedangkan seorang laki-laki yang lain memegang batu besar. Batu itu lalu dijatuhkan ke kepala laki-laki yang telentang sehingga kepalanya pecah. Batu itu menggelinding di tempat itu, dan laki-laki yang menjatuhkannya mengikutinya lalu mengambilnya. Kemudian laki-laki yang dia jatuhi batu itu kepalanya utuh kembali seperti semula. Lalu laki-laki yang memegang batu mendatanginya lagi dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pertama kali."

Dalam redaksi lengkap hadits itu terdapat penjelasan tentang keadaan laki-laki yang dijatuhi batu, bahwa ia adalah orang yang mengambil al-Qur'an, kemudian menentang isinya dan melalaikan sholat fardhu. Berkenaan dengan perbuatan maksiat ini, maka Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. 107:4-5)

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, "Mereka adalah orang-orang yang lalai, baik mereka lalai dari mengerjakan shalat di awal waktunya, di mana mereka selamanya atau umumnya (biasa) mengakhirkannya hingga batas akhir waktunya, atau lalai dari rukun-rukun dan syarat-syaratnya yang telah diperintahkan kepadanya atau lalai dari kehusyu'an ketika menunaikannya atau lalai dari merenungkan makna bacaannya. Redaksi hadits tersebut mencakup semua hal tersebut, tetapi siapa yang ada padanya salah satu dari hal tersebut, maka ia terkena bagian dari ayat tersebut. Sedangkan siapa yang ada padanya semua hal tersebut maka ia akan mendapatkan balasan secara utuh dan telah sempurna kemunafikan dirinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/554)

Diceburkan ke Sungai Seperti Darah dan Mulutnya Disumpal Batu
Nabi bersabda, "Aku bermimpi, dan dalam mimpi itu kami mendatangi sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai itu ada seorang laki-laki yang sedang berenang, di pinggir sungai berdiri seorang laki-laki yang di sampingnya terdapat tumpukan batu yang banyak. Laki-laki yang berenang menghampiri laki-laki yang berdiri di pinggir sungai sambil membuka mulutnya. Kemudian laki-laki yang berdiri di pingggir sungai melemparkan sebuah batu dan laki-laki yang berenang mencaplok batu itu kemudian ia pergi berenang kembali. Setelah itu ia menghampirinya lagi, dan setiap kali ia menghampiri laki-laki yang berdiri di pinggir sungai di samping tumpukan batu, maka laki-laki yang berenang itu selalu membuka mulutnya." (HR. Bukhari)

Dijelaskan bahwa laki-laki yang berenang dan mencaplok batu itu adalah pemakan riba. Ibnu Hubairah berkata, "Pemakan riba akan disiksa dengan cara disuruh berenang di sungai yang airnya berwarna merah dan mulutnya akan dijejali dengan batu. Karena asal riba itu terjadi dalam transaksi emas dan emas itu berwarna kemerah-merahan. Sedangkan malaikat yang menjejali mulutnya dengan batu adalah isyarat bahwa ia tidak pernah merasa puas dengan hasrat yang ada. Begitu pula halnya dengan riba, yakni pelakunya berkhayal bahwa hartanya terus bertambah padahal Allah subhanahu wata’ala membinasakannya di kemudian hari." (Fath al-Bari 12/455)

Dibakar Dalam Tungku Api
Hadits yang menjelaskan tentang hal ini adalah sebagai berikut: "Kami datang ke sebuah tempat yang mirip tungku perapian -di dalam riwayat lain dikatakan, "Bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya lebar lalu di bawahnya dinyalakan api- Nabi saw bersabda, "Ketika itu di dalamnya terdengar suara gaduh dan jeritan." Beliau mengatakan, "Kami mengintip keadaan di dalamnya, dan kami melihat sejumlah laki-laki dan wanita dalam keadaan telanjang, dan dari bawah mereka dinyalakan api yang berkobar. Setiap kali api dikobarkan dari bawah mereka, maka mereka menjerit kesakitan." (HR. Bukhari) Dalam redaksi lengkap hadits tersebut dijelaskan bahwa mereka adalah para pezina, baik laki-laki maupun wanita.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa keadaan mereka yang telanjang adalah disebabkan hak mereka yang harus ditelanjangi, karena kebiasaan mereka adalah menyepi di tempat mesum dan mereka disiksa dengan keadaaan sebaliknya. Sedangkan mengapa mereka disiksa dari bagian bawah, karena perbuatan dosa yang mereka lakukan erat kaitannya dengan anggota tubuh mereka bagian bawah (kelamin). (Fathul bari 12/443)

Karena itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa-besar tersebut dan menjauhi sebab-sebab yang dapat menjerumuskan ke dalamnya seperti berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram dan melakukan hal-hal yang dapat menyebabkabn fitnah, misalnya; Mempertontonkan kemolekan tubuh; Memperlihatkan bagian tubuh yang mengundang fitnah; Membiasakan mata memandang yang haram; Membiasakan telinga mendengarkan lagu-lagu tentang syahwat yang menggiring kepada hal-hal yang keji dan sebab-sebab lainnya.

Mulut Dirobek dan Muka Dirusak
Hadits yang berkaitan dengan hal ini, adalah hadits tentang mimpi Rasulullah. Beliau bersabda, "Kemudian kami mendatangi seorang laki-laki yang sedang bersandar pada tengkuknya, sedang seorang laki-laki lainnya berdiri di hadapannya sambil memegang besi bengkok, yakni besi yang dibengkokkan ujungnya. Kemudian laki laki yang memegang besi menghampiri salah satu belahan muka laki-laki yang sedang bersandar dan merusak mukanya dengan merobek mulutnya hingga ke tengkuknya (yakni merobek mukanya dari mulut hingga ke belakang, dari hidung hingga ke tengkuknya dan dari mata hingga ke tengkuknya.)" Rasulullah bersabda, “Setelah itu laki-laki yang memegang besi bengkok beralih ke belahan lain dari muka laki-laki yang sedang bersandar dan melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukannya terhadap belahan muka yang pertama. Tidaklah laki-laki yang memegang besi selesai merobek belahan muka satunya lagi kecuali belahan muka lain utuh kembali seperti semula, dan laki-laki yang memegang besi menghampirinya kembali dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya pertama kali."

Dalam redaksi lengkap hadits tersebut dijelaskan bahwa laki-laki yang disiksa itu adalah orang yang keluar dari rumahnya di pagi hari dan melakukan kebohongan yang tersebar luas ke berbagai penjuru (pelosok).

Mencakar Muka dan Dada Sendiri dengan Kuku dari Tembaga
Di antara orang-orang yang disiksa dalam kubur berdasar mimpi Nabi adalah sejumlah kaum yang tergelincir ke dalam perbuatan ghibah (menggunjing dan mengumpat) yang diharamkan, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Anas bin Malik, seraya berkata, Rasulullah bersabda, "Ketika aku dimi'rajkan, aku bertemu dengan suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga. Mereka mencakar muka dan dada mereka. Aku bertanya, "Siapakah mereka itu wahai Jibril?” Jibril menjawab, "Mereka itu ialah orang-orang yang suka memakan daging manusia (suka menggunjing) serta merusak kehormatannya." (al-Musnad 3/224 dan Sunan Abu Dawud 4879)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengajarkan doa perlindungan dari Adzab kubur yang di baca sebelum salam setiap shalat:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

Artinya:
Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (Hr. Bukhari)

Jumat, 18 November 2011

Salah Kaprah Memaknai Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin

Oleh: Yulian Purnama

Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.


Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh manusia)” (QS. Al Anbiya: 107)


Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.


Secara bahasa arab, rahmat artinya ar-rifqu wa ath-tha’athuf; kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.


Penafsiran Para Ahli Tafsir

1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:

“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat di sini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:

Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.

a) Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.

b) Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.

c) Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

d) Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.


Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.


Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”.


2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:

“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”


3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:

“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini: ”Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”… Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini: “Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya” (diterjemahkan secara ringkas).


4. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir:

“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)


Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.


Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”


Pemahaman yang Salah Kaprah

1. Berkasih sayang dengan orang kafir

Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar (pluralisme agama), dengan berdalil dengan surat Al Anbiya ayat 107.


Padahal ayat ini sama sekali tidak anjuran untuk perintah berkasih sayang kepada orang kafir. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat Allah dalam ayat ini bagi orang kafir adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu.


Selain itu, konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)


Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.


2. Berkasih sayang dalam kemungkaran dan penyimpangan agama

Sebagian kaum muslimin membiarkan berbagai maksiat dan penyimpangan agama serta enggan menasehati mereka karena khawatir para pelakunya tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.


Islam sebagai rahmat Allah bukanlah maknanya berkasih sayang kepada pelaku kemungkaran dan penyimpangan agama serta membiarkan mereka terus melakukannya. Sebagaimana dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.


Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.


Sebagian orang yang dinasehati berkata: ‘biarkanlah kami dengan apa yang kami lakukan, jangan mengusik kami’. Ketahuilah pernyataan ini hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun: “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”


Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan? Dalam surat Al Ashr dipaparkan: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1–3)


Pemahaman yang Benar

Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya di atas, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:

  1. Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
  2. Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
  3. Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
  4. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
  5. Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
  6. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
  7. Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  8. Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
  9. Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
  10. Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
  11. Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
  12. Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
  13. Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
  14. Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.


Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya. Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmush shalihat.. [Yulian Purnama]

Rabu, 16 November 2011

RAGAM FAEDAH SEPUTAR SIWAK


oleh Abu Ashim

[1]. Menghilangkan Rasa Kantuk saat khutbah jum’at dengan siwak
Ada pertanyaan yang sampai kepada Syaikh al-Utsaimin -rahimahullah- sebagai berikut: “Kapankan menggunakan siwak itu ditekankan? Apa hukum memakai siwak untuk menanti shalat ketika khutbah?”

Syaikh menjawab: “Ditekankan memakai siwak ketika bangun tidur, awal masuk rumah, ketika wudlu ketika berkumur, dan apabila bangun untuk melakukan shalat. Tidak mengapa bagi orang yang menanti shalat memakai siwak, akan tetapi dalam keadaan khutbah tidak boleh bersiwak, karena menyibukkannya, kecuali apabila ia mengantuk, maka dibolehkan bersiwak untuk menghilangkan rasa kantuknya”. (Fatawa Arkan al-Islam, hlm. 215, no. 133, Dar Tsurayya, Riyadh, cet. 1, 1421 H, dikumpulkan oleh Fahd bin Nashir as-Sulaiman)

[2]. “Mereka bersiwak bersama-sama, tentu akan memakan kita !”
Ada sebuah hikayat batil yang telah disebutkan oleh sebagian penceramah dan pemberi nasihat yang berkaitan dengan siwak. Berikut kisahnya:

Pada suatu hari para sahabat sedang dalam peperangan. Dan ternyata orang-orang kafir berhasil menangkap mereka. Maka mereka bertanya-tanya tentang sebabnya. Kemudian mereka mengingat-ingat sunnah Nabi  apakah yang telah mereka tinggalkan? Kemudian mereka ingat tentang sunnahnya siwak.

Akhirnya mereka bersiwak. Dan musuhpun melihatnya. Kemudian mereka berlari terbirit-birit karena takut dari para sahabat. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka membersihkan gigi mereka –yaitu meruncingkannya– untuk memakan kita”. Demikianlah kisahnya.

Mengomentari kisah ini, asy-Syuqairi -rahimahullah- mengatakan: “Tidak ada asalnya. Bila engkau heran, maka yang lebih mengherankan lagi adalah kisah tersebut dibawakan oleh orang-orang yang berpura-pura mengetahui terhadap hikayat ini dan menyebarkannya kepada manusia di suatau perkumpulan dan pelajaran, padahal kisah tersebut batil”. (as-Sunan wa al-Mubtada’at, hlm. 29)

[3]. Meletakkan Siwak di telinga
Berikut ini adalah salah satu bentuk perhatian seorang sahabat terhadap siwak.
Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: Aku melihat Zaid1) duduk di masjid dengan siwak berada di telinganya, sebagaimana sebuah pena di telinga seorang penulis. Setiap kali berdiri untuk shalat ia bersiwak”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, no. 47 dan Syaikh al-Albani mengatakan: Shahih)

[4]. Sekitar seratus hadits tentang siwak
Ibnu Mulaqqin -rahimahullah- mengatakan: “Aku telah menyebutkan dalam kitab aslinya, di sana ada sekitar seratus hadits atau lebih semuanya berbicara tentang siwak dan hal-hal yang berkaitan dengannya”. (Khulashah al-Badr al-Munir, juz 1, hlm. 31, tahqiq Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi)

[5]. Jangan berlebihan Apabila bersiwak di masjid
Ada sebuah pertanyaan yang pernah sampai ke al-Lajnah ad-Da`imah: “Aku pernah mendengar seorang mengatakan bahwa bersiwak di dalam masjid tidak boleh. Apakah ini benar?”.
Lajnah menjawab: “… Wa ba’du. bersiwak adalah sunnah dan ditekankan setiap kali dibutuhkan. Dibolehkan melakukannya di dalam masjid dan diluar masjid. Hal itu karena tidak ada nash yang melarang hal tersebut dalam masjid padahal diperlukan untuk melakukannya. Selain itu juga berdasarkan keumuman hadits:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِ صَلاَةٍ

Sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu aku sudah memerintahkan mereka agar bersiwak setiap kali hendak shalat.

Meski demikian, tidak sepantasnya berlebih-lebihan dalam bersiwak yang dapat mengakibatkan muntah tatkala di dalam masjid. Sebab dikhawatirkan akan keluar muntah atau darah yang dapat mengotori masjid”. (Fatawa al-Lajnah jilid 5, hlm. 109)

[6]. Perbedaan Urutan bersiwak dengan urutan memberi minum
Apabila terdapat suatu urutan dalam bersiwak, -seperti bergantian dalam memakainya-, maka orang yang kita beri setelah kita selesai adalah orang yang lebih tua. Ini berbeda dengan urutan memberi minum, yaitu orang yang berada di sebelah kananlah yang berhak kita berikan minumannya, meskipun yang sebelah kirinya adalah orang tua. Dalilnya adalah:

كَانَ إِذَا اسْتَنَّ أَعْطَى السَّوَاكَ الأَكْبَرَ، وَإِذَا شَرِبَ أَعْطَى الَّذِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ

Dahulu beliau (yaitu Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-) apabila memakai siwak, maka beliau memberikan kepada orang yang paling tua, dan apabila minum, maka beliau memberikan kepada orang yang berada di sebelah kanan beliau. )Shahih al-Jami’, no. 4668, shahih)

[7]. Keharusan Bersiwak pada hari Raya Pekanan
Hari jum’at adalah hari raya ketiga yang dimiliki oleh kaum muslimin, setelah Idul Fithri dan Idul Adha. Pada hari raya pekanan ini Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- menjelaskan:

إِنَ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ، فَلْيَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ طِيْبٌ، فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang telah dijadikan oleh Allah untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang akan pergi shalat jum’at, maka hendaknya ia mandi, apabila ia memiliki minyak wangi maka hendaknya dia memakainya, dan wajib atas kalian bersiwak”. (Shahih al-Jami’, no. 2258)

------------
sumber:
Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 55, hal. 56-58