Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Merupakan hal yang masyhur di kalangan kaum muslimin bahwasanya hadits dha’if (lemah) boleh dipakai dalam masalah Fadha’il A’mal (keutamaan-keutamaan amalan). Mereka menganggap ini adalah kaidah ilmiah yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Benarkah demikian?
Yang benar dalam masalah ini, maksud sebagian ulama membolehkan hadits dha’if adalah dalam keutamaan amalan-amalan yang telah disyariatkan dengan dalil yang shahih, seperti dzikir, shalat, puasa dengan maksud agar jiwa manusia mengharap pahala yang didapatkan dari ibadah-ibadah tersebut. Dan tidak dikehendaki dalam masalah ini menetapkan hukum syariat dengan hadits-hadits dha’if, karena syariat tidaklah ditegakkan kecuali dengan dalil yang shahih. Sedangkan hadits dha’if bukanlah hadits yang syar’i.
Larangan Berdusta Atas Nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam
Berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam adalah dosa besar, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengancam pelakunya dengan neraka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda: ”Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Al-Imam Ibnu Hibban berkata: ”Pasal mengenai wajibnya seorang masuk neraka atas siapa saja yang menisbatkan sesuatu kepada kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam dalam keadaan tidak tahu tentang keshahihannya.” kemudian beliau menyampaikan hadits berikut: ”Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia mengkhabarkan setiap yang ia dengar.” (HR. Muslim) Maka, orang yang sengaja menyampaikan hadits yang telah diketahui kedha’ifannya, maka sungguh ia termasuk ke dalam berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam.
Syarat Mengamalkan Hadits Dha’if
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan bahwa para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dha’if dalam fadha’il a’mal memberikan persyaratan-persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan tersebut.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Syarat Pertama yang merupakan kesepakatan, yaitu hadits dha’if tersebut lemahnya tidak sangat, sehingga dengan adanya syarat ini tersisihkan riwayat hadits para pendusta, tertuduh berdusta, dan yang parah kesalahannya.
2. Syarat kedua: hendaknya hadits tersebut masuk di bawah pokok yang umum, sehingga dengan adanya syarat ini tersisihlah hadits yang diada-adakn yang tidak memiliki pokok landasan sama sekali.
3. Syarat ketiga: di dalam mengamalkan hadits tersebut tidak meyakini keshahihannya, sehingga tidak menisbahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wassallam hal-hal yang tidak pernah diucapkannya.
Dua syarat terakhir berasal dari Izzudin bin Abdussalam dan Ibnu Daqiq.
Agar terpenuhinya syarat pertama dibutuhkan dua hal, yaitu:
1. Pemilahan antara hadits yang dha’if dan hadits yang shahih.
2. Pemilahan antara yang ringan kelemahannya dan yang sangat kelemahannya.
Syaikh Al-Albani berkata: ”Sesungguhnya sedikit sekali dari para ulama hadits-apalagi yang selain mereka-yang memiliki keahlian sempurna dalam pemilhan antara hadits lemah dan hadits shahih...., dan lebih sedikit lagi yang memiliki keahlian sempurna di dalam memilahkan antara hadits-hadits yang sangat kelemahannya dari yang ringan kelemahannya...”
Selanjutnya Syaikh Al-Albani mengomentari syarat yang kedua: ”Pembatasan ini sebenarnya belum cukup, karena kebanyakan kebid’ahan berada di bawah pokok-pokok yang umum...., hendaknya amalan yang terkandung di dalam hadits dha’if tersebut telah ditetapkan pensyariatannya dengan hadits lain yang layak dijadikan dalil syar’i...”
Syarat-syarat di atas adalah teoritis, sulit sekali dipraktekkan dalam prakteknya. Syakh Al-Albani berkata, ”Bukanlah hal yang tersembunyi bahwasanya tidaklah termasuk perkara yang mudah pemilahan antara hadits dha’if yang diamalkan dalam fadha’il a’mal, dengan hadits yang tidak boleh diamalkan, kecuali bagi ahli hadits yang faqih terhadab Kitab dan Sunnah yang shahihah, alangkah sedikitnya mereka ini! Karena inilah, aku memandang bahwasanya pendapat yang membolehkan beramal dengan hadits dha’if di dalam fadha’il a’mal dengan syarat-syarat di atas adalah hal yang teoritis, bukanlah hal yang bisa dipraktekkan bagi kebanyakan kaum muslimin, karena bagaimana mereka bisa memilahkan antara hadits dha’if dengan hadits dha’if jiddan (lemah sekali)? Dan bagaimana mereka bisa memilahkan antara hadits yang amalan di dalamnya memiliki landasan syar’i dan yang tidak? Maka secara praktek, pendapat ini kembali kepada perkataan ibnul ’Arabi yang terdahulu: ’Hadits dhai’if tidak boleh diamalkan secara mutlak.”
