Senin, 30 Juni 2008

DAJJAL

Seorang Khatib Jumat di sebuah masjid dengan lantang mengatakan, sebuah negara di benua Amerika adalah Dajjal. Dajjal itu adalah simbol kezholiman katanya berapi-api membakar jamaah.
Mayoritas jamaah pun mengangguk sebagai tanda setuju atas pernyataan khatib tadi. Sedikit sekali, bahkan dalam hitungan jari jamaah yang menggelengkan kepala. Pendapat senada tentang simbolisasi Dajjal dengan kezholiman, kerusakan dan sebagainya memang sangat santer terdengar di belahan bumi nusantara.
Simak pendapat al-Maududi seperti diituturkannya dalam Rosail wa Masail hal 57, “Rasulullah menganggap bahwa Dajjal akan keluar di masa beliau atau dekat dengan masa beliau. Namun, anggapan ini telah lewat 1350 tahun silam lamanya dan beberapa abad yang panjang, tetapi Dajjal belum keluar. Maka anggapan Nabi itu tidak benar.” Masih menurut al-Maududi, “Seluruh riwayat dan hadits seputar Dajjal hanyalah logika dan pendapat beliau saja, yang mana beliau sendiri ragu akan hal itu.”
Sedangkan pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar 3/317 mengatakan,”Bahwa Dajjal adalah simbol khurafat, kebohongan dan kerusakan.” Pendapat senada diungkapkan oleh Muhammad Fahim Abu ‘Ubbiyah.
Hal ini sangat mirip dengan yang diungkapkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Musnad I/24, ad-Dani dalam al-Fitan 2/23 serta dihasankan oleh al-Albani dalam Qishashatu al- Masih hal 30, “Ketahuilah bahwa akan ada suatu kaum setelah kalian yang mendustakan hukum rajam, Dajjal, syafaat, siksa kubur dan dikeluarkannya suatu kaum dari neraka setelah hitam kelam.”
Jadi tak aneh bila pendapat di atas sangat mengemuka bahwa Dajjal itu tak lebih dari sekedar simbol kezholiman dan kerusakan. Padahal dari Abu Hurairah, Rasulullah telah mengatakan: “Tidak ada dari seorang nabi pun kecuali telah memperingatkan dari Dajjal yang buta. Ketahuilah bahwa Dajjal itu buta sedangkan Rabb kalian tidaklah buta dan tertulis antara kedua matanya ‘KAFIR’.” (HR. Bukhari no. 7131 dan Muslim No. 2933)
Tiga tahun sebelum kemunculan Dajjal, menurut Syaik al-Albani dalam Qishashatu al-Masih hal 26, manusia dilanda kesulitan hidup. Mereka ditimpa kelaparan yang sangat. Tahun pertama, ALLAH memerintahkan langit agar menahan sepertiga hujannya, menyuruh bumi menahan sepertiga tumbuhannya. Pada tahun kedua, ALLAH memerintahkan langit agar menahan dua pertiga hujannya, lalu menyuruh bumi menahan dua pertiga tumbuhannya. Kemudian tahun ketiga, ALLAH menyuruh langit menahan seluruh hujannya sehingga sama sekali tidak turun hujan, dan menyuruh bumi menahan seluruh tumbuh-tumbuhannya. Sehingga tumbuh-tumbuhan hijau tidak sama sekali tumbuh dan tidak ada seekor binatang pun melainkan mati kecuali yang dikehendaki oleh ALLAH. Apa yang dapat menghidupkan manusia pada saat itu? Jawabnya: “Bacaan Tahlil, Takbir, Tasbih dan Tahmid, dan itu berfungsi seperti makanan bagi mereka.”
Menurut Hadits Muslim, Dajjal akan muncul dari belahan timur yang bernama Khurasan, dari arah Khallah yang terletak anatara Syam dan Irak. Ia akan membuat kerusakan ke arah kanan dan kiri. Awal kemunculannya mengklaim dirinya sebagai nabi dan tidak ada nabi setelahnya. Dajjal akan tinggal di bumi selama 40 hari, sehari seakan setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan, kemudian berikutnya seperti hari-hari biasa. Kemunculannya seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, Muslim, Abu Dawud dan lainnya, ketika manusia berselisih pendapat dan berpecah belah, saling dengki, semangat keagamaan lemah, hubungan antara satu dengan yang lain buruk, serta orang –orang Romawi tiba di al-A’maaq atau di Dabiq untuk menghadapi pasukan terbaik kaum muslim saat itu. Sedangkan kecepatan Dajjal di atas bumi, menurut hadits Muslim No. 1252, seperti hujan yang dihembuskan angin.

KAPAN DAJJAL MUNCUL
Dajjal pasti akan muncul di tengah-tengah kalian. Sesunguhnya kemunculannya adalah benar. Adapun kemunculannya sudah dekat, maka (bisa dikatakan) kata al-Bazzar dari Abu Hurairah, segala sesuatu yang akan tiba adalah dekat. Ia muncul, seperti diriwayatkan Muslim VIII/194 dan Ibnu Hibban dalam ash-Shahih, karena ada sesuatu yang membuat dia marah dan dia tidak akan muncul, sebagaimana disebutkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir XX/401/953, sehingga harta warisan tidak dibagikan dan orang tidak merasa gembira mendapat harta rampasan perang.

PENDUKUNG DAJJAL
Paling tidak ada 3 (tiga) kelompok yang secara dominan pendukung Dajjal. Siapakah mereka? Mereka adalah Yahudi Ashbahan, kaum wnita dan kelompok khawarij.
“Akan mengikuti Dajjal tujuh puluh ribu Yahudi Ashbahan, mereka mengenakan jubah.” (HR. Muslim 2944)
Disebutkannya Yahudi Bani Ashfahan (Iran) secara khusus, menurut Syaikh Salim ibnu ied al-Hilali dalam kasetnya Syarh Ushul Sunnah Ahmad bin Hambal no. 9, karena hubungan yang sangat erat dengan Syi’ah. Sejarah mencatat bahwa kaum Syi’ah sepanjang masa selalu membantu kaum Yahudi menghancurkan kaum muslimin, tidak seperti yang digambarkan oleh media sekarang kaum Syi’ah mengusir Yahudi dan memerdekakan diri dari Yahudi.
Sedangkan kelompok Pendukung kedua –berdasarkan hadits Imam Ahmad 7/190 dengan sanad shahih dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda, “Dajjal akan turun ke Mirqonah (nama lembah) dan mayoritas pengikutnya adalah wanita, sampai-sampai ada seorang yang pergi ke istrinya, ibunya, putrinya, saudarinya dan bibinya kemudian mengikatnya karena khawatir keluar menuju Dajjal.”
Terakhir Kelompok Khawarij, “Akan muncul suatu kelompok yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak sampai pada tenggorokan mereka. Setiap kali muncul, mereka dibasmi habis hingga keluar pada pasukan besar mereka Dajjal.” (HR. Ibnu Majah 174)

CIRI-CIRI DAJJAL
Syaikh al-Albani menyebutkan ciri-ciri Dajjal, yaitu :
1. Mata sebelah kiri tidak nampak dalam riwayat lain buta sebelah mata (ath-Thabrani dari Ibnu Mughafal, Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dari Hudzaifah).
2. Di atas matanya ada selaput mata yang menebal (Ahmad dari al-Hasan al-Bashri)
3. Mata sebelah kanan seperti buah anggur yang terapung (Ibnu Huzaimah)
4. Diantara kedua matanya tertulis ‘KAFIR’ yang hanya dapat dibaca oleh orang mukmin (Abdurrazaq, Ahmad, Muslim, at-Tarmidzi dan Abu ‘amr ad-Dani)
5. Rambutnya keriting dalam riwayat lain rambutnya kusut dan tidak rapi (Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah dari Hudzaifah)
6. Berpostur tubuh pendek, berkaki bengkok, bermata hitam dan lebar seperti Abdul ‘Uzza bin Qathan (Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tarmidzi, Ibnu Majah)
7. Mampu menyembuhkan orang yang buta dan sakit kulit (kusta).
8. memiliki cacat atau hina (Ahmad, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban)
9. berkulit sawo matang (Ahmad dalam al-Musnad dan Hanbal bin Ishaq)

MENEBAR FITNAH
Dajjal akan banyak menebar fitnah, diantaranya adalah:
1. Mampu menurunkan air hujan untuk menumbuhkan tanaman dan tumbuhan (HR. Muslim 1252)
2. Membawa sesuatu seperti wujud Surga dan Neraka. Surganya-sebenarnya-adalah neraka dan Neraka-sebenarnya-adalah surga (HR. ad-dani)
3. memliki dua sungai yang mengalir, salah satunya-secara kasat mata- air yang berwarna putih dan yang lain-secara kasat mata-api yang menyala-nyala (HR. Ahmad)
4. membangkitkan orang yang sudah mati, padahal setan muncul yang diserupakan dengan orang yang sudah mati tersebut.
5. mampu menguasi orang lalu membunuhnya dengan cara digergaji sehingga terbelah menjadi dua bagian
“Seseorang tidak akan terfitnah apabila mengatakan ‘Rabbku ALLAH’ sedang bagi yang berkata ‘Engkau (Dajjal) Rabbku’ maka ia akan terfitnah.” sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mughafal (HR. ath-Thabrani)

BERLINDUNG DARI DAJJAL
1. Membaca sepuluh ayat pertama surat al-Kahfi, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 809 dari Abu Darda’, bahwasnya Rasulluah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat dari surat al-Kahfi, maka dia akan dijaga dari fitnah Dajjal.”
2. Membaca doa ketika duduk Tasyahud akhir seperti riwayat Muslim 588, “Allahumma inni a’udzubika min adzabi jahannam wamin adzabil qabri, wamin fitnatil mahya wal mamat, wamin syarra fitnatil masihiid dajjal (Ya ALLAH, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari adzab jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian serta jeleknya fitnah Dajjal)

Jadi, Dajjal itu memang bukan sekedar simbol tapi suatu REALITA.

Wallahu A’lam.

TAK INGIN KEBENARAN

ALLAH memuliakan manusia dengan kemampuan berpikir dan akal budi. Hal yang memungkinkan manusia mengadakan tinjauan, klasifikasi, pembahasan hingga mengambil kesimpulan terhadap suatu masalah, bukan semata berdasarkan naluri. Inilah yang membuat manusia patut menerima taklif (pembebanan kewajiban) ibadah dan tanggung jawab terhadap pilihan dan kehendaknya. Patut menjadi khalifah ALLAH di muka bumi.
ALLAH sangat mendorong manusia untuk mengoptimalkan fungsi akalnya. Mengamati, meneliti, merenungi dan memikirkan fenomena alam sebagai tanda-tanda kekuasaan-NYA agar tidak salah dalam mengambil keputusan tentang hidup dan kehidupannya. Bahkan tentang manusia sendiri. ALLAH berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imraan: 190-191)

KELIRU BERPIKIR
Mestinya, jika manusia benar dalam proses berpikirnya, dia akan mencapai kesimpulan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam ciptaan ALLAH.
Menyadari kelemahan dan Keterbatasannya sebagai manusia, untuk kemudian tunduk patuh di hadapan-NYA Yang Maha Suci. Bukankah Al-Qur’an menyebutkan orang yang paling takut kepada ALLAH adalah orang yang paling berilmu.
Namun, proses berpikir sangat mungkin mengalami kekeliruan. Membuatnya melenceng jauh sehingga tidak sampai kepada kehendak yang dituju. Dia tidak mengenali RABB yang telah menciptakan dan memberinya rejeki, bahkan kufur dan menolak-NYA. Sampai di sini, akal telah kehilangan fungsi terpentingnya dalam hidup; memilah kebaikan dan keburukan. Padahal inilah karakter terpenting akal yang membedakannya dengan binatang.
ALLAH berfirman, “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqaan: 44) Hal ini disebabkan oleh hati manusia itu terkunci, tersumbat dan tertutup. ALLAH menjelaskan, “Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. An-Nahl: 108)

FAKTOR PENGHAMBAT
Di antara faktor-faktor penghambat proses berpikir adalah Taqlid buta kepada nilai-nilai lama. Berpegang teguh kepada pikiran, tradisi dan kebiasaan yang berlaku, sering menyebabkan akal menjadi statis dan cendrung menolak pikiran-pikran baru yang ditawarkan, meski dengan penjelasan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dan didasari oleh firman ALLAH sekalipun. ALLAH menerangkan hal ini, “Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maaidah: 104)
Hal lain yang juga menghambat proses berpikir adalah kurangnya ilmu dan tidak cukupnya data yang ada. ALLAH berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Almukmin: 35)
Keadaan ini sering mengakibatkan manusia menempuh zhan (prasangka) tanpa bukti yang mendukung sebagai pijakan kebenaran. Padahal, zhan bukanlah jalan yang tepat untuk sampai kepada realitas yang benar. Disamping sering keliru, zhan juga bukan cara yang aman untuk mengungkap kebenaran.
ALLAH berfirman, “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 36)

SIKAP MEMIHAK YANG APRIORI
Manusia memilik kecendrungan, dorongan, kepentingan, emosi dan perasaannya sendiri. Hal-hal ini berpengaruh terhadap pemikirannya. Sehingga manusia sering terjatuh kepada kekeliruan. ALLAH berfirman, “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Qashash: 50)

SEBAB LAIN
Selain penolakan kebenaran yang disebabkan kekeliruan proses berpikir, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan manusia menolak, bahkan menentang dan memusuhi kebenaran, meski telah datang kepada mereka sejumlah bukti yang meyakinkan. Ini adalah nasihat berharga bagi para penyeru kebenaran agar mengikhlaskan niat mereka hanya kepada ALLAH saja.
Sebab pertama adalah al-kibru (kesombongan). ALLAH telah menjelaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran (kesombongan) yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. AL-Mukmin: 56)
ALLAH juga berfirman, “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.”(QS. Luqman: 7)
Ingatlah kesombongan menyebabkan seseorang masuk neraka, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW, “Aku (Neraka) diistimewakan karena (berpenghuni) manusia-manusia sombong.” (HR. Bukhari-Muslim)

DUNIA YANG MANIS
Sebab kedua adalah lebih mencintai dunia daripada akhirat. Kelezatan dan kemanisan dunia yang instan mampu melenakan manusia. Dalam hal ini ALLAH telah berfirman, “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. An-Nahl: 107)
Juga firman-NYA, “(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Ibarahim: 3)
Salah satu atau gabungan keduanya-sombong dan cinta dunia-mampu membuat manusia memusuhi pendukung kebenaran, meski mereka mengetahui kebenaran argumentasi yang diajukan. ALLAH berfirman, “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (QS. An-Nisaa’: 89)
Sebab lain adalah hasad atau dengki. ALLAH menjelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 109, “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109)

MENSYUKURI IMAN
Jika hari ini kita termasuk hamba-hamba yang beriman, sangat pantas jika kita memanjatkan syukur yang tak terhingga kepada ALLAH Ta’ala. Dalam keterbatasan ilmu yang kita miliki dan kelemahan kita sebagai manusia, ALLAH masih menganugerahkan nikmat iman kepada kita.
Kemudian memaknai nikmat itu dalam ketundukan kepada-NYA, mengimani kebenaran ayat-ayat-NYA dan berupaya tidak menyombongkan diri dan lalai dari mengingat-NYA. ALLAH berfirman, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS. Al-A’raaf: 146)
Tapi, sudahkah kita menyadarinya? Atau kita memang tidak menginginkan kebenaran?

Sumber Tulisan:
Ar-Risalah edisi No. 44 Februari 2005

ISLAM TAK SEBATAS PENGAKUAN

KONDISI UMAT ISLAM SAAT INI

Kondisi umat Islam saat ini dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Mengambil isi membuang kulit
Sebagian orang ada yang lebih suka mengambil substansi dibalik syari’at, lalu meninggalkan syiar yang zhahir. Mereka memilah islam menjadi isi dan kulit, atau inti dan kemasan. HANYA MENGAMBIL ISI DAN MEMBUANG KULITNYA. Misal mereka berkata “Berjilbab itu tidak wajib, yang penting bisa menjaga diri dan kehormatan” atau “Buat apa shalat, yang penting selalu berbuat baik pada manusia”, atau pula “Shalat itu intinya adalah ingat kepada ALLAH. Nah, kalau kita sudah selalu ingat kepada-NYA walaupun nggak shalat, ya nggak masalah.”
Andai saja memang mereka benar kita boleh meninggalkan syiar agama yang zhahir, tentu Nabi SAW tidak akan melarang untuk jangan menyerupai orang kafir dalam penampilan dan perilakunya. Malah sebaliknya, Rasulullah SAW sangat melarang hal tersebut. Sabdanya, “Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani itu tidak bersemir, maka berbedalah dengan mereka.” (HR. Bukhari Muslim).
Pada riwayat lain, Rasulullah SAW melarang berpakain seperti pendeta (HR. Muslim). Karena kesamaan zhahir seseorang muslim dengan orang kafir menimbulkan kesamaran identitas. Seperti saat ini, sangat susah membedakan Muslim dengan orang kafir kecuali melihat dia sedang shalat atau dengan melihat KTP-nya.

2. Yang mengambil simbolnya saja
Ada sekelompok orang yang menampakkan Islam secara zhahir atau mengambil simbol-simbolnya saja, tapi keyakinan dan perilaku jauh dari nilai islam. Merekalah orang Munafiq yang menampakkan islam dalam zhahirnya, namun sesat dalam keyakinan hati dan pemahamannya. Misal, para dukun yang berpenampilan ustadz atau orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan tapi paling mewah dan meriah saat merayakan hari raya ‘Iedul Fitri.

3. Islam Pinggiran
Mereka adalah kelompok yang mengambil isi dan kulitnya, tapi hanya bagian yang disukai saja atau yang menguntungkannya saja. Sesekali mereka mengambil identitas dan aturan islam.
Di saat lain mereka mereka mengadopsi aturan yang bertentangan dengan islam, tergantung yang mana disukai dan menguntungkan. Ya benar, mereka beribadah kepada ALLAH dipinggiran saja, seperti yang difirmankan ALLAH, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah ALLAH dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11)
Termasuk ke golongan ini adalah orang yang menikahi wanita lebih dari satu dengan alasan mengikuti sunnah Rasulullah, tapi enggan melakukan shalat, zakat, atau puasa.

MASUKLAH ISLAM SECARA KAFFAH
Islam adalah agama yang sangat sempurna dari segala sisinya dan sesuai dimanapun tempat dan sesuai dengan segala zaman. Karena Islam adalah aturan yang diturunkan ALLAH Yang Maha Mengetahui apa-apa yang baik bagi manusia dan apa-apa yang buruk bagi manusia.
Islam juga menjamin kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Jadi mustahil, bila ada yang menganggap Islam adalah agama yang ketinggalan jaman, atau hanya cocok untuk orang Arab saja. Demikian pula bila ada yang beranggapan, aturan-aturan Islam itu tak dapat diterapkan dalam kehidupan.
Kita diperintahkan masuk dalam Islam secara keseluruhan, menyerah penuh ketundukan disertai pengagungan terhadap syariat ALLAH. Sebagaimana firman-NYA, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:208)
Ibnu Katsir menafsirkan, “ALLAH memerintahkan hamba-hamba-NYA yang beriman kepada-NYA dan mempercayai Rasul-NYA agar mengambil seluruh tali Islam dan syariat-NYA. Beramal dengan semua perintah-NYA dan meninggalkan seluruh larangan-NYA.

SATU-SATUNYA JALAN SELAMAT
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa.”(QS. Al-An’am:153).
Ayat ini menguraikan bahwa Rasulullah saw. diperintahkan supaya menjelaskan kepada kaumnya bahwa Alquran yang mengajak kamu untuk mengikutinya adalah untuk kepentingan hidupmu. Dialah pedoman dan petunjuk dari Allah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridai-Nya, dan jalan ini adalah jalan yang lurus, ikutilah dia, dan jangan mengikuti jalan-jalan yang lain yang mencerai-beraikan kamu dari jalan Allah.
Dalam hadis dari Ahmad, Nasai, Abu Syaikh dan Hakim dari Abdullah bin Masud dia menceritakan yang maksudnya: Rasulullah saw membuat satu garis lurus dengan tangannya lalu bersabda, "Ini jalan Allah yang lurus." Kemudian menggariskan beberapa garis lagi dari kanan-kiri garis pertama tadi lalu bersabda lagi, "Pada setiap jalan dari jalan-jalan itu ada setan yang mengajak untuk menempuhnya." Kemudian Rasulullah membaca ayat ini (QS Al-An'am:153)
Kemudian ALLAH menjelaskan selain Agama Islam, maka tidak akan diterima, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran:85)
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Umar ibnu Khaththab ra.: “Kami dulu hina, kemudian islam menjadikan kami mulia. Barangsiapa mencari kemuliaan dengan selain islam maka ALLAH akan menjadikannya hina.”

SIKAP KITA
Hamba yang beriman seharusnya mempunyai kebanggaan atas imannya. Tidak merasa rendah diri, apalagi rasa malu mengaku beriman kepada ALLAH. Karena sesungguhnya ALLAH telah menjamin kemuliaan orang yang beriman, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”QS. Ali ‘Imraan: 139)
Juga ALLAH telah menjamin kita telah berada di atas jalan yang lurus, “Sesungguhnya ALLAH Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf: 64)

RIDHO ISLAM SEBAGAI AGAMA
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berkata: ‘Rodhitu billahi robban, wabil islami diinan, wabi muhammadin nabiyyan (artinya: Aku rela ALLAH sebagai RABB, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi), maka telah jadi kewajiban bagi ALLAH meridhoinya.' (HR. At-Tarmidzi)
Beriman kepada ALLAH tidak cukup hanya secara lisan, tapi harus diteguhkan dengan pengakuan hati dan diwujudkan dalam amal perbuatan yang berupa ketaatan menjalankan perintah ALLAH dan menjauhi larangan-NYA. Seperti yang difirmankan ALLAH, “Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf: 43).
Dan, “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am:162-163).
Sudah semestinya kita bersyahadah dengan lantang, seperti ucapan para Mujahid: “HIDUP MULIA DALAM ISLAM ATAU MATI SYAHID.”

Sumber Tulisan:
1. Panduan Materi Tarbiyah

Minggu, 29 Juni 2008

TANDA

Suatu hari terlihat Hoja sedang mencari-cari sesuatu di padang pasir. Melihat itu bertanyalah seseorang ingin tahu, “Ada apa Hoja, apa yang kau cari?”.
“Aku dahulu menyimpan sesuatu di sekitar sini, tapi sekarang tidak dapat ku temukan.”, Hoja menjawab.
“Tidakkah kau beri tanda pada waktu itu?”, orang tersebut coba membantu mengingatkan.
“Ya. Aku taruh tepat di bawah bayangan awan mendung dan sekarang, kok, tidak ada lagi, ya?!”, ujar Hoja

SAMA-SAMA MASUK SURGA

Seorang laki-laki berwajah buruk beruntung mempunyai seorang istri yang sangat jelita. Sehingga tak bosan-bosan ia menatap kecantikan wajah istrinya. Hal itu menyebabkan sang istri salah tingkah.
“Ada apa kanda sedari tadi memandangiku terus?”, ujar sang istri. “Aku sangat bersyukur kepada ALLAH mempunyai istri sangat cantik seperti kamu.” Sahut si suami.
“Kalau demikian kita berdua akan sama-sama masuk surga.”, ujar sang istri lagi. “Mengapa demikian?”, tanya si suami.
“Bukankah orang yang bersyukur dan bersabar masuk surga? Kanda bersyukur punya istri cantik seperti aku dan aku bersabar mempunyai suami jelek seperti kanda.” Jawab sang istri.

FIRQATUN NAJIYYAH

ALLAH ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan ALLAH. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (QS. Al-Mujaadilah: 22)

Karakteristik terpenting dari Firqah Najiyah (golongan yang selamat) adalah tamassuk (berpegang) dengan apa yang dibawa oleh Nabi baik dalam hal aqidah, ibadah, ahklaq maupun muamalah (hubungan antarmanusia). Dalam hal-hal inilah Firqah Najiyah tampak berbeda dengan yang lain. Dalam hal aqidah, mereka sangat memegang teguh al-Qur’an dan as-Sunnah dalam mengesakan (mentauhidkan) ALLAH secara murni di dalam uluhiyah (peribadatan kepada-Nya), rububiyah (perbuatan-perbuatan-Nya) serta nama-nama dan sifat-sifat-NYA.
Dalam hal ibadah, terlihat Firqah Najiyah ini berbeda dengan yang lain karena mereka memegang secara sempurna dan menerapkan apa yang dibawa oleh Nabi SAW di dalam peribadatan, baik jenisnya, sifat, kadar, waktu, tempat dan sebab-sebabnya. Tidak didapati mereka melakukan bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru) di dalam agama ALLAH ini. Bahkan mereka sangat beradab kepada ALLAH dan rasul-NYA, tidak berani berbuat lancang terhadap ALLAH dan rasul-NYA, seperti memasukkan sesuatu ke dalam peribadatan yang tidak diperintahkan (disyari’atkan) oleh ALLAH. Dalam hal akhlaq, mereka juga tampak berbeda dengan yang lain, karena akhlaq mereka yang mulia, seperti mencintai kaum muslimin, suka berlapang dada, bermuka manis, bagus dalam bertutur kata, bermurah hati, berani dan yang lainnya dari ahklaq yang baik lagi mulia. Dalam hal muamalah, terlihat mereka berhubungan dengan orang lain secara jujur dan jelas, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi SAW di dalam sabdanya: “Jual-beli itu dengan pilihan/tanpa paksaan (membatalkan atau meneruskan akad jual-beli) selama belum berpisah (antara penjual dan pembeli), jika saling berbuat jujur dan saling menjelaskan diberkahi jual-beli keduanya. Jika saling berdusta dan saling menyembunyikan terhapus berkah jual-beli keduanya.” (Bukhari)
Adapun kekurangan pada karakteristik ini tidaklah mengeluarkan seseorang dari Firqah Najiah, akan tetapi masing-masing memiliki derajat sesuai dengan kadar amalnya. Namun kekurangan pada sisi Tauhid mungkin bisa mengeluarkannya dari Firqah Najiah, seperti tidak adanya ikhlas. Demikian pula halnya dengan perbuatan-perbuatan bid’ah, yaitu apabila seseorang melakukannya dapat mengeluarkannya dari Firqah Najiah. Adapun kekurangan dalam hal berakhlaq dan ber-muamalah tidaklah menjadikannya keluar dari golongan Firqah Najiyyah. Sekalipun hal tersebut mengurangi martabatnya. Terkadang kita perlu merinci dalam masalah ahklaq, karena yang terpenting dalam akhlaq adalah seia-sekata diatas kebenaran, sebagaimana yang telah diwasiatkan oleh ALLAH, “DIA telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-NYA kepada Nuh dan apa yang telah KAMI wahyukan kepadamu dan apa yang telah KAMI wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.’” (Q.S. As-Syura:13)
Dan ALLAH mengabarkan bahwa Muhammad SAW berlepas diri dari mereka yang memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (Q.S. Al-An’am:159)
Seia-sekata dan berpadunya hati termasuk di antara karakteristik terpenting Firqah Najiyah—Ahlus Sunnah wal Jamaah—Jika terjadi perselisihan pendapat di antara mereka karena hasil ijtihad dalam perkara-perkara ijtihadiyah (yang memungkinkan terjadinya ijtihad dan perbedaan pendapat) tidaklah menjadikan mereka saling mendendam, bermusuhan dan tidak pula saling membenci.
Akan tetapi tetap menganggap mereka sebagai saudara sekalipun terdapat perselisihan diantara mereka. Sehingga seseorang diantara mereka tetap shalat di belakang imam yang dipandang olehnya tidak dalam keadaan berwudhu, sementara imam memandang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu, seperti jika salah seorang diantara mereka berma’mum kepada imam yang baru memakan daging unta. Imam di sini berpendapat bahwa memakan daging unta tidaklah membatalkan wudhu, sementara ma’mum berpendapat sebaliknya–bahwa makan daging unta membatalkan wudhu—maka dalam hal ini shalat di belakang imam tersebut sah. Sekalipun seandainya ia shalat seorang diri akan menganggap shalatnya tidak sah.
Semua ini karena mereka memandang bahwa perselisihan pendapat yang muncul karena sebab ijtihad dalam yang ia pegang), bagaimanapun adanya. Jika yang lain menyelisihi dalil yang ia pegang pada hakikatnya telah menempuh apa yang diserunya, dan telah mengambil petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Bukanlah suatu yang asing bagi para ulama akan apa yang terjadi diantara para sahabat dalam perkara seperti ini. Sekalipun perselisihan itu di masa Rasulullah akan tetapi tidaklah Rasulullah mencela salah satu yang berselisih diantara mereka.
Contohnya ketika Rasulullah SAW pulang dari perang ahzab, Jibril mendatangi beliau dan mengisyaratkan untuk keluar memerangi bani Quraizhah (Salah satu kelompok kaum Yahudi yang tinggal di sekitar Madinah saat itu) yang telah mengingkari perjanjian. Maka Rasulullah SAW mengutus beberapa sahabatnya (untuk menuju bani Quraizhah) sambil mengatakan: “Janganlah salah seorang -diantara kalian mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Maka keluarlah para sahabat dari Madinah menuju Bani Quraizhah. Dan ketika datang waktu shalat ashar, sebagian mereka mengakhirkan shalat ashar hingga sampai di Bani Quraizhah sementara waktu shalat ashar telah lewat, karena Rasulullah SAW mengatakan, “Janganlah salah seorang-di antara kalian mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari)
Sebagian lain shalat tepat pada waktunya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW memaksudkan-dengan sabdanya- agar kita bersegera untuk keluar (menuju bani Quraizhah), bukan untuk mengakhirkan shalat sampai keluar dari waktunya.” dan mereka inilah yang benar, akan tetapi meskipun demikian Nabi SAW tidaklah mencela satu pun dari kedua kelompok tersebut (setelah sampai beritanya kepada beliau) dan tidak pula menjadikan diantara mereka saling bermusuhan atau membenci hanya dikarenakan berbeda dalam memahami ungkapan Nabi SAW tersebut.
Oleh karena Syaikh Ibnu Utsaimin memandang bahwa wajib bagi kaum muslimin yang menisbatkan kepada sunnah untuk menjadi umat yang satu dan jangan sampai menjadi ber-hizib-hizib (berkelompok-kelompok), yang ini perkara yang dibolehkan adanya ijtihad, hakikatnya bukanlah perselisihan, karena masing-masing yang berselisih telah mengikuti dalil yang wajib mereka ikuti yang mereka tidak boleh berpaling darinya. Mereka memandang bahwa saudara mereka yang menyelisihi dalil yang ia pegang pada prinsipnya telah sepakat dengannya, yaitu mengikuti dalil pula (meskipun berbeda dengan apa menisbatkan kepada satu kelompok dan yang lain pada kelompok yang lain lagi, demikian pula yang ketiga dan seterusnya. Saling menjatuhkan di antara mereka dengan ungkapan yang buruk, saling bermusuhan, saling membenci hanya karena perbedaan yang dibolehkan berijtihad di dalamnya. Tidak perlu saya (Syaikh Utsaimin) menyebutkan kelompok tersebut satu persatu karena orang yang berakal memahami dan telah jelas bagi mereka perkara ini.
Syaikh Utsaimin memandang bahwa wajib bagi Ahlus Sunnah untuk bersatu meskipun mereka berselisih pendapat dalam suatu perkara selama bersandar kepada dalil-dalil berdasarkan pemahaman mereka masing-masing; (yang demikian) karena dalam perkara seperti ini terdapat kelapangan-walilahil hamdu. Dan yang terpenting adalah satu hati dan satu kata. Tidak diragukan lagi bahwa musuh-musuh kaum muslimin senang jika kaum muslimin saling berpecah, sama saja apakah mereka musuh yang terang-terangan menampakkan permusuhan ataupun musuh yang kelihatan menampakkan loyalitas kepada Islam atau kaum muslimin padahal hakikatnya tidaklah demikian. Maka wajib atas kita menunjukkan karakteristik ini, yang merupakan karakteristik golongan yang selamat, yaitu bersepakat diatas satu kata.

Fatawa Vol. 05/ 1424 H - 2003 M

YANG SELAMAT DI TENGAH MARAKNYA ALIRAN SESAT

(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan."
(QS. An-Nahl: 32)
Fenomena perpecahan umat merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi. Dimulai dengan munculnya Khawarij, kemudian Syi’ah dan seterusnya. Dan saat ini, di negeri kita mulai pula bermunculan kelompok baru yang semakin memecah belah umat. Sebut saja seperti Ahmadiyah, Islam jama’ah, Isa Bugis, Qiyadah Islamiyah dan lain sebagainya. Semua kelompok tersebut mengklaim kelompoknyalah yang paling benar, sedangkan orang di luar kelompoknya adalah kafir atau minimal sesat.
Menyikapi fenomena seperti ini, sebagian kaum muslimin ada yang berpandangan bahwa semua kelompok dalam Islam adalah benar. Karena masing-masing mempunyai dalil. Oleh karena itu, kemudian sebagian kaum muslimin bersikap toleran atau berusaha merangkul semua kelompok yang ada. Apalagi kalau sudah berbicara hitungan mencari massa. Pandangan seperti ini ternyata salah besar, karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih yang mengabarkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya sesat dan masuk neraka, kecuali satu kelompok saja.

HANYA SATU YANG SELAMAT
ALLAH berfirman, “Dan bahwa (yang KAMI perintahkan ini) adalah jalan-KU yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-NYA. Yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa.”(QS. Al-An’am: 153)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Setelah dalam ayat sebelumnya ALLAH banyak menjelaskan tentang perintah-perintah yang besar dan syariat yang penting, lalu ALLAH menjelaskan bahasa semua itu dan syariat secara umum merupakan jalan ALLAH yang lurus, bahwasanya hukum-hukum ini dan hukum-hukum lain yang serupa, yang telah ALLAH paparkan di dalam kitab-NYA dan telah ALLAH jelaskan kepada hamba-hamba-NYA merupakan jalan yang akan mengantarkan orang yang melaluinya kepada ALLAH dan kemuliaan di sisi ALLAH (surga). Jalan tersebut merupakan jalan yang lurus, mudah lagi singkat. ALLAH berfirman, “Ikutilah”. Maka ikutilah jalan itu, agar kalian bisa menggapai angan-angan indah serta kesenangan-kesenangan di surga. ALLAH juga berfirman, “Janganlah kalian menempuh jalan-jalan yang menyelisihi jalan lurus ini, karena hal itu akan menyesatkan kalian serta mencerai beraikan kalian dari jalan ALLAH, maka tidak ada jalan lain lagi di hadapan kalian melainkan jalan-jalan yang akan mengantarkan ke neraka jahim.”
Al-Imam Asy-Syatibi berkata tentang ayat di atas, “Jalan yang lurus itu adalah jalan ALLAH, yang ALLAH menyeru manusia agar melaluinya, dan itulah As-Sunnah (jalan Rasulullah), sedangkan yang dimaksud dengan al-subul adalah jalan-jalan orang-orang yang menyelisihi As-Sunnah; melenceng dari jalan yang lurus. Mereka itulah yang disebut Ahli Bid’ah. Tentang firman ALLAH, “Janganlah mengikuti jalan-jalan lain” maksudnya janganlah kalian mengikuti bid’ah-bid’ah dan syubhat-syubhat.”
ALLAH telah mengabarkan di dalam Al-Qur’an bahwa manusia akan menyelisihi jalan yang lurus tersebut, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh ALLAH. “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (QS. Hud: 118-119)
Tentang tafisr ayat ini Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Manusia akan selalu menyelisihi kebenaran, berkenaan dengan agama yang mereka peluk, keyakinan yang mereka miliki, madzhab-madzhab yang mereka anut, dan pendapat-pendapat yang mereka pegangi, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dari ALLAH. Yaitu orang-orang yang selalu mengikuti para Rasul ALLAH dan berpegang teguh dengan syariat ALLAH. Mereka inilah yang beruntung mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat karena merupakan golongan yang selamat.”
Kemudian Rasulullah SAW memperjelas makna ayat ini dengan sabdanya, “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi 71 kelompok, Nashrani pun telah berpecah menjadi 72 golongan. Demi Yang jiwaku ada di Tangan-NYA, sungguh pasti berpecah umatku menjadi 73 golongan. Satu yang masuk surga sementara 72 lainnya masuk neraka. Ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” jawab Beliau, “Siapa saja yang serupa (mengikuti) dengan apa yang hari ini ada padaku dan sahabatku.”
Ada beberapa catatan penting dari kandungan hadits tersebut:
1. Para Ulama berpendapat bahwa biang terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan adalah bid’ah dalam agama.
2. Rasulullah SAW mengabarkan bahwa ke-72 golongan tersebut berada dalam neraka. Ini sebuah ancaman yang menunjukkan semua firqah tersebut telah melakukan maksiat besar. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah ushul bahwa perbuatan yang diancam dengan neraka berarti dosa besar. Tentang besarnya dosa bid’ah, Imam Malik berkata, “Pelaku bid’ah tidak ada harapan untuk mendapatkan ampunan dari ALLAH, dia akan diadzab di neraka Jahanam disebabkan oleh perbuatan bid’ahnya tersebut.” Ayyub As-Sakhtiyani berkata, “Pelaku bid’ah semakin bersemangat mengamalkan bid’ahnya justru semakin menambah jauhnya dari ALLAH.”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat, karena pelaku bid’ah merasa benar dengan bid’ahnya hingga tak ada keinginan untuk bertaubat, sementara pelaku maksiat merasa bersalah, dan ada kemungkinan baginya untuk sadar dan bertaubat.”
3. Ketika Rasululah SAW ditanya tentang siapakah kelompok yang selamat tersebut, Beliau menjawab, “Jalan yang aku tempuh saat ini dan juga para sahabatku” dan dalam riwayat lain “Al-Jama’ah”.
Tentang makna dari jawaban Rasulullah SAW tersebut, Imam Al-Syathibi berkata, “Para sahabat adalah orang yang paling mengikuti Al-Qur’an dan AS-Sunnah, maka semua orang yang mengikuti sahabat termasuk golongan yang selamat, yang akan masuk surga dengan karunia ALLAH.”
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan yang lurus. Sementara itu sifat-sifat yang melekat pada Nabi SAW dan sahabatnya adalah berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Demikian dengan pemaknaan dengan AL-Jama’ah dengan makna sahabat, karena kelompok tersebut adalah mayoritas pada saat Rasulullah SAW dan mereka berpegang teguh pada AL-Qur’an dan As-Sunnah.
Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Wahai Amr bin Maimun sesungguhnya sebagian besar jama’ah saat ini telah menyelisihi jama’ah. Sesungguhnya jama’ah itu adalah orang yang taat kepada ALLAH walaupun engkau sendiri.”
Imam Abu Syamah berkata, “Adanya perintah untuk bergabung dengan jama’ah yang dimaksud adalah berpegang dengan kebenaran dan mengikutinya, walaupun orang dengan kebenaran itu sedikit, dan yang menyelisihinya jauh lebih lebih banyak, karena kebenaran itu adalah yang diamalkan oleh jama’ah yang pertama, yaitu Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Dari penjelasan di atas bisa kita tarik kesimpulan:
1. Bahwa perpecahan umat dan banyaknya orang-orang yang menempuh jalan-jalan kesesatan merupakan suatu keniscayaan (takdir).
2. Golongan yang selamat adalah Al-Jama’ah. Pengertiannya bukan dengan mendirikan jama’ah atau bergabung dengan jama’ah yang ada, tetapi yang benar maksudnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
3. maka menjadi jelaslah kesalahan faham tentang jama’ah versi Ilam Jama’ah, NII dan kelompok-kelompok semisalnya.
4. bahwa setiap kelompok mengklaim kelompoknya yang paling benar dan yang paling selamat adalah merupakan suatu yang wajar, akan tetapi standar kebenaran atas klaim tersebut adalah perkataan Rasulullah SAW, “Jalan yang aku tempuh saat ini dan juga para sahabatku”, maka kita lihat manakah kelompok yang paling mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Semoga kita selamat dan tetap istiqomah di atas jalan yang telah dilalui oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Dan selamat dari berbagai kesesatan dalam agama.

Sumber: Fatawa Vol. IV/No. 06 Tahun 2008

Jumat, 27 Juni 2008

Firqotun Najiyyah

Siapakah golongan selamat itu?
Kita lihat, di Indonesia saat ini berkembang berbagai golongan, dari yang sesat sebagai produk dalam negeri seperti LDII dan sebagainya, atau yang import seperti Ahmadiyah dan sebagainya. Masing-masing kelompok mengklaim mereka yang benar dan selamat, sedangkan kelompok di luar mereka yang tidak sepaham, mereka nyatakan kafir, atau minimal sesat.
Memang, bisa saja semua mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknya yang benar dan orang selain mereka adalah sesat. Namun, benarkah anggapan tersebut?
Sesungguhnya fenomena terjadinya perpecahan umat dan saling membanggakan diri dan kelompoknya ini sudah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.
Dalil Al-Qur’an
ALLAH berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) ALLAH, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran: 103)
ALLAH berfirman, “… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan ALLAH, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum: 31-32)
Hadits Nabi SAW
“Sebab, barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya.” (HR. An-Nasa’I dan Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Telah berpecah kaum Yahudi menjadi 71 kelompok, Nashrani pun telah berpecah menjadi 72 golongan. Demi Yang jiwaku ada di Tangan-NYA, sungguh pasti berpecah umatku menjadi 73 golongan. Satu yang masuk surga sementara 72 lainnya masuk neraka. Ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” jawab Beliau, “Siapa saja yang serupa (mengikuti) dengan apa yang hari ini ada padaku dan sahabatku.” (HR. Tirmidzi, dihasankan Al-Albani)


Ciri-ciri golongan Selamat
Perpecahan umat merupakan suatu takdir yang pasti terjadi. Dan sekarang memang sudah terjadi. Oleh karena itu, kita harus mengenali siapakah golongan yang selamat itu?
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, Dalam hadis dari Ahmad, Nasai, Abu Syaikh dan Hakim dari Abdullah bin Masud dia menceritakan yang maksudnya: Rasulullah saw membuat satu garis lurus dengan tangannya lalu bersabda, "Ini jalan Allah yang lurus." Kemudian menggariskan beberapa garis lagi dari kanan-kiri garis pertama tadi lalu bersabda lagi, "Pada setiap jalan dari jalan-jalan itu ada setan yang mengajak untuk menempuhnya." Kemudian Rasulullah membaca ayat ini, Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa. (Q.S Al-An'am:153)”
Golongan yang selamat itu karakteristiknya adalah:
1. Golongan yang setia berpegang teguh kepada manhaj Rasulullah SAW dalam hidupnya, dan manhaj para sahabat sesudahnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan padamu dua perkara, kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu kitabullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai berai sehingga keduanyamenghantarku ke telaga (surga). (dishahihkan Al-Albani)
2. Selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits tetkala terjadi perselisihan dan pertentangan di antara mereka.
ALLAH berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
ALLAH berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
3. Tidak mendahulukan perkataan seseorang atas firman ALLAH dan sabda Rasul-NYA
ALLAH berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-NYAdan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1)
4. Senantiasa menjaga kemurnian tauhid
“Katakanlah: “sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”” (QS. Al-An’am: 162-163)
5. Senang menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW dalam ibadah, perilaku dan dalam segenap hidupnya.
Karenanya mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya, sebagaimana Nabi SAW sabdakan, “Sesungguhnya Islam pada permulaannya asing dan akan kembali asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besarlah bagi orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, “Dan keuntungan besarlah bagi orang-orang yang asing, yaitu orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih)
6. Tidak fanatik kecuali pada firman ALLAH dan Sabda Rasul-NYA yang ma’shum yang berbicara tidak berdasarkan hawa nafsu.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap manusia (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (HR. Ahmad, hasan)
7. Mereka adalah para ahli hadits
Rasulullah SAW bersabda, “Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan ALLAH.” (HR. Muslim)
8. Menghormati para Imam Mujtahidin, tidak fanatik terhadap salah seorang di antara mereka. Golongan selamat mengambil fiqh dari Al-Qur’an, hadits-hadits shahih dan pendapat imam-imam mujtahidin yang sejalan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

9. Golongan yang selamat menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mereka melarang segala jalan bid’ah dan sekte-sekte yang menghancurkan dan memecah belah umat, berbuat bid’ah dalam hal agama da menjauhi sunnah Rasul dan para sahabatnya.

10. Golongan yang selamat mengajak seluruh umat Islam agar berpegang teguh kepada sunnah Rasul dan para sahabatnya.

11. Golongan yang selamat mengingkari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia jika bertentangan dengan ajaran Islam. Golongan yang selamat mengajak manusia berhukum kepada Kitab Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.

12. Golongan yang selamat mengajak seluruh umat Islam berjihad di jalan ALLAH.

Dikutif dari Jalan Golongan Yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haq.

Kamis, 26 Juni 2008

Tidak Merokok Karena ALLAH

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Sering kita baca di bungkus rokok terdapat peringatan: “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”, tetapi anehnya orang merokok bukan makin surut, bahkan semakin banyak jumlah perokok maupun jumlah batang yang mereka hisap. Demikian juga dengan konsumennya telah meliputi semua kalangan. Sudah sangat memprihatinkan sekali, laki-laki, perempuan, tua atau muda, bahkan anak-anak pun sudah merokok. Jarang yang selamat dari rokok, kecuali yang dirahmati ALLAH.
Bagaimanakah pandangan Islam terhadap rokok?

Bahaya Rokok
Dari sisi kesehatan, bahaya rokok tidak dapat dibantah lagi. Terbukti 70.000 artikel ilmiah telah menyatakan bahaya rokok. Bahaya rokok telah terbukti secara medis, di antara bukti tersebut adalah:

1. Ada racun berbahaya, Sekitar 4000 jenis racun, di antaranya:
• TAR, yaitu timbunan kotoran pekat yang dapat menyumbat dan mengiritasi paru-paru dan pernafasan, menyebabkan penyakit bronchitis kronis, emphysema, kanker paru-paru, dan kanker kandung kemih.

• NIKOTIN, adalah suatu zat pencandu yang mempengaruhi sistem saraf,mempercepat detak jantung, dan menambah resiko penyakit jantung. Racun ini biasa dipakai sebagai pembasmi serangga.

• Karbonmonoksida (gas CO), racun in meresap ke dalam aliran darah, mengurangi kemampuan sel darah merah membawa oksigen ke seluruh tubuh dan mempengaruhi sistem peredaran darah. Dapat menyebabkan penumpukan zat pembuluh darah, mengakibatkan serangan jantung fatal.

2. Perokok mempunyai peluang dua kali lipat meninggal dunia karena serngan jantung koroner daripada yang tidak merokok.

3. Rokok mengakibatkan kematian yang sangat besar, dan resiko perokok mengidap penyakit kanker paru-paru/TBC lebih besar lima kali lipat daripada yang tidak merokok. Dichina setiap tahunnya sekitar 140.000 jiwa melayang sebab rokok dan 90% dari 660 penderita kanker paru-paru di sebuah rumah sakit Shanghai adalah pecandu rokok.

4. data kesehatan WHO menunjukkan bahwa sekitar 346.000 nyawa melayang sia-sia setip tahun pada satu wilayah tertentu disebabkan oleh rokok.

Pandangan Islam Terhadap Rokok
Islam telah mengharamkan secara umum segala sesuatu yang membahayakan, mengganggu sesama dan menyia-nyiakan harta. Di antara dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Semua orang telah mengetahui dan sepakat bahwa rokok adalah sesuatu yang buruk dan sama sekali tidak mengandung kebaikan. Sehingga termasuk dalam firman ALLAH, “…dan (Rasul) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (QS. Al-A’raaf: 157)

Setiap orang yang berakal dan mau jujur, jika ditanya apakah rokok sesuatu yang baik atau buruk, pasti mereka menjawab, “Tidak, bahkan rokok adalah sesuatu yang buruk.”

Apalagi saat ini, pemerintah dan lembaga-lembaga sosial yang ada telah menerapkan peraturan pelarangan merokok di tempat-tempat umum, seperti kantor, masjid, bus kota dan lain sebagainya.
Selain itu, kita melihat orang tua yang perokok berusaha mencegah anak-anak mereka merokok dan mereka tidak suka mengajari anak mereka merokok.

2. Rokok adalah sesuatu yang membinasakan. Buktinya, salah satu penyebab kematian terbesar di dunia adalah rokok, maka seorang yang merokok sama dengan membunuh dirinya secara perlahan. Sedangkan ALLAH melarang manusia membunuh dirinya, “… janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah: 195)

3. ALLAH mengharamkan segala sesuatu yang madhorotnya lebih besar dari manfaatnya seperti arak dan judi, sebagaimana firman-NYA, “… dan dosa keduanya (arak dan judi) lebih besar ketimbang manfaatnya…” (QS. Al-Baqarah: 219)

Rokok jelas bahaya dan dosanya lebih besar.

4. Dalam Islam dilarang melakukan perbuatan perbuatan yang membahayakan diri dan orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” (HR. Baihaqi dan Hakim, dishahihkan Albani)

Rokok tidak diragukan membahayakan diri dan orang lain. Bahkan menurut penelitian, asap rokok terdiri atas 4000 bahan kimia yang sangat membahayakan bagi perokok pasif (orang yang tidak merokok tapi ikut menghisap asap rokok dari perokok)

5. Agama Islam melarang kita mengganggu sesama muslim, sebagaimana firman-NYA, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)

6. ALLAH melarang pemborosan dan menyia-nyiakan harta, sebagaimana firman-NYA, “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)

Orang yang merokok adalah orang yang menghamburkan hartanya dengan sia-sia, bahkan mereka rela membeli rokok padahal kebutuhan lain yang lebih penting dan bermanfaat tidak terpenuhi.
Bahkan menurut data di berbagai negara termasuk Indonesia, sebenarnya walaupun pajak yang ditarik dari rokok itu besar, ternyata biaya kesehatan dan pengobatan akibat rokok lebih besar tiga kali lipat dari cukai yang didapatkan dan ini jelas-jelas pemborosan yang terlarang.

Melihat betapa besar bahaya dan kerugian, baik bagi dirinya dan orang lain akibat dari merokok, maka sudah sepantasnya orang yang beriman untuk berhenti merokok karena ALLAH.
Wallahul Muwaffiq.

------------------
Sumber: Al-Furqon, edisi 09 Tahun 2008

TAWASSUL SYAR’I

AKU mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-KU, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-KU) dan hendaklah mereka beriman kepada-KU, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(QS. Al-Baqarah: 186)

Dalam berdoa kita diperbolehkan bertawassul. Karena bertawassul ini akan dapat menjadikan doa kita terkabul. Namun, dalam bertawassul harus memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat, karena apabila tidak dipelajari dengan benar, dapat menjatuhkan kepada tawassul yang bid’ah bahkan syirik.
Tawassul adalah menggunakan wasilah sebagai sarana yang dipakai untuk menuju kepada yang dimaksud atau menjadikan sesuatu sebagai perantara. Maka bertawassul dalam berdoa berarti memakai wasilah atau perantara dalam berdoa kepada ALLAH. Di dalam berdoa ada wasilah yang sesuai dengan syariat dan ada yang bertentangan dengan syariat.
Tawassul yang disyariatkan untuk digunakan dalam berdoa adalah sebagai berikut:

1. Bertawasul dengan Asmaul Husna (nama-nama dan sifat ALLAH)
Hal ini didasarkan kepada firman ALLAH, ”Hanya milik ALLAH Asma al - Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-NYA, nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A'raf (7):180). Contoh bertawassul dengan Asmaa al-Husna: "Tidak ada Tuhan selain ALLAH semata, Yang tiada sekutu bagi-NYA, kepunyaan-NYA-lah segenap kerajaan dan milik-NYA-lah segala pujian, dan DIA Maha Kuasa atas segala sesuatu." (HR. Muslim) atau "Maha Suci ALLAH dengan segala pujian-NYA dan Maha Suci ALLAH TUHAN Yang Maha Agung". (HR. Muslim)
2. Bertawassul dengan amal shalih.
Sebagaimana firman ALLAH, ”Orang-orang yang berdoa: ”Ya TUHAN kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali-Imran: 16)
”Dan DIA memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-NYA. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras. (QS. Asy-Syuura: 26)
Dari Rasulullah SAW, Beliau bersabda: “Ketika tiga orang pemuda sedang berjalan, tiba-tiba turunlah hujan lalu mereka pun berlindung di dalam sebuah gua yang terdapat di perut gunung. Sekonyong-konyong jatuhlah sebuah batu besar dari atas gunung menutupi mulut gua yang akhirnya mengurung mereka.
Kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: Ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan untuk ALLAH, lalu mohonlah kepada ALLAH dengan amal tersebut agar ALLAH berkenan menggeser batu besar itu.
Salah seorang dari mereka berdoa: “Ya ALLAH, sesungguhnya dahulu aku mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia, seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil di mana akulah yang memelihara mereka. Setelah aku mengandangkan hewan-hewan ternakku, aku segera memerah susunya dan memulai dengan kedua orang tuaku terdahulu untuk aku minumkan sebelum anak-anakku. Suatu hari aku terlalu jauh mencari kayu (bakar) sehingga tidak dapat kembali kecuali pada sore hari di saat aku menemui kedua orang tuaku sudah lelap tertidur. Aku pun segera memerah susu seperti biasa lalu membawa susu perahan tersebut. Aku berdiri di dekat kepala kedua orang tuaku karena tidak ingin membangunkan keduanya dari tidur namun aku pun tidak ingin meminumkan anak-anakku sebelum mereka berdua padahal mereka menjerit-jerit kelaparan di bawah telapak kakiku. Dan begitulah keadaanku bersama mereka sampai terbit fajar. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukalah sedikit celahan untuk kami agar kami dapat melihat langit.” Lalu ALLAH menciptakan sebuah celahan sehingga mereka dapat melihat langit.
Yang lainnya kemudian berdoa: ”Ya ALLAH, sesungguhnya dahulu aku pernah mempunyai saudara seorang puteri paman yang sangat aku cintai, seperti cintanya seorang lelaki terhadap seorang wanita. Aku memohon kepadanya untuk menyerahkan dirinya tetapi ia menolak kecuali kalau aku memberikannya seratus dinar. Aku pun bersusah payah sampai berhasillah aku mengumpulkan seratus dinar yang segera aku berikan kepadanya. Ketika aku telah berada di antara kedua kakinya (selangkangan) ia berkata: Wahai hamba ALLAH, takutlah kepada ALLAH dan janganlah kamu merenggut keperawanan kecuali dengan pernikahan yang sah terlebih dahulu. Seketika itu aku pun beranjak meninggalkannya. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mencari keridaan-Mu, maka ciptakanlah sebuah celahan lagi untuk kami.” Kemudian ALLAH pun membuat sebuah celahan lagi untuk mereka.
Yang lainnya berdoa: ”Ya ALLAH, sesungguhnya aku pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah enam belas ritel beras (padi). Ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya, ia berkata: Berikanlah upahku! Lalu aku pun menyerahkan upahnya yang sebesar enam belas ritel beras namun ia menolaknya. Kemudian aku terus menanami padinya itu sehingga aku dapat mengumpulkan beberapa ekor sapi berikut penggembalanya dari hasil padinya itu. Satu hari dia datang lagi kepadaku dan berkata: Takutlah kepada ALLAH dan janganlah kamu menzalimi hakku! Aku pun menjawab: Hampirilah sapi-sapi itu berikut penggembalanya lalu ambillah semuanya! Dia berkata: ”Takutlah kepada ALLAH dan janganlah kamu mengolok-olokku! Aku pun berkata lagi kepadanya: Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, ambillah sapi-sapi itu berikut penggembalanya! Lalu ia pun mengambilnya dan dibawa pergi. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit celahan lagi yang tersisa. Akhirnya ALLAH membukakan celahan yang tersisa itu.” (HR. Muslim)



3. Bertawassul Dengan Doa Orang Shalih Yang Masih hidup
Diriwayatkan bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah SAW sedang berdiri berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah SAW sambil berdiri, lalu berkata: ”Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada ALLAH, agar Dia berkenan menurunkan hujan.” Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Ya ALLAH, turunkanlah hujan kepada kami. Ya ALLAH, turunkanlah hujan kepada kami. Ya ALLAH, turunkanlah hujan kepada kami". Kata Anas: ”Demi ALLAH, di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan. Demi ALLAH, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat berikutnya.”
Kemudian kata Anas lagi: ”Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah SAW sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata: ”Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar ALLAH berkenan menghentikannya.” Rasulullah SAW mengangkat tangannya dan berdoa: "Ya ALLAH, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya ALLAH, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan". Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (HR. Muslim)
Dari Umar Ibnul Khaththab, dia berkata, ”Saya minta izin kepada Nabi SAW tentang umrah maka Beliau mengizinkan saya, dan Beliau bersabda, “Kamu jangan melupakan kami-wahai saudaraku-dari do’amu.”” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Hasan Shahih).
Demikianlah, bahwa doa itu adalah ibadah, maka di dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan syariat yang ALLAH tetapkan dan harus Ittiba’ kepada Rasulullah SAW, serta tidak boleh menyelisihinya.
Maka tawassul selain yang telah disebutkan di atas maka tidak ada lagi bentuk tawassul yang disyariatkan. Misal bertawassul dengan keagungan Malaikat, keagungan Nabi SAW, orang shaleh yang sudah mati dan sebagainya. Oleh karena itu, mencukupkan dengan yang disyariatkan ALLAH dan disunnahkan oleh Nabi SAW adalah lebih baik dan lebih selamat dari selainnya. Wal ‘iyyadzubillah.

TASLIM

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)

Hari ini kita banyak menyaksikan-semoga kita tidak termasuk di dalamnya-orang-orang yang mengaku Islam, fasih bersyahadat, mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa, berzakat, naik haji, namun ternyata di hatinya tertanam ketidak sukaan bahkan membenci kalau Islam itu dilaksanakan secara utuh, baik secara syariat maupun dalam ibadah ataupun muamalah.
Sebagian umat Islam beranggapan bahwa agama hanyalah berupa ritual-ritual seperti shalat, puasa, zakat dan haji, sedangkan masalah selain itu harus dipisahkan dari agama. Atau ada juga yang berpendapat bahwa agama itu adalah urusan pribadi, yang terserah hanya kepada dirinya sendiri bagaimana dia mau mengamalkan agama. Atau juga ada yang mengambil dari bagian agama Islam yang hanya cocok dengan akal pikirannya, atau perasaannya (hawa nafsunya) saja, tapi jika bertentangan dengan apa yang dia pikir atau menyelisihi perasaan (hawa nafsunya), mudah saja dia tolak.
Maka orang-orang seperti ini apabila ada yang mengingatkan dirinya, bahwa beragama adalah harus kaffah (menyeluruh), maka ada saja jawaban mereka, seperti ‘Ah, beragama itu, kan hak asasi pribadi, mengapa kamu turut campur dengan urusan orang lain?’ atau ‘Berislam kok repot-repot?’ atau berbagai perkataan senada yang intinya beragama itu adalah menurut kehendaknya sendiri.
Sikap seperti di atas, menyebabkan kerusakan yang besar dalam agama. Seperti menghilangkan kesempurnaan Islam. Padahal, Islam tidak hanya mengatur kehidupan akhirat semata, tetapi juga meliputi kehidupan duniawi. Islam tidak hanya mengatur bagaimana cara orang beribadah, tetapi mengatur juga kehidupan sosial (bermasayarakat atau bernegara), dan juga kehidupan individu manusia. Islam tidak meninggalkan sedikitpun kehidupan manusia baik yang kecil (misal urusan masuk WC) tetapi juga meliputi urusan besar (seperti urusan kenegaraan).

Taslim
Sesungguhnya ALLAH memerintahkan kepada manusia untuk masuk ke dalam Islam secara Kaffah (menyeluruh). ALLAH berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Maksud keseluruhan itu adalah seluruh yang ALLAH dan Rasul-NYA perintahkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits yang shahih.
Terhadap seluruh yang ALLAH dan Rasul-NYA perintahkan itu maka kita harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tunduk dan patuh, tanpa ada rasa keberatan apalagi menolak. Sikap ini di sebut dengan Taslim.
Sungguh tanpa sikap taslim ini, maka keimanan seseorang itu belum benar. ALLAH berfirman, ”Maka demi TUHAN-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Kita harus menyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa apa yang datang dari ALLAH adalah yang terbaik, meskipun terkadang berat kita rasakan, atau tidak sesuai dengan selera kita. Karena ALLAH telah mengingatkan, ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; ALLAH mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
ALLAH mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Dalam setiap ketetapan-NYA, ada hikmah yang dalam. Hikmah yang boleh jadi kita tidak mengetahuinya.

Ittiba’
ALLAH berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ALLAH dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut ALLAH.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Selain sikap taslim, di dalam beragama kita juga harus meneladani Nabi SAW. Karena Beliau adalah utusan ALLAH; manusia yang paling tahu tentang maksud ALLAH yang tersurat dan tersirat dalam firman-firman-NYA.
Karenanya para ulama sepakat, jika ada ayat Al-Qur’an yang makna dan maksudnya telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW, maka tidak boleh ada seorangpun yang membantahnya. Semua mesti mengikuti petunjuk Beliau. Inilah hakikat ittiba’.
ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah aku, niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Imam Syafi’i berkata, “Aku beriman kepada ALLAH dan apa saja yang ada di dalam kitabullah sebagaimana dikehendaki oleh ALLAH. Dan aku beriman kepada Rasulullah SAW dan apa saja yang dari Rasulullah SAW sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW.”
Imam Ahmad berkata, “Kuamati mushhaf (Al-Qur’an) dan kudapati perintah untuk mentaati Rasulullah SAW ada di 33 tempat.” Kemudian beliau membaca, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)

Wahyu Versus Akal
Islam adalah agama taslim dan Ittiba’. Maksudnya menomorsatukan wahyu dan menomorduakan selainnya. Akal, pikiran, perasaan, insting dan logika siapa saja harus ditimbang dengan wahyu, dan bukan sebaliknya wahyu yang ditimbang dengan hal-hal tersebut.
Sungguh, ada banyak perkara yang tidak masuk akal, pikiran, dan perasaan yang mesti kita terima dan kita ikuti. Jika kita hanya mau menerima yang masuk akal saja, maka kita tidak akan memeluk agama Islam (Atheis), karena akal tidak dapat menerima adanya malaikat, azab kubur, qodho dan qodhar, dan sebagainya.
Oleh karena itulah, jika kita mengukur kebenaran hanya berdasar kepada perasaan, atau akal pikiran saja maka sungguh tidak akan pernah bisa kita mencapai hakikat kebenaran itu. ALLAH berfirman, ”Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az-Zukhruf: 20)

Tanda Sial?

“Dan hanya kepada ALLAH hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Maa’idah: 23)

Dag..dig..dug…jantung berdegup kencap begitu seseorang kejatuhan cicak dari atap. Apalagi jika cicak jatuh persis di ubun-ubunnya, diapun segera menghitung detik demi detik menanti datangnya musibah. Keyakinan ini masih dianut oleh banyak masyarakat dan beberapa penduduk daerah lain. Sebagian penangkal musibah, ada yang bersegera memburu cicak tersebut lalu disobek mulutnya, supaya musibah tidak jadi menimpanya.

Kecemasan yang sama dirasakan oleh orang yang ketika bepergian tiba-tiba ada ular atau hewan lain yang menyeberang jalan, karena disangka itu merupakan isyarat adanya kendala dalam perjalanan. Ada juga yang mengaitkan suara burung gagak dengan datangnya malaikat maut di dekatnya. ‘Kembar Mayang’ yang jatuh saat resepsi pernikahan ditakwilkan pula sebagai pertanda adanya prahara rumah tangga yang akan di hadapi oleh kedua mempelai. Atau merasa sial karena menabrak anjing atau kucing. Ada kepercayaan bila menabrak kucing, maka kucing tersebut harus dikubur dan dibungkus dengan pakaian sopir kendaraan yang menabraknya. Dan kendaraan yang telah menabrak hewan tersebut harus dijual, karena bila tidak dilakukan, maka kendaraan itu akan terus menerus menabrak lagi. Dan masih banyak lagi kamus mitos yang tersebar di kalangan masyarakat kita. Orang-orang kejawen menangkalnya dengan ritual ruwatan untuk menepis musibah yang diyakini bakal terjadi jika tidak ditangkis.

Demikian juga bila seseorang merasa akan mendapatkan keberuntungan dari isyarat tertentu, misal dari suara burung perenjak atau perkutut, atau burung lainnya, maka biasanya dia juga sibuk menanti-nanti rezeki apa yang akan dia terima.

Keyakinan semacam ini tak hanya ada di sini dan di zaman ini, tetapi jauh sebelumnya, yakni di zaman jahiliyah, orang-orang telah menganut khurafat ini.

Imam Al-Baihaqi berkata: “Perasaan sial karena adanya pertanda tertentu telah di kenal pada zaman jahiliyah dahulu, yang mana mereka menganggap sial di saat mendengar suara burung menjelang pergi untuk suatu keperluan, menganggap isyarat buruk ketika ada suara gagak, lewatnya binatang di jalan dan lain-lain.”

Hal-hal di atas disebut dengan istilah tathayyur, berasal dari kata ‘thair’ yang berarti burung. Karena pada asalnya orang dulu menganggap sial dan keberuntungan berdasarkan suara dan sinyal lain dari burung. Di kalangan jahiliyah ada juga yang ketika hendak bepergian terlebih dahulu menerbangkan seekor burung, jika burung terbang kearah kanan, mereka jadi berangkat, tetapi jika burung terbang kearah kiri, mereka mengurungkan kepergiannya. Tetapi semua yang kami sebutkan di atas, baik perasaan sial dan beruntung karena kejatuhan cicak atau yang lain masuk dalam pengertian tathayyur atau thiyyarah.

Tak Sesuai dengan Dalil
Mengkaitkan jatuhnya cicak dengan hadirnya musibah adalah satu bentuk khurafat dan takhayul. Karena tak ada bukti keterkaitan antara keduanya, baik dari dalil syar’iyyah maupun dalil ilmiyyah.
Islam tidak menafikkan adanya keterkaitan suara hewan tertentu dengan kejadian tertentu jika ada dalil tegas yang menyebutkannya. Sebagai contoh adalah hadits Nabi shallallahu 'alaihi wassallam :
“Jika engkau mendengar ayam jantan berkokok maka mohonlah karunia kepada ALLAH, karena dia melihat malaikat. Dan jika engkau mendengar ringkikan himar maka mohonlah perlindungan kepada ALLAH karena dia melihat setan.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu 'alaihi wassallam menyebutkan suara ayam jantan berkokok sebagai pertanda hadirnya malaikat, maka kita harus meyakini hal ini karena ada dalil syar’i menyebutkannya. Berbeda dengan komentar para ‘agen’ takhayul yang mengkaitkan ayam jantan berkokok di malam hari dengan hilangnya keperawanan seorang gadis di daerah setempat.

Kita juga patuh dan percaya dengan kabar dari Nabi bahwa suara ringkikan himar adalah pertanda datangnya setan, untuk itu kita dianjurkan membaca ta’awudz. Adapun suara hewan lain tidak boleh dikaitkan dengan peristiwa tertentu kecuali jika disebutkan dalil.

Lagi pula, tidak ada hubungan secara ilmiyah dan hissiyah (inderawi) yang bisa dijadikan pegangan bahwa jatuhnya cicak menyebabkan akan adanya bencana yang menimpa. Tidak masuk akal pula bila dikatakan bahwa cicak mengetahui musibah yang bakal terjadi lalu dia memberikan sinyal kepada manusia tentangnya.

Bahkan Tergolong Syirik
Mengaitkan antara jatuhnya cicak dengan musibah, ular menyeberang jalan dengan hambatan atau arah terbang burung dengan nasib sial bukan hanya tidak sah, bahkan tergolong sebagai kesyirikan. Nabi bersabda : “Thiyyarah adalah kesyirikan, thiyyarah adalah kesyirikan, thiyyarah adalah kesyirikan.” (HR Tirmidzi)

Thiyyarah digolongkan sebagai kesyirikan karena orang yang meyakininya berarti menganggap hewan tertentu dapat mendatangkan manfaat dan madharat dengan isyarat yang diperbuatnya. Padahal, hanya Allah semata Yang mampu memberikan manfaat dan madharat, sementara burung, cicak, ular tidaklah mengetahui perkara gaib yang akan terjadi, bersiul dan diamnya tidaklah menimbulkan manfaat maupun madharat.

Ibnul Qayyim menjelaskan: “tathayyur atau thiyyarah adalah merasa sial karena melihat sesuatu. Maka jika seseorang menjadikannya sebagai patokan lalu dia mengurungkan kepergian atau membatalkan niat yang telah ia tetapkan karenanya, berarti dia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk kedalamnya. Dia telah berlepas diri dari tawakal kepada ALLAH dan membuka bagi dirinya pintu ketakutan dan ketergantungan kepada selain ALLAH.”

Kafarah Thiyyarah
Begitu memasyarakatnya berbagai bentuk tathayyur yang penulis sebutkan di atas terkadang menumpulkan kepekaan sebagian kita bahwa yang demikian itu termasuk kesyirikan, karena begitu lumrahnya hal itu terjadi di kanan kiri kita. Akan tetapi, di antara tanda kemurahan ALLAH adalah DIA memberikan peluang kepada kita untuk menebus dosa ketika secara spontan terbetik di hati kita rasa cemas karena adanya suara burung tertentu atau di saat kejatukan cicak. Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah berbuat kesyrikan.” Lalu para sahabat bertanya: “Lalu apa tebusannya wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “hendaknya engkau membaca: “Ya ALLAH, tiada nasib baik kecuali nasib baik (dari)MU, tiada thiyyarah kecuali thiyyarah-MU dan tidak ada ILAH yang berhak disembah selain ENGKAU.” (HR Ahmad)

SUNNAH FITHRAH

”Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, bukan golonganku!" (HR. Ibnu Majah)

Setiap orang pasti ingin tampil sempurna. Banyak hal yang mereka lakukan untuk menutupi kekurangannya. Ada yang menonjol dalam berpakaian, ada yang menonjol dalam perhiasan dan sebagainya. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan resep bagi umatnya bagaimana agar mereka bisa tampil sesempurna mungkin baik di hadapan manusia maupun di hadapan ALLAH.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Lima hal termasuk fithrah, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam riwayat lain, Beliau bersabda, “Sepuluh hal termasuk fithrah, memotong kumis, memanjangkan jenggot, siwak, menghirup air ke dalam hidung, memotong kuku, mencuci jari jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan menghemat air.” Mush’ab berkata: ”Saya lupa yang kesepuluhnya, kalau bukan berkumur-kumur.” (HR. Muslim)

Dua hadits ini menjelaskan tentang sunnatul fithrah, yang artinya apabila seseorang mau melakukannya maka dia akan memiliki sifat yang sesuai dengan fithrah manusia, yang mana manusia diciptakan di atas fithrah tersebut. ALLAH memerintahkan hamba-NYA untuk melaksanakannya agar mereka dalam keadaan sesempurna mungkin.

1. Khitan
Khitan maksudnya adalah memotong daging yang menutupi kepala zakar (kemaluan) bagi kaum lelaki, dan memotong daging yang bentuknya seperti biji kacang atau jengger ayam yang tumbuh di atas lubang farji wanita.

Ulama berselisih pendapat tentang hukum khitan. Ada yang mewajibkan bagi laki-laki dan wanita. Ada yang mengatakan sunnah bagi keduanya. Dan ada yang membedakan, wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita.

Ibnu Qudamah berkata: “Adapun khitan, maka wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita, tidak wajib bagi mereka, ini merupakan pendapat kebanyakan ulama.” (Al-mughni I/85).)

Imam Nawawi berkata: “Pendapat yang benar ialah yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan disepakati oleh kebanyakan ulama, bahwasanya khitan wajib bagi laki-laki dan wanita.” (Al-Majmu’: I/301)

Namun, apabila kita kembali kepada dalil yang ada, maka zhahir khitan hukumnya wajib bagi laki-laki berdasarkan dalil:
1. Khitan adalah syariat agama Nabi Ibrahim. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Nabi Ibrahim kekasih ALLAH berkhitan setelah datang kepadanya umur delapan puluh tahun.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam memerintahkan seorang laki-laki yang masuk Islam untuk berkhitan, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud, di shahihkan Al-Albani)

3. Khitan merupakan syi’ar agama Islam yang merupakan pembeda antara muslim dengan Yahudi dan Nashrani.

4. Kulit yang menutupi kepala zakar (kemaluan laki-laki) apabila tidak dipotong akan menahan air kencing dan menjadi sarang benda najis lainnya, maka diwajibkan dikhitan.

Adapun khitan bagi wanita hukumnya antara wajib dan sunnah. Dikatakan wajib karena asal wanita sama dengan laki-laki dalam masalah hukum, kecuali ada yang membedakannya. Sementara dalam masalah khitan tidak ada dalil yang menunjukkan perbedaan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Sesungguhnya wanita itu sama dengan lelaki.” (HR. Abu Dawud)

Dan dikatakan sunnah karena melihat hikmah (tujuan) khitan itu sendiri. Kalau diperhatikan, ternyata antara khitan laki-laki dan wanita mempunyai hikmah yang berbeda. Tujuan khitan laki-laki kembali kepada syarat sahnya shalat, yaitu bersuci. Adapun khitan bagi wanita, maka tujuannya adalah mengurangi syahwatnya. Daging yang tumbuh di atas lubang farji sangat sensitif. Kalau dibiarkan maka akan sering tersentuh dan akan membangkitkan syahwatnya. Oleh karena itu, disyariatkan untuk dipotong agar syahwatnya normal. Dan menormalkan syahwat bukanlah suatu yang wajib. (Lihat Shahih Fiqhus Sunnah, Abdul Malik)

Namun dalam mengkhitan wanita sebaikanya daging yang dipotong tidak dihabiskan semuanya, karena akan melemahkan syahwatnya.


2. Memanjangkan Jenggot
Mayoritas umat Islam meninggalkan sunnah ini, baik karena tidak tahu kalau itu sunnah atau sudah tahu tapi tidak mau melaksanakan dengan berbagai alasan. Padahal ulama telah menjelaskan wajibnya memanjangkan jenggot bagi laki-laki berdasarkan dalil yang shahih.
Imam Nawawi berkata-setelah membawakan perselisihan pendapat ulama tentang merapikan jenggot-: “Pendapat yang dipilih (benar) adalah membiarkan jenggot sesuai dengan keadaannya dan tidak memotongnya walaupun sedikit.” (Syarh Shahih Muslim lin Nawawi).

Dalil yang menjelaskan wajibnya memanjangkan jenggot adalah sebagai berikut:
• Perintah Rasulullah SAW dalam kaidah ushul fiqh, perintah menunjukan sesuatu yang wajib. Dan tidak ada satu dalil pun yang memalingkannya kepada suatu makna sunnat. Dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda, “Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkan jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Cukurlah kumis dan panjangkan jenggot, selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim)

• Mencukur jenggot termasuk tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir, sebagaimana hadits di atas.

• Mencukur jenggot termasuk mengubah ciptaan ALLAH, dan ini merupakan ketaatan kepada setan yang telah berkata, “Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan ALLAH), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS. An-Nisa: 119)

• Mencukur jenggot termasuk tasyabuh dengan wanita, dan ini merupakan perbuatan terlaknat. Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari)

3. Mencukur Bulu Kemaluan, Mencabut bulu Ketiak, Memotong Kuku, dan Mencukur Kumis.
Mencukur bulu kemaluan hukumnya sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Yang dimaksud dengan bulu kemaluan adalah bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan laki-laki dan perempuan. Sebagian ulama ada yang memasukkan ke dalamnya bulu yang tumbuh di sekitar dubur. Yang paling utama dikerik (dicukur dengan pisau cukur/silet), tetapi boleh juga di pangkas dengan gunting, dicabut, atau pakai obat perontok. Karena tujuannya adalah membersihkan tempat tersebut.

Mencabut bulu ketiak hukumnya juga sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Yang paling utama adalah dicabut, tapi boleh juga dikerik atau pakai obat perontok bagi yang tidak kuat menahan rasa sakit. Yang paling utama dimulai dari ketiak kanan.

Memotong kuku juga sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Menurut ulama yang paling utama kuku tangan di dahulukan dari kuku kaki. Dimulai dari jari telunjuk tangan kanan, jari tengah, jari manis, jari kelingking, kemudian ibu jari. lalu tangan kiri dari kelingking sampai ibu jari. Kemudian ke jari kaki, dimulai dari jari kelingking kanan dan berakhir dijari kelingking kaki kiri.

Mencukur kumis hukumnya sunnah bagi laki-laki. Ulama berbeda pendapat tentang afdhaliyyah (keutamaan)-nya, apakah dirapikan pakai gunting atau dikerik? Imam Nawawi berkata, “Yang paling utama dipotong kumis yang menutupi bibir dan tidak dikerik dari pangkalnya.”

Sementara ulama lain berpendapat yang paling utama dikerik dari pangkalnya. Mencukur kumis sunnah diawali dari sebelah kanan. (Lihat Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi)

Tidak ada ketentuan khusus dalam empat hal ini, maka ketentuannya kembali kepada kebutuhan. Kapan saja bulu kemaluan, bulu ketiak, kumis, dan kuku dianggap panjang sehingga perlu dipotong atau dicabut. Adapun batas maksimalnya adalah 40 hari.

Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Kami diberi waktu dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, supaya kami tidak meninggalkan lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim)

---------------------------
Sumber: Mawaddah no. 1 Tahun ke-1 tahun 2007

SEPULUH HARI TERAKHIR

“Ketika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengencangkan sarung, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya.”(HR. Bukhari-Muslim)

Sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan puncak ibadah di bulan suci ini. Tetapi kebanyakan kaum muslimin, malahan ibadahnya makin kendur di akhir-akhir Ramadhan ini. Perhatian mereka lebih terfokus kepada persiapan menjelang lebaran. Kaum ibu sibuk di dapur, memasak makanan lebaran, kaum bapak sibuk mencari duit untuk persiapan lebaran. Demikian pula para muda-mudi, mereka sibuk mengisi waktu dengan berbelanja di pasar.

Pasar dijejali banyak orang!! Masjid justru makin sepi bahkan nyaris kosong!! Sungguh berbeda dengan keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam dan para sahabatnya. Bila telah tiba sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengencangkan sarung, menghidupkan malam dengan ibadah dan membangunkan keluarganya untuk shalat. Demikian juga para sahabat, karena mereka menyadari banyaknya keutamaan ibadah sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Saat ini, telah dekat sepuluh hari terakhir Ramadhan, di dalamnya banyak sekali pahala, keutamaan dan keistimewaan. Diantara keistimewaan sepuluh hari terakhir adalah adanya Malam Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan, seperti yang dijelaskan ALLAH dalam firman-NYA, “Tahukah kamu apakah lailatul qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 2-3)

Dalam menghadapi sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam telah memberikan contoh bagaimana memanfaatkan kesempatan emas tersebut. Seperti riwayat hadits dari ‘A’isyah, “Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wassallammengisi dua puluh hari bulan Ramadhan dengan mengerjakan shalat dan juga menyempatkan untuk tidur. Namun, ketika tiba sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Beliau shallallahu 'alaihi wassallam bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarung.” (HR. Ahmad)

Nabishallallahu 'alaihi wassallam dalam menghadapi sepuluh hari terakhir Ramadhan, melakukan ibadah lebih bersungguh-sungguh jauh melebihi kesungguhan Beliau shallallahu 'alaihi wassallam beribadah pada hari dan bulan selain sepuluh hari terakhir Ramadhan. Kesungguhan Beliau shallallahu 'alaihi wassallam meliputi segala bentuk ibadah, baik berupa shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir sedekah dan sebagainya.

Sebab, Nabi shallallahu 'alaihi wassallam ketika itu mengencangkan sarung, yang berarti meninggalkan istri-istri beliau untuk mengisi waktu sepenuhnya dengan ibadah.

Di samping itu, Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menghidupkan seluruh waktu malamnya untuk mengerjakan shalat malam, membaca Al-Qur’an dan berdzikir dengan lidah maupun hati dan anggota badan.Itu semua dilakukan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wassallam untuk mendapatkan kemuliaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama malam Lailatul Qadr.

Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam
Ibadah-ibadah yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam untuk mengisi sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah sebagai berikut:

A. Menghidupkan malam:
Ini mengandung kemungkinan bahwa Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menghidupkan seluruh malamnya, dan kemungkinan pula Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menghidupkan sebagian besar daripadanya. Dalam Shahih Muslim dari Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata: “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat malam hingga pagi.”

Diriwayatkan dalam hadits marfu' dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali: “Barangsiapa mendapati Ramadhan dalam keadaan sehat dan sebagai orang muslim, lalu puasa pada siang harinya dan melakukan shalat pada sebagian malamnya, juga menundukkan pandangannya, menjaga kemaluan, lisan dan tangannya, serta menjaga shalatnya secara berjamaah dan bersegera berangkat untuk shalat Jum'at; sungguh ia telah puasa sebulan (penuh), menerima pahala yang sempurna, mendapatkan Lailatul Qadar serta beruntung dengan hadiah dari Tuhan Yang Mahasuci dan Maha tinggi.” (HR. Ibnu Abid-Dunya)

At-Thabarani meriwayatkan dari Ali: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membangunkan keluarganya pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan, dan setiap anak kecil maupun orang tua yang mampu melakukan shalat.”

Dan dalam hadits shahih diriwayatkan: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengetuk (pintu) Fathimah dan Ali pada suatu malam seraya berkata: “Tidakkah kalian bangun lalu mendirikan shalat?" (HR. Bukhari-Muslim)

Dan diriwayatkan adanya targhib (dorongan) agar salah seorang suami-isteri membangunkan yang lain untuk melakukan shalat, serta memercikkan air di wajahnya bila tidak bangun). (HR. Abu Daud)

B. Mengakhirkan berbuka hingga waktu sahur.
Diriwayatkan dari Aisyah dan Anas, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam pada malam-malam sepuluh (akhir bulan Ramadhan) menjadikan makan malam (berbuka)nya pada waktu sahur. Dalam hadits marfu' dari Abu Sa'id, ia berkata: “Janganlah kalian menyambung (puasa). Jika salah seorang dari kamu ingin menyambung (puasanya) maka hendaknya ia menyambung hingga waktu sahur (saja).” Mereka bertanya: "Sesungguhnya engkau menyambungnya wahai Rasulullah? "Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menjawab: "Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya pada malam hari ada yang memberiku makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)

C. Mandi antara Maghrib dan Isya'.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam jika bulan Ramadhan (seperti biasa) tidur dan bangun. Dan manakala memasuki sepuluh hari terakhir beliau mengencangkan kainnya dan menjauhkan diri dari (menggauli) isteri-isterinya, serta mandi antara Maghrib dan Isya.”

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, mereka menyukai mandi pada setiap malam dari malam-malam sepuluh hari terakhir. Di antara mereka ada yang mandi dan menggunakan wewangian pada malam-malam yang paling diharapkan turun Lailatul Qadar.

Karena itu, dianjurkan pada malam-malam yang diharapkan di dalamnya turun Lailatul Qadar untuk membersihkan diri, menggunakan wewangian dan berhias dengan mandi (sebelumnya), dan berpakaian bagus, seperti dianjurkannya hal tersebut pada waktu shalat Jum'at dan hari-hari raya.
Dan tidaklah sempurna berhias secara lahir tanpa dibarengi dengan berhias secara batin. Yakni dengan kembali (kepada ALLAH), taubat dan mensucikan diri dari dosa-dosa. Sungguh, berhias secara lahir sama sekali tidak berguna, jika ternyata batinnya rusak.

ALLAH tidak melihat kepada rupa dan tubuhmu, tetapi DIA melihat kepada hati dan amalmu. Karena itu, barangsiapa menghadap kepada ALLAH, hendaknya ia berhias secara lahiriah dengan pakaian, sedang batinnya dengan taqwa. ALLAH Ta'ala berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya KAMI telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A'raaf: 26).

D. I'tikaf.
Dalam Shahihain disebutkan, dari Aisyah: “Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga Allah mewafatkan beliau.”

Nabi shallallahu 'alaihi wassallam melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir yang di dalamnya dicari Lailatul Qadar untuk menghentikan berbagai kesibukannya, mengosongkan pikirannya dan untuk mengasingkan diri demi bermunajat kepada TUHAN-nya, berdzikir dan berdo'a kepada-NYA.
Adapun makna dan hakikat i'tikaf adalah: Memutuskan hubungan dengan segenap makhluk untuk menyambung penghambaan kepada AL-KHALIQ. Mengasingkan diri yang disyari'atkan kepada umat ini yaitu dengan i'tikaf di dalam masjid-masjid, khususnya pada bulan Ramadhan, dan lebih khusus lagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagaimana yang telah dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wassallam. Orang yang beri'tikaf telah mengikat dirinya untuk taat kepada ALLAH, berdzikir dan berdo'a kepada-NYA, serta memutuskan dirinya dari segala hal yang menyibukkan diri dari pada-NYA. Ia beri'tikaf dengan hatinya kepada TUHAN-nya, dan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada-NYA. Ia tidak memiliki keinginan lain kecuali ALLAH dan ridha-NYa. Semoga ALLAH memberikan taufik dan inayah-NYA kepada kita. (Lihat kitab Larhaa'iful Ma'aarif, oleh Ibnu Rajab, him. 196-203)

Rapat & Luruskan Barisan

“Luruskanlah shaf-shafmu, sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menyempurnakan shalat”(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)


Sering kita kita lihat dan alami, di saat shalat berjama’ah, shaf (barisan) jama’ah shalat tidak rapat, sangat renggang sekali. Hal ini disebabkan oleh karena ketidaktahuan atas sunnah di dalam shalat berjama’ah dan juga kebanyakan jama’ah menggunakan sajadah yang sangat lebar dan kebanyakan jamaah shalat berdiri sesuai dengan lebar sajadah mereka masing-masing sehingga merenggangkan jarak di antara mereka. Padahal ukuran lebar sajadah itu tidak sesuai dengan sunnah yang dianjurkan dalam shalat berjama’ah, yaitu shaf yang rapat dan lurus.

Imam berkewajiban untuk menghimbau jama’ah untuk merapatkan, meluruskan shaf shalat dan tidak memulai sebelum para jama’ah sudah siap, shaf lurus dan rapat. Karena shaf yang tidak rapat dan lurus akan mengakibatkan perpecahan, perselisihan, permusuhan dan kedengkian di antara hati kaum muslim. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wassallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam meluruskan bahu-bahu kami ketika shalat, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda: ‘Luruskanlah shafmu jangan berantakan, karena jika kalian tidak kompak dalam barisan, niscaya hati kalian akan saling berselisih, kemudian hendaklah di antara kalian mengiringiku (dalam barisan shaf) orang yang bijaksana dan cerdas, kemudian barulah yang setelahnya dan begitu seterusnya.” Ibnu Mas’ud berkata, “Saat ini kamu dalam perselisihan.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, An-Nasa’i)

Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam meluruskan shaf-shaf kami seolah-olah sedang meluruskan anak panah, sehingga Beliau melihat saya di tengah-tengah. Kemudian pada suatu hari Beliau keluar (untuk mendirikan shalat berjama’ah), ketika hampir takbiratul ihram, Beliau melihat seorang Badui dadanya keluar dari shaf, dengan tegas Beliau bersabda, “Hai Hamba ALLAH! Luruskan shaf kalian atau ALLAH akan memperselisihkan di antara kalian.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud serta yang lainnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Hendaklah kamu meluruskan shaf kamu atau ALLAH akan memperselisihkan hati-hatimu.”

Menurut Imam Nawawi, Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam, “Hendaklah kamu meluruskan shafmu atau ALLAH akan memperselisihkan di antara wajah-wajahmu”, menurut riwayat lain: ALLAH mengganti muka-mukamu dan menukarnya dengan rupa yang lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “ALAH  menjadikan rupa (wajah orang yang tidak meluruskan shafnya) seperti keledai.” Ada yang berpendapat bahwa yang diubah adalah sifat-sifatnya, dan hanya ALLAH yang lebih mengetahui maksudnya. Artinya, tumbuh permusuhan dan kedengkian serta dendam yang berada di hati, sebagaimana perkataan berubahnya wajah si fulan terhadap saya maknanya, ia memperlihatkan kebencian kepada saya dan hatinya telah berubah. Karena shaf yang berantakan dalam shalat menunjukkan perbedaan dalam kenyataan, perbedaan yang tampak dalam barisan menunjukkan perbedaan yang terjadi dalam hati sesama muslim.

Imam Hafizh berpendapat, “Atas dasar ini, meluruskan shaf wajib hukumnya, dan tidak mengindahkannya (menyepelekannya) menjadi haram.”

Nabi shallallahu 'alaihi wassallam telah menjelaskan bahwa tidak lurusnya shaf menunjukkan tidak sempurnanya shalat, dari Anas in Malik menjelaskan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shafmu, sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menyempurnakan shalat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)

Dalam hadits lain diriwayatkan, ‘Luruskan shaf - shafmu sesungguhnya shaf-shaf bagian dari shalat.” ((HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam memberitahukan bahwa setan-setan membuat kerusakan di antara orang-orang shalat yang renggang shafnya. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Berdirilah secara bershaf, luruskanlah pundak-pundakmu, peliharalah dari kerusakan jangan beri lowong bagi setan, siapa yang menghubungkan shaf (merapatkannya) niscaya ALLAH yang menghubungkannya, dan barangsiapa memutuskan shaf (merenggangkannya) maka ALLAH memutuskannya.”

Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Perbaikilah shaf-shafmu, dekatlah dalam bershaf, luruskan dengan bahumu, demi ALLAH yang jiwaku di tangan-NYA, sesungguhnya aku melihat setan masuk di antara shaf yang renggang seperti seekor anak kambing hitam yang kecil dan tanpa telinga.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam dengan mukanya menoleh kepada manusia, lalu bersabda, “Berdirilah bershaf-shaf niscaya ALLAH mengokohkan barisan-barisanmu (persatuan di kalangan umat Islam), atau jika tidak maka ALLAH akan menjadikan hati-hatimu saling berselisih.” Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam melanjutkan sabdanya. Aku melihat seorang lelaki di antara kami menempelkan bahunya ke bahu temannya dan mata kakinya ke mata kaki temannya. (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Daruquthni)

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh AL-Bukhari diriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Salah seorang dari kami menempelkannya bahunya ke bahu temannya serta kakinya ke kaki temannya.” (HR. Bukhari)

Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Berdasarkan hadits Nu’man di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dari mata kaki dalam ayat wudhu adalah tulang yang menonjol di kedua samping kaki, dan adanya di pergelangan atau sambungan antara kaki dengan telapak kaki. Bagian kaki ini yang mungkin dapat disentuhkan dengan kaki orang yang ada di sampingnya, berbeda dengan pendapat Ka’ab yang mengatakan ia adalah bagian kaki yang ada paling bawah.” (Lihat Fathul Bari)

Wahai saudaraku, engkau telah mengetahui bahwa meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat sangat penting, maka waspadalah kamu jangan sampai menyepelekan dan tidak mengindahkannya.
Jika seseorang di sebelahmu yang ingin mengajakmu meluruskan barisan maka sambut ajakannya dan berlaku lembutlah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Luruskanlah barisan shaf-shaf kalian dan ratakan bahumu dan berlaku lemah lembutah di antara sesamamu.”

Sumber: 44 Kesalahan Orang Shalat, Al-Bayumi