Kamis, 26 Juni 2008

SEPULUH HARI TERAKHIR

“Ketika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengencangkan sarung, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya.”(HR. Bukhari-Muslim)

Sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan puncak ibadah di bulan suci ini. Tetapi kebanyakan kaum muslimin, malahan ibadahnya makin kendur di akhir-akhir Ramadhan ini. Perhatian mereka lebih terfokus kepada persiapan menjelang lebaran. Kaum ibu sibuk di dapur, memasak makanan lebaran, kaum bapak sibuk mencari duit untuk persiapan lebaran. Demikian pula para muda-mudi, mereka sibuk mengisi waktu dengan berbelanja di pasar.

Pasar dijejali banyak orang!! Masjid justru makin sepi bahkan nyaris kosong!! Sungguh berbeda dengan keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam dan para sahabatnya. Bila telah tiba sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam mengencangkan sarung, menghidupkan malam dengan ibadah dan membangunkan keluarganya untuk shalat. Demikian juga para sahabat, karena mereka menyadari banyaknya keutamaan ibadah sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Saat ini, telah dekat sepuluh hari terakhir Ramadhan, di dalamnya banyak sekali pahala, keutamaan dan keistimewaan. Diantara keistimewaan sepuluh hari terakhir adalah adanya Malam Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan, seperti yang dijelaskan ALLAH dalam firman-NYA, “Tahukah kamu apakah lailatul qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 2-3)

Dalam menghadapi sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam telah memberikan contoh bagaimana memanfaatkan kesempatan emas tersebut. Seperti riwayat hadits dari ‘A’isyah, “Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wassallammengisi dua puluh hari bulan Ramadhan dengan mengerjakan shalat dan juga menyempatkan untuk tidur. Namun, ketika tiba sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Beliau shallallahu 'alaihi wassallam bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarung.” (HR. Ahmad)

Nabishallallahu 'alaihi wassallam dalam menghadapi sepuluh hari terakhir Ramadhan, melakukan ibadah lebih bersungguh-sungguh jauh melebihi kesungguhan Beliau shallallahu 'alaihi wassallam beribadah pada hari dan bulan selain sepuluh hari terakhir Ramadhan. Kesungguhan Beliau shallallahu 'alaihi wassallam meliputi segala bentuk ibadah, baik berupa shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir sedekah dan sebagainya.

Sebab, Nabi shallallahu 'alaihi wassallam ketika itu mengencangkan sarung, yang berarti meninggalkan istri-istri beliau untuk mengisi waktu sepenuhnya dengan ibadah.

Di samping itu, Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menghidupkan seluruh waktu malamnya untuk mengerjakan shalat malam, membaca Al-Qur’an dan berdzikir dengan lidah maupun hati dan anggota badan.Itu semua dilakukan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wassallam untuk mendapatkan kemuliaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama malam Lailatul Qadr.

Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam
Ibadah-ibadah yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam untuk mengisi sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah sebagai berikut:

A. Menghidupkan malam:
Ini mengandung kemungkinan bahwa Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menghidupkan seluruh malamnya, dan kemungkinan pula Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menghidupkan sebagian besar daripadanya. Dalam Shahih Muslim dari Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata: “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat malam hingga pagi.”

Diriwayatkan dalam hadits marfu' dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali: “Barangsiapa mendapati Ramadhan dalam keadaan sehat dan sebagai orang muslim, lalu puasa pada siang harinya dan melakukan shalat pada sebagian malamnya, juga menundukkan pandangannya, menjaga kemaluan, lisan dan tangannya, serta menjaga shalatnya secara berjamaah dan bersegera berangkat untuk shalat Jum'at; sungguh ia telah puasa sebulan (penuh), menerima pahala yang sempurna, mendapatkan Lailatul Qadar serta beruntung dengan hadiah dari Tuhan Yang Mahasuci dan Maha tinggi.” (HR. Ibnu Abid-Dunya)

At-Thabarani meriwayatkan dari Ali: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membangunkan keluarganya pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan, dan setiap anak kecil maupun orang tua yang mampu melakukan shalat.”

Dan dalam hadits shahih diriwayatkan: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengetuk (pintu) Fathimah dan Ali pada suatu malam seraya berkata: “Tidakkah kalian bangun lalu mendirikan shalat?" (HR. Bukhari-Muslim)

Dan diriwayatkan adanya targhib (dorongan) agar salah seorang suami-isteri membangunkan yang lain untuk melakukan shalat, serta memercikkan air di wajahnya bila tidak bangun). (HR. Abu Daud)

B. Mengakhirkan berbuka hingga waktu sahur.
Diriwayatkan dari Aisyah dan Anas, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam pada malam-malam sepuluh (akhir bulan Ramadhan) menjadikan makan malam (berbuka)nya pada waktu sahur. Dalam hadits marfu' dari Abu Sa'id, ia berkata: “Janganlah kalian menyambung (puasa). Jika salah seorang dari kamu ingin menyambung (puasanya) maka hendaknya ia menyambung hingga waktu sahur (saja).” Mereka bertanya: "Sesungguhnya engkau menyambungnya wahai Rasulullah? "Beliau shallallahu 'alaihi wassallam menjawab: "Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya pada malam hari ada yang memberiku makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)

C. Mandi antara Maghrib dan Isya'.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam jika bulan Ramadhan (seperti biasa) tidur dan bangun. Dan manakala memasuki sepuluh hari terakhir beliau mengencangkan kainnya dan menjauhkan diri dari (menggauli) isteri-isterinya, serta mandi antara Maghrib dan Isya.”

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, mereka menyukai mandi pada setiap malam dari malam-malam sepuluh hari terakhir. Di antara mereka ada yang mandi dan menggunakan wewangian pada malam-malam yang paling diharapkan turun Lailatul Qadar.

Karena itu, dianjurkan pada malam-malam yang diharapkan di dalamnya turun Lailatul Qadar untuk membersihkan diri, menggunakan wewangian dan berhias dengan mandi (sebelumnya), dan berpakaian bagus, seperti dianjurkannya hal tersebut pada waktu shalat Jum'at dan hari-hari raya.
Dan tidaklah sempurna berhias secara lahir tanpa dibarengi dengan berhias secara batin. Yakni dengan kembali (kepada ALLAH), taubat dan mensucikan diri dari dosa-dosa. Sungguh, berhias secara lahir sama sekali tidak berguna, jika ternyata batinnya rusak.

ALLAH tidak melihat kepada rupa dan tubuhmu, tetapi DIA melihat kepada hati dan amalmu. Karena itu, barangsiapa menghadap kepada ALLAH, hendaknya ia berhias secara lahiriah dengan pakaian, sedang batinnya dengan taqwa. ALLAH Ta'ala berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya KAMI telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A'raaf: 26).

D. I'tikaf.
Dalam Shahihain disebutkan, dari Aisyah: “Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga Allah mewafatkan beliau.”

Nabi shallallahu 'alaihi wassallam melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir yang di dalamnya dicari Lailatul Qadar untuk menghentikan berbagai kesibukannya, mengosongkan pikirannya dan untuk mengasingkan diri demi bermunajat kepada TUHAN-nya, berdzikir dan berdo'a kepada-NYA.
Adapun makna dan hakikat i'tikaf adalah: Memutuskan hubungan dengan segenap makhluk untuk menyambung penghambaan kepada AL-KHALIQ. Mengasingkan diri yang disyari'atkan kepada umat ini yaitu dengan i'tikaf di dalam masjid-masjid, khususnya pada bulan Ramadhan, dan lebih khusus lagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagaimana yang telah dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wassallam. Orang yