Rabu, 10 September 2008

HADITS DHA'IF RAMADHAN

1. “Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya…” Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Mauduat (2/188-189) dan Abul Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al Muthalibul 'Aaliyah (Bab/A-B/ tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas'ud Al Ghifari.

Hadits ini maudhu' (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata: “Masyhur dengan kelemahannya.” Juga dinukilkan perkataan Abu Nu'aim, “Dia suka memalsukan hadits,” dan Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An Nasa'i, “matruk (ditinggalkan) haditsnya.”

Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al Bajali.”


2. “Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara wajib pada bulan yang lain…. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka…” sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al Ashbahani dalam At Targhib (q/178, tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid,
berkata Ibnu Sa'ad, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya,”
berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Tidak kuat,”
berkata Ibnu Ma'in, “Dhaif”
berkata Ibnu Abi khaitsamah, “Lemah di segala penjuru,” dan,
berkata Ibnu Khuzaimah, “Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya.”

Demikianlah di dalam Tahdizbut Tahdzib (7/322-323). Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, “Jika benar kabarnya.” Berkata Ibnu Hajar di dalam Al Athraf, “Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad'an, dan dia lemah,” sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As Suyuthi di dalam Jam'ul Jawami' (no. 23714-tertib urutannya).

Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (1/249), “Hadits yang mungkar.”


3. “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa'id, dari Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh At Thabrani di dalam Al Ausath (1/q 69/ Al Majma'ul Bahrain) dan Abu Nu'aim di dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah.

Berkata Abu Bakar Al Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair -pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam- pent) yang dhaif itu,”
Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia.”

Al Ajalaiy berkata, “Hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari ahli Syam ini tidak membuatku kagum,” demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/427).

Aku katakan: dan Muhammad bin Sulaiaman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaiman dinaskhkan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.


4. “Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun tersebut.”

Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan mu'allaq* dalam Shahih-nya (4/160 -Fathul Bari) tanpa sanad. Ibnu Khuzaimah telah memalsukan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At Tirmidzi (723), Abu Daud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasa'i di dalam Al Kubra sebagaimana dalam Tuhfatu Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta'liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul bari (4/161): “Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit: idhthirab (goncang), tidak diketahuinya keadaan Abil muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah.”

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya: “Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya sehingga hadits ini dhaif juga.”

Wa ba'du: Inilah empat hadits yang didhifkan oleh para ulama dan dilemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna- makna yang benar, yang sesuai dengan syari'at kita yang lurus baik dari Al Qur'an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad ini dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya (yakni Al Isnad) adalah: “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar.”


Sumber:
“SHIFATI SHAUMIN NABIYYI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN”
Oleh :
Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Ebook compiled by Akhukum fillah
La Adri At Tilmidz

Senin, 08 September 2008

QADHA PUASA


1. Qadha Tidak Wajib Segera Dilakukan

Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahanman agama kepada kita- bahwasanya meng-qadha puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajiban dengan jangka waku yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu'anha: "Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tidak bisa meng-qadhanya kecuali di bulan Sya'ban." (HR. Bukhari (4/166), Muslim (1146))

Berkata Al Hafidz di dalam Al Fath (4/191): "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak."

Sudah dikatahui dengan jelas bahwa bersegera dalam meng-qadha lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak mendunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al Qur-an: "Bersegeralah kalian utuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian." (Ali Imran : 133) Dan, "Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (Al Mu'minun : 61)

2. Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Meng-qadha Karena Ingin Menyamakan Sifat Penunaiannya

Berdasarkan firman Allah pada surah Al Baqarah 185: "Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."

Dan Ibnu Abbas berkata: "Tidak mengapa dipisah-pisahkan (tidak berturut-turut)." (Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq (4/189), di maushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih. Lih: Taghliqut Ta'liq (3/186))

Abu Hurairah berkata, "Diseling-selingi kalau mau." (Lih: Irwa-ul Ghalil (4/95))

Adapun yang diriwayatkan Al Baihaqi (4/259), Daruquthni (2/191-192) dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al 'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu: "Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya di qadha secara berturut-turut tidak boleh memisahnya." ini adalah riwayat yang dhaif. Daruquthni berkata: Abdurrahman bin Ibrahin dhaif. Al Baihaqi berkata, "Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) didhaifkan oleh Ma'in, Nasa-i dan Daruquthni." Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir (2/206) dari Ibnu Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman. Syaikh kami Al Albani rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dlam Irwa-ul Ghalil (943) Adapun yang terdapat dalam Silsilah hadits dhaif (2/137) yang terkesan bahwa beliau menghasankannya, dia ruju' dari pendapat ini.

Peringatan: Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih - menurut pengetahuan kami- yang menjelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam meng-qadha, namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Masail-nya (95), "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha Ramadhan, beliau menjawab kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut." Wallahu'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.

3. Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apalagi Orang Lain Tidak Bisa Meng- qadhanya

Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tetapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya utuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.

namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nazar puasa, harus dipuasakan oleh walinya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, "Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nazar hendaknya diganti oleh walinya." (Bukhari (4/168), Muslim (1147))

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Datang seorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar." (Bukhari (4/169), Muslim (1148))

Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).

Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nazar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masail Imam Ahmad riwayat Abu Dawud (96) dia berkata, "Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata bahwa tidak berpuasa mayit kecuali puasa nazar." Abu Dawud berkata, "(Sedangkan) Puasa Ramadhan?" Beliau (Imam Ahmad) menjawab, "Memberi makan."

Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yg pertama. 'Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Amarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada 'Aisyah, "Apakah aku harus meng-qadha puasanya?" 'Aisyah menjawab, "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim." Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilal Atsar (3/142), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (7/4), ini lafadz dalam Al Muhalla, dengan sanad shahih. Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhum, beliau berkata, "Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha, kalau punya hutang nazar diqadha oleh walinya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al Muhallah (7/7), beliau menshahihkan sanadnya.

Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma adalah periwayat hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nazar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, "Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nazar." Baliau bersabda, "Qadha-lah untuknya." Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.

Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibndul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud (3/279-282). (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nazar dibolehkan diqadha oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.

Al Hasan berkata, "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan. (Bukhari (4/112) secara mu'allaq, di maushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari (1/58)). Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.


Sumber:
“SHIFATI SHAUMIN NABIYYI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN”
Oleh :
Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Ebook compiled by Akhukum fillah
La Adri At Tilmidz

Sumber Tulisan : http://salafy.or.id


FIDYAH


1. Bagi Siapa Fidyah Itu?

Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah: "Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al Baqarah : 184)

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaiman akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Rhadiyallahu anhuma

Engkau telah mengetahui wahai saudarakau seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansuhk berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya memberi makan setiap hari seorang miskin. (HR Bukhari (8/135))

Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan): "Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha", Kemudian dimansukh oleh ayat: "Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al Baqarah : 185).

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Dawud (2318) sanadnya shahih)

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, sehingga mereka menyangka Hibarul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh mereka menyangka adanya saling pertentangan.

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah : 185) Mansukh

Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafus shalih Ridhwanullahu 'alaihim menggunakan kata naskh untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istitsna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. (Lihat I'lamul Muwaq i'in (1/35) karya Ibnul Qayyim dan Al Muwaqafat (3/118) karya Imam Syatibi)

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh maslah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum

Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup oran yang biasa berpuasa atau tidak berpuasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat: "Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al Baqarah : 185).

Mungkin adanya masalah itu karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa ruskhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnua, dalil untuk memahami hal ini tersepat pada hadits itu sendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhshah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan?

JIka engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al Qur-an adapun hukum yang kedua dengan dalil dari sunnah dari tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh, "Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya."

Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu'anhu, "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa..." (Al Baqarah : 183)
Kemudian Allah menurunkan ayat: "Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Qur-an..." (Al Baqarah : 185).

Allah menetapkan puasa bagi orang mukmin yang sehat, dan memberi rukhshah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya..." (HR. Abu Dawud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam Sunannya (4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih)

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya yaitu hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya 'tidak mansukh' ditafsirkan oleh perkataannya: itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan. Dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikian diisyaratkan oleh Al Qurtubi dalam tafsirnya. (Al Jami' li Ahkamil Qur-an (2/288))

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad?

Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim bahwa hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadits marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al Qur-an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global.

Jawabannya sebagai berikut:

a. Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur-an, bahwa turunnya begini, maka ia adalah hadits yang musnad.

b. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil. Dari mana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragunak lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.

Dari Malik bin Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika ia mengkhawatirkan anaknya. Beliau berkata, "Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin."7

Daruquthni meriwayatkan (1/270) dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata, "Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak meng-qadha." Dari jalan lain beliau meriwayatkan bahwa seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab, "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu meng-qadha." sanadnya jayyid Dan dari jalan yang ketiga, yaitu anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.


6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Kewajiban Puasanya


Keterangan ini menjelaskan makna, "Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi 'kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya', dia bayar fidyah tidak meng- qadha


7. Musafir Gugur Kewajiban Puasanya dan Wajib Meng-qadha


Barangsiapa menyangka gugurnya kewajiban puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena Al Qur-an menjelaskan makna gugurnya kewajiban puasa dari musafir:
"Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari- hari yang lain." (Al Baqarah : 184). Dan Allah menjelaskan makna gugurnya kewajiban puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya: "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin." (Al Baqarah : 184).

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah kusus untuk mereka.


Sumber:
“SHIFATI SHAUMIN NABIYYI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN”
Oleh :
Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Ebook compiled by Akhukum fillah
La Adri At Tilmidz

Sumber Tulisan : http://salafy.or.id


SAHUR

1. Hikmahnya

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang - orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman, (yang artinya) : "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebeleum kalian agar kalian bertaqwa." (Surat Al- Baqoroh :183)

Waktu dan hukumya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlil Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah setelah tidur. Yaitu jika salah seorang mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkn atas kaum muslimin sebagaimana kami telah terangkan di muka, karena dihapus hukum tersebut, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyuruh sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab.

Dari Amr bin 'Ash radhiallahu 'anhu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur". (HR Muslim (1096)).

2. Keutamaannya

a. Sahur Barokah.

Dari Salman radhiallahu 'anhu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Barokah ada pada tiga perkara : Jama'ah, Tsarid dan makan sahur." (HR. Thabrani dalam "Al-Kabir" (6127), Abu Nu'aim pada "Dzikru Akhbari Ashbahan" (1/57))

Dan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sesungguhnya Allah menjadikan barakah itu pada makan shaur dan kiloan". (HR. Asy-Syirasy (Al-Alqab) sebagaimana dalam (Jami'as Shaghir) (1715) dan Al-Khatib (Al-Muwaddih) (1/263) dari Abi Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN)

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : Aku masuk menemui Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam ketika dia makan sahur beliau berkata (yang artinya): "Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan". (HR Nasa'I (4/145) dan Ahmad (5/270) sanadnya SHAHIH).

Keberadaan sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa, karena merasa ringan orang yang puasa, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam menamainya makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Sariyah dan Abi Darda' radhiallahu 'anhuma: "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi : yakni sahur." (hadits Al-Irbath: diriwayatkan oleh Ahmad (4/126) dan Abu Daud (2/303)).

b. Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.

Mungkin barokah sahur terbesar adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat- Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar memaafkan mereka, agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikat- Nya bershalawat kepada orang-orang yg sahur."

Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang paling afdhal adalah korma. Bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma." (HR Abu Daud (2/303), Ibnu Hibban (223) Baihaqi (4/237)).

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk berbuka walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena fadhilah (keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air."

3. Mengakhirkan sahur.

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shalallahu 'Alaihi wasallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di kitabullah.

Anas radhiallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu: "Kami makan sahur bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab: "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an." (HR. Bukhori (4/118), Muslim (1097)).

Ketahuilah wahai hamba Allah –mudah-mudahan Allah membimbingmu- kamu diperbolehkan makan, minum, dan jima' selama ragu telah terbit fajar atau belum, dan Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan batasan-batasannya, hingga jelaslah sudah, karena Allah Jalla Sya'nuhu memaafkan kesalahan, kelupaan, serta membolehkan makan, minum dan jima' ada penjelasan, sedangkan orang ragu belum mendapat penjelasan. Sesungguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi, jelaslah.

4. Hukumnya

Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam memerintahkannya –dengan perintah yang sangaat ditekankan- Beliau bersabda (yang artinya): "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu." Dan bersabda (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah." (HR Bukhori (4/120), Muslim (1095) dari Anas).

Kemudian menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya):
"Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab makan sahur." Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya): "Sahur adalah makanan yang barokah, janganlah kalian tinggalkan, walaupun hanya meminum seteguk air, karena Allah dan Rasul-Nya memberi shalawat kepada orang yang sahur". (HR Ibnu Abi Syaibah (3/8), Ahmad (3/12,3/44) dari tiga jalan dari Abi Said al-Khudri. sebagiannya menguatkan yang lain).

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sahurlah kalian walaupun dengan setengah air." (HR Abu Ya'la (3340) dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban (no.884) padanya An'anah, Qatadah: Hadits hasan).

Saya katakan: kami berpendapat perintah nabi Shalallahu 'Alaihi wasallam ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi :
1. Perintahnya.
2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab.
3. Larangan meninggalkan sahur
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas. Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya "Fathul Bari" (4/139) ijma' atas sunnahnya!! Wallahu A'lam

Sumber:
“SHIFATI SHAUMIN NABIYYI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN”
Oleh :
Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Ebook compiled by Akhukum fillah
La Adri At Tilmidz

Sumber Tulisan : http://salafy.or.id

Minggu, 07 September 2008

Berbuka Puasa

1. Kapan Orang yang Puasa Berbuka?

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam." (Al Baqarah : 187)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembahasan yang telah lalu) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.

wahai hamba Allah inilah perkataan-perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada di hadapanmu dapatlah engkau mambacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya Radhiyallahu'anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.

Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari (4/199) dan al Haitsami dalam Majma' Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi: "Para sahabat Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur.”

2. Menyegerakan Berbuka

Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan menyelisihi Yahudi dan Nashrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu, yakni hingga terbitnya bintang. maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul di atasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.

a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari (4/173) dan Muslim (1093))

b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam

Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama 'berpegang dengan sunnah Rasul mereka dan menolak semua yang merubah sunnah'.

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban (891) dengan sanad shahih)

c. Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani

Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak mejadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin itu bertiup.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya." (HR. Abu Dawud (2/305), Ibnu Hibban (223), sanadnya hasan)

Kami katakan:
Hadits-hadit di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut:
1) Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Isalm, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Karmelin atau mencari makan di Gedung Putih -mudah- mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al Qur-an dan As Sunnah dalam masalah aqidah dan manhaj.

2) Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara Kaffah." (Al Baqarah : 208)
Atas dasar inilah, maika ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian lainnya; kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh kita mengetahui bahwa buah dari menyelisihi Yahudi dan Nashrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.

3) Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkaran baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyakan dari mereka, "Ini perkara-perkara kecil, furu', khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita!"

Perhatikan wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas bashirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung kepada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatakala lingkaran matahari telah terbenam. Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenambya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidup kan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam ini dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilai nya, (yang) tdk mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit, walaahaula walaaquwwata illa billah.

d. Berbuka sebelum Shalat Maghrib

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbuka sebelum shalat Maghrib (HR. Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad hasan) karena menyegerakan berbuka adalah termasuk akhlaqnya para nabi.

Dari Abu Darda' Radhiyallahu'anhu: "Tiga perkara yang merupakan akhlaq para nabi: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani dalam Al Kabir sebagaimana dalam Al Majma' (2/105)).

3. Berbuka Dengan Apa?

Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berbuka dengan kurma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman: "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At Taubah : 128)

Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (kurma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.

Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya kurma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahui kecuali orang yang beritiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu'anhu, (ia berkata): "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbuka dengan kurma basah (ruthtah), jika tidak ada ruthtah maka berbuka dengan kurma kering (tamar), jika tidak ada tamar maka minum dengan satu tegukan air." (HR. Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277. 278), Tirmidzi (3/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih).

4. Yang Diucapkan Ketika Berbuka Sebelumnya Depan Selanjutnya

Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa -mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam- sesungguhnya engkau mempunyai do'a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dengan keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati yang lalai- Berdo'alah kepada- Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah- mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Tiga do'a yang dikabulkan: do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir." (HR. Uqaili dalam Adh Dhu'afa (1/72)).

Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam: "Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya: orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi." (HR. Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407). Ada jalalah Abu Mudilah)

Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki do'a yang tidak akan ditolak." (HR. Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan)

Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan:

“Dzahabadh-dhoma'u wabtalatil 'uruuqu watsabbatil ajru insya Allah"

(yang artinya): "Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala, Insya Allah." (HR. Abu Dawud (2/306), Baihaqi (4/239), Al Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128))

5. Memberi Makan Orang Yang Puasa

Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk mem beri makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa, akan mendapatkan pahala seperti pahala nya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun." (HR. Ahmad (4/144, 115, 116, 5/192), Tirmidzi (804), Ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.)

Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wasallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyiakan-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.

Orang yang diundang disunnahkan mendo'kan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam: "Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'kan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian." (HR. Ibnu Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa-i dalam 'Amalul Yaum (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sanadnya shahih. Peringatan: Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini, yaitu "Allah menyebutkan di majelis-Nya" adalah tidak ada asanya)

"Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum." (HR. Muslim (2055) dari Miqdad)

"Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan." (HR. Muslim (2042) dari Abdullah bin Busrin)


Sumber:
“SHIFATI SHAUMIN NABIYYI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN”
Oleh :
Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Ebook compiled by Akhukum fillah
La Adri At Tilmidz

Sumber Tulisan : http://salafy.or.id

Rabu, 03 September 2008

LAILATUL QADR

“Sesungguhnya KAMI telahmenurunkannya (Al-Qur’an) pada lailatul Qadr (malam kemuliaan). Dan Tahukah kamu apakah lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin RABB-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kedamaian sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr:1-5)

Keutamaan

Dalam surah yang mulia di atas disebutkan beberapa keutamaan dari Lailatul Qadr, yaitu:

  • Keutamaan pertama
Didalamnya ALLAH menurunkan Al-Qur’an, yang dengannya umat manusia mendapatkan petunjuk serta meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

  • Keutamaan kedua
Kalimat tanya yang disebutkan dalam ayat tersebut menunujukkan keagungannya, yaitu firman ALLAH: “Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu?

  • Keutamaan ketiga
Ia lebih baik dari seribu bulan.

  • Keutamaan keempat
Ia merupakan malam kedamaian (keselamatan) dan kesejahteraan, karena banyaknya orang yang selamat dari hukuman dan adzab.

  • Keutamaan keenam
Seperti yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa yang bangun (beribadah) pada malam Lailatul Qadr atas dasar keimanan dan perhitungan (mengharap pahala), maka dosanya yang telah lalu diampuni (oleh ALLAH).”

Yang dimaksud dengan kalimat atas dasar keimanan dan perhitungan adalah keimanan kepada ALLAH berupa pahala bagi orang-orang yang beribadah di dalamnya serta perhitungan mendapatkan pahala dan meminta balasan dari ALLAH. Ini dapat diraih oleh orang yang mengetahuinya maupun yang tidak mengetahuinya. Sebab, Nabi SAW tidak mensyaratkan peraihan pahala hanya bagi orang yang mengetahui saja.


Waktu Terjadinya

Lailatul Qadr itu terjadi pada bulan Ramadhan. Sebab ALLAH menurunkan Al-Qur’an di dalamnya. ALLAH telah memberitahukan bahwa turunnya Al-Qur’an itu terjadi pada bulan Ramadhan. Firman ALLAH, “(beberapa hari yang telah ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an.” (QS. Al-Baqarah:185)

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada bulan Ramadahan sepanjang masa. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’I dari Abu Dzar, bahwa ia berkata: “Ya Rasulullah, beritahukan kepada kami mengenai Lailatul Qadr, apakah ia terjadi bulan Ramadhan atau di bulan yang lainnya?” Beliau SAW menjawab: “Ia hanya ada di bulan Ramadhan.” Ia berkata: “Apakah ia berada pada setiap nabi dimana dan kapan pun ia berada, dan ketika mereka dipanggil ALLAH lalu Lailatul Qadr itu diangkat atau masih tetap ada hingga hari kiamat?” Beliau SAW menjawab: “Ia akan terus ada hingga hari kiamat.”

Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Nabi SAW bersabda: “Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Lebih dekat lagi adalah pada tanggal-tanggal ganjil daripada tanggal-tanggal genap. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Carilah Lailatul Qadr pada tanggal ganjil dari sepuluh hari terakhir Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Dan lebih dekat lagi adalah pada tujuh hari terakhir dari bulan Ramadhan, berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar bahwa pernah ada sahabt Nabi SAW yang mendapatkan mimpi Lailatul Qadr pada tujuh hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu Nabi SAW bersabda, “Aku lihat mimpi kalian itu benar-benar tepat pada tujuh hari terakhir. Maka barangsiapa yang mencarinya hendaklah ia terus mencarinya pada tujuh hari terakhir.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Juga sabda Nabi SAW, “Carilah ia pada sepuluh malam terakhir. Jika salah seorang diantara kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka jangan sampai terkalahkan (tidak bisa mencarinya) pada tujuh hari sissanya.” (HR. Muslim)

Lalilatul Qadr ini tidak hanya terjadi pada malam tertentu pada setiap tahunnya, akan tetapi ia akan berpindah-pindah dari satu malam ke malam lainnya, sehingga bisa jadi pada suatu tahun ia terjadi pada malam keduapuluh tujuh, dan pada tahun berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima-misalnya, sesuai dengan lkehendak ALLAH dan hikmah-NYA. Hal ini ditunjukkan hadits Nabi SAW yang menyatakan: “Carilah ia pada malam sembilan malam terakhir, tujuh malam terakhir, dan malam lima terakhir.” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan: “Pendapat yang kuat adalah bahwa Lailatul Qadr terjadi pada tanggal ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, dan bahwa ia berpindah-pindah.”

ALLAH sengaja menyembunyikan kepastian malamnya kepada para hamba sebagai bentuk rahmat (kasih sayang) terhadap mereka agar amalan mereka menjadi banyak, karena mereka selalu mencarinya dengan bertaqarrub illallah, seperti mengerjakan shalat, berdzikir dan berdoa sehingga mereka semakin dekat dengan ALLAH dan semakin banyak pula pahala yang mereka peroleh.

Di samping itu kerahasiaan Lailatul Qadr ini adalah untuk menguji mereka, agar menjadi jelas siapa yang bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya dari orang yang bermalas-malasan dan meremehkannya. Orang yang bersemangat dan tamak terhadap sesuatu maka sudah tentu ia bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya dan pantang merasa lelah dalam rangka meraihnya.

Di malam Lailatul Qadr itu pintu menuju ALLAH dibuka lebar, yang mencintai-NYA didekatkan, semua permohonan dikabulkan dan pahalanya digandakan.

Apa Yang Harus Kita lakukan?

Setelah kita mengetahui begitu banyak keutamaan Lailatul Qadr, maka sudah sepantasnya kita bersungguh-sungguh untuk mendapatkan setiap keutamaannya, yaitu dengan beribadah semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Dan jangan lupa, jenis ibadah yang kita lakukan pada malam tersebut masih tetap harus mengacu dan mencontoh kepada Rasulullah SAW, jangan sampai melakukan ibadah-ibadah yang tergolong syirik dan bid’ah.

Tidak disyariatkan untuk mencari malam Lailatul Qadr ke tempat-tempat sepi atau keramat, seperti kuburan wali, gua, hutan dan sebagainya apalagi sambil membawa sesaji. Hal ini, bukan hanya tidak membawa manfaat malah mendatangkan murka ALLAH.

Menurut sunnah Rasulullah SAW untuk mendapatkan berkah malam Lailatul Qadr adalah memperbanyak ibadah-ibadah yang sesuai dengan syariat dan tempatnya adalah di masjid-masjid atau dirumahnya sendiri.

Rasulullah SAW telah mencontohkan ibadah yang utama di sepuluh hari terakhir Ramadhan dalam menyambut kedatangan Lailatul Qadr, yaitu dengan cara:

  • Bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam beribadah
Diriwayatkan dari A’isyah, “Ketika masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah SAW mengencangkan sarung, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya.” (HR. Shahihain)

Di sepuluh hari terakhir Rasulullah SAW meningkatkan kesungguhan dalam beribadah jauh melebihi kesungguhannya di hari-hari lain. Kesungguhan Beliau SAW ini meliputi segala bentuk ibadah, baik shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir sedekah dan sebagainya.

  • I’tikaf
Rasulullah SAW di sepuluh hari terakhir Ramadhan melakukan I’tikaf atau menetap dalam masjid dengan memanfaatkan waktu sepenuhnya untuk melakukan ketaatan (ibadah) kepada ALLAH. Seperti yang diriwayatkan dari A’isyah bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW melakukan I’tikafpada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Beliau SAW diwafatkan.” (HR. Bukhari-Muslim)


Sumber: Kajian Ramadhon, Al-Utsaimin, Al-Qowam

ZAKAT FITRAH

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallaahu mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin..
(HR. Abu Dawud, Shahih Menurut Hakim)

Dalil

Diantara dalil yang menganjurkan untuk menunaikan zakat fitrah adalah :

  • Firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (QS. Al-A'la: 14-15)

  • Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau SAW memerintahkan agar (zakat fitrah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat 'Id (hari Raya).” (HR. Muttafaq 'Alaih


Siapa Yang Dikenai Kewajiban

Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu sha' (± 2,040 kg) dari bahan makanan yang berlaku umum di daerahnya.

Zakat tersebut wajib baginya jika masih memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarganya selama sehari semalam.

Maka jika ada orang meninggal sebelum terbenamnya matahari, sekalipun hanya beberapa detik saja dari terbenamnya matahari tersebut, maka tidak dikenakan kewajiban membayar zakat. Namun, jika ia meninggal sesudah terbenamnya matahari walau baru beberapa detik saja, maka ia masih berkewajiban mengeluarkan zakat fitrahnya.

Demikian juga billa ada anak yang dilahirkan setelah terbenamnya matahari atau hanya beberapa detik saja, maka ia belum diwajibkan membayar zakat fitrah, akan tetapi disunahkan mengeluarkannya. Namun, apabila dia dilahirkan sebelum terbenamnya matahari walau hanya beberapa detik saja sebelum itu, maka dia sudah diwajibkan membayar zakat.


Waktunya

Waktu mengeluarkan zakat fitrah ini terbagi menjadi dua, yaitu: waktu yang utama dan sifatnya yang boleh. Waktu yang utama adalah pagi hari Idul Fitri sebelum pelaksanaan shalat Id, dasarnya adalah hadits yang disebutkan shahih Bukhari yang berasal dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa ia berkata, “Di Zaman Rasulullah SAW kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya idul Fitri satu Sha’ makanan.” Dan hadits dari Ibnu ‘Umar berkata, “Bahwa Nabi SAW memerintahkan penyaluran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk menunaikan shalat Id. (HR. Muslim)

Sedangkan waktu yang sifatnya boleh adalah sehari atau dua hari sebelum shalat Id. Dalam Shahih Bukari dari Nafi’ bahwa ia berkata: “Ibnu Umar memberikan zakat fitrah atas anak kecil maupun orang dewasa. Beliau memberikannya kepada orang-orang yang layak menerimanya, dan mereka itu diberi zakat sehari atau dua sebelu idul Fitri.”

Adapun waktu pengeluarannya yang paling utama adalah sebelum shalat 'Id, boleh juga sehari atau dua hari sebelumnya, dan tidak boleh mengakhirkan mengeluaran zakat fitrah setelah hari Raya. “Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat 'Id, maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang membayarkannya setelah shalat 'Id maka ia adalah sedekah biasa.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Namun bila mengundurkannya karena ada udzur, maka yang demikian ini tidaklah mengapa, misalnya ketika Id tiba ia masih berada di suatu tempat dimana ia tidak memegang sesuatu yang bisa diberikan, atau tidak mendapatkan seseorang yang bisa ia berikan zakat, atau berita tentang kepastian tibanya idul Fitri itu datang kepadanya secara tiba-tiba sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengeluarkan zakat sebelum shalat Id, atau ia bermaksud memberikan zakat fitrahnya kepada seseorang namun ternyata ia lupa memberikannya, maka tidaklah mengapa jika memberikannya sekalipun sesuidah pelaksanaan shalat Id.

Bahan Yang Dizakat Fitrahkan

Zakat Fitrah lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi fakir miskin. Diriwayatkan dalam Shahihain dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.”

Zakat fitrah tidak boleh diganti dengan nilai nominalnya berupa uang, berdasarkan hadits Abu Said Al Khudhri yang menyatakan bahwa zakat fithrah adalah dari lima jenis makanan pokok (Muttafaq 'Alaih). Dan inilah pendapat jumhur ulama. Selanjutnya sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat yang melarang mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa pada zaman Nabi SAW juga terdapat nilai tukar (uang), dan seandainya dibolehkan tentu Beliau SAW memerintahkan mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut, tetapi Beliau SAW tidak melakukannya.

Jadi tidak sah zakat fitrah itu diganti dengan selain makanan manusia, berupa kurma, gandum, beras, zabib (kismis), keju atau jenis makanan manusia lainnya. Artinya tidak dapat diganti dengan uang, pakaian, perabot atau makanan hewan. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, “siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasakan perintahku, maka ia tertolak.”(HR. Bukhari-Muslim)

Disamping itu, zakat fitrah juga merupakan bagian dari ibadah fardhu dalam bentuk tertentu sehingga tidak bisa diganti dengan selain jenis tertentu (jenis lain), sebagaimana juga tidak boleh dikeluarkan selain waktu yang telah ditentukan.

Memberikan zakat fitrah dengan harganya berarti mengubah keadaan zakat fitrah itu dari syiar yang tampak menjadi bentuk sedekah yang tersembunyi. Sebab, memberikan zakat fitrah dalam bentuk satu sha’ makanan menjadikannya terlihat jelas di antara kaum muslimin, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa, dimana mereka bisa menyaksikan sendiri timbangan dan pembagiannya, serta dapat saling mengenal di antara mereka.
Adapun yang membolehkan zakat fithrah dengan nilai tukar adalah Madzhab Hanafi.

Penerima

Zakat fitrah itu diberikan kepada kaum fakir miskin atau orang-orang menanggung hutang yang tidak mampu membayarnya atau yang mewakilinya di mana ia bermukim atau berada pada waktu pemberian zakat.

Apabila disuatu negeri tidak terdapat orang yang dapat diberikan zakat fitrah, atau orang-orang yang membagikannya tidak mengetahui yang berhak menerimanya, maka ia bisa mewakilkannya kepada orang yang bisa membayarkannya di suatu tempat dimana terdapat orang yang berhak menerimanya.

Zakat fitrah ini bisa diberikan kepada lebih dari satu orang fakir atau satu orang fakir saja.

Hikmah Zakat Fitrah

Di antara hikmah disyari'atkannya zakat fitrah adalah :
  • Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas di atas, yaitu puasa merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin. Dari Ibnu Abbas: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fihrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan ucapan kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir miskin.”

  • Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana ALLAH memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-NYA.

  • Zakat fitrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada ALLAH Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah nikmat-NYA.

  • Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada ALLAH atas nikmat ibadah puasa.

Sumber: Kajian Ramadhan, Al-Utsaimin, Al-Qowam