Pendapat Yang Rajih
Pendapat yang rajih (kuat) di antara ulama yang membolehkan pengamalan hadits yang dha’if dalam fadha’il a’mal dengan yang melarang pengamalannya adalah pendapat yang melarang pengamalannya secara mutlak.
Al-Imam Asy-Syaukani berkata, ”Sesungguhnya hukum-hukum syar’i sama kedudukannya, tidak ada perbedaan di antara hukum-hukum tersebut. Maka tidak dihalalkan menyebarluaskan sesuatu dari hukum-hukum tersebut kecuali dengan dalil yang bisa dijadikan hujjah. Kalau tidak, maka tergolong mengatakan sesuatu atas nama ALLAH tentang yang tidak difirmankan-NYA. Perbuatan ini mendapatkan hukuman yang telah dikenal.”
Syaikh Al-Allamah Ahmad Asy-Syakir berkata, ”Tidak ada perbedaan antara masalah hukum dan masalah fadha’il a’mal dan semisalnya dalam hal ketidak bolehan mengambil riwayat-riwayat yang lemah. Bahkan tidak boleh seorang pun berhujjah kecuali dengan shahih dari Rasulullah berupa hadits yang shahih atau hasan.
Mencukupkan Dengan Hadits Shahih
Mengapa kita lebih memilih hadits yang dha’if? apakah tidak ada hadits yang shahih?
Sesungguhnya mengambil hadits-hadits shahih untuk diamalkan jauh lebih baik dibandingkan dengan mengamalkan hadits dha’if. Hadits shahih itu lebih terjamin kebenarannya, dan tidak menimbulkan syak (keraguan) sebagai khabar yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam. Sehingga memang lebih layak untuk dijadikan hujjah dalam beribadah kepada ALLAH dan lebih layak kita berharap pahala dan kebaikan dalam mengamalkannya.
Karenanya, kami mengajak untuk mencukupkan untuk mengambil hadist-hadits shahih saja. Dan jika sangat terpaksa menyampaikan hadits dha’if, maka harus diterangkan pula mengenai kedha’ifannya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kebingungan dalam tubuh umat Islam.
Merupakan hal yang masyhur di kalangan kaum muslimin bahwasanya hadits dha’if (lemah) boleh dipakai dalam masalah Fadha’il A’mal (keutamaan-keutamaan amalan). Mereka menganggap ini adalah kaidah ilmiah yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Benarkah demikian?
Yang benar dalam masalah ini, maksud sebagian ulama membolehkan hadits dha’if adalah dalam keutamaan amalan-amalan yang telah disyariatkan dengan dalil yang shahih, seperti dzikir, shalat, puasa dengan maksud agar jiwa manusia mengharap pahala yang didapatkan dari ibadah-ibadah tersebut. Dan tidak dikehendaki dalam masalah ini menetapkan hukum syariat dengan hadits-hadits dha’if, karena syariat tidaklah ditegakkan kecuali dengan dalil yang shahih. Sedangkan hadits dha’if bukanlah hadits yang syar’i.
Larangan Berdusta Atas Nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam
Berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam adalah dosa besar, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengancam pelakunya dengan neraka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda: ”Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Al-Imam Ibnu Hibban berkata: ”Pasal mengenai wajibnya seorang masuk neraka atas siapa saja yang menisbatkan sesuatu kepada kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam dalam keadaan tidak tahu tentang keshahihannya.” kemudian beliau menyampaikan hadits berikut: ”Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia mengkhabarkan setiap yang ia dengar.” (HR. Muslim) Maka, orang yang sengaja menyampaikan hadits yang telah diketahui kedha’ifannya, maka sungguh ia termasuk ke dalam berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam.
Syarat Mengamalkan Hadits Dha’if
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan bahwa para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dha’if dalam fadha’il a’mal memberikan persyaratan-persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan tersebut.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Syarat Pertama yang merupakan kesepakatan, yaitu hadits dha’if tersebut lemahnya tidak sangat, sehingga dengan adanya syarat ini tersisihkan riwayat hadits para pendusta, tertuduh berdusta, dan yang parah kesalahannya.
2. Syarat kedua: hendaknya hadits tersebut masuk di bawah pokok yang umum, sehingga dengan adanya syarat ini tersisihlah hadits yang diada-adakn yang tidak memiliki pokok landasan sama sekali.
3. Syarat ketiga: di dalam mengamalkan hadits tersebut tidak meyakini keshahihannya, sehingga tidak menisbahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wassallam hal-hal yang tidak pernah diucapkannya.
Dua syarat terakhir berasal dari Izzudin bin Abdussalam dan Ibnu Daqiq.
Agar terpenuhinya syarat pertama dibutuhkan dua hal, yaitu:
1. Pemilahan antara hadits yang dha’if dan hadits yang shahih.
2. Pemilahan antara yang ringan kelemahannya dan yang sangat kelemahannya.
Syaikh Al-Albani berkata: ”Sesungguhnya sedikit sekali dari para ulama hadits-apalagi yang selain mereka-yang memiliki keahlian sempurna dalam pemilhan antara hadits lemah dan hadits shahih...., dan lebih sedikit lagi yang memiliki keahlian sempurna di dalam memilahkan antara hadits-hadits yang sangat kelemahannya dari yang ringan kelemahannya...”
Selanjutnya Syaikh Al-Albani mengomentari syarat yang kedua: ”Pembatasan ini sebenarnya belum cukup, karena kebanyakan kebid’ahan berada di bawah pokok-pokok yang umum...., hendaknya amalan yang terkandung di dalam hadits dha’if tersebut telah ditetapkan pensyariatannya dengan hadits lain yang layak dijadikan dalil syar’i...”
Syarat-syarat di atas adalah teoritis, sulit sekali dipraktekkan dalam prakteknya. Syakh Al-Albani berkata, ”Bukanlah hal yang tersembunyi bahwasanya tidaklah termasuk perkara yang mudah pemilahan antara hadits dha’if yang diamalkan dalam fadha’il a’mal, dengan hadits yang tidak boleh diamalkan, kecuali bagi ahli hadits yang faqih terhadab Kitab dan Sunnah yang shahihah, alangkah sedikitnya mereka ini! Karena inilah, aku memandang bahwasanya pendapat yang membolehkan beramal dengan hadits dha’if di dalam fadha’il a’mal dengan syarat-syarat di atas adalah hal yang teoritis, bukanlah hal yang bisa dipraktekkan bagi kebanyakan kaum muslimin, karena bagaimana mereka bisa memilahkan antara hadits dha’if dengan hadits dha’if jiddan (lemah sekali)? Dan bagaimana mereka bisa memilahkan antara hadits yang amalan di dalamnya memiliki landasan syar’i dan yang tidak? Maka secara praktek, pendapat ini kembali kepada perkataan ibnul ’Arabi yang terdahulu: ’Hadits dhai’if tidak boleh diamalkan secara mutlak.”
Pendapat Yang Rajih
Pendapat yang rajih (kuat) di antara ulama yang membolehkan pengamalan hadits yang dha’if dalam fadha’il a’mal dengan yang melarang pengamalannya adalah pendapat yang melarang pengamalannya secara mutlak.
Al-Imam Asy-Syaukani berkata, ”Sesungguhnya hukum-hukum syar’i sama kedudukannya, tidak ada perbedaan di antara hukum-hukum tersebut. Maka tidak dihalalkan menyebarluaskan sesuatu dari hukum-hukum tersebut kecuali dengan dalil yang bisa dijadikan hujjah. Kalau tidak, maka tergolong mengatakan sesuatu atas nama ALLAH tentang yang tidak difirmankan-NYA. Perbuatan ini mendapatkan hukuman yang telah dikenal.”
Syaikh Al-Allamah Ahmad Asy-Syakir berkata, ”Tidak ada perbedaan antara masalah hukum dan masalah fadha’il a’mal dan semisalnya dalam hal ketidak bolehan mengambil riwayat-riwayat yang lemah. Bahkan tidak boleh seorang pun berhujjah kecuali dengan shahih dari Rasulullah berupa hadits yang shahih atau hasan.
Mencukupkan Dengan Hadits Shahih
Mengapa kita lebih memilih hadits yang dha’if? apakah tidak ada hadits yang shahih?
Sesungguhnya mengambil hadits-hadits shahih untuk diamalkan jauh lebih baik dibandingkan dengan mengamalkan hadits dha’if. Hadits shahih itu lebih terjamin kebenarannya, dan tidak menimbulkan syak (keraguan) sebagai khabar yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam. Sehingga memang lebih layak untuk dijadikan hujjah dalam beribadah kepada ALLAH dan lebih layak kita berharap pahala dan kebaikan dalam mengamalkannya.
Karenanya, kami mengajak untuk mencukupkan untuk mengambil hadist-hadits shahih saja. Dan jika sangat terpaksa menyampaikan hadits dha’if, maka harus diterangkan pula mengenai kedha’ifannya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kebingungan dalam tubuh umat Islam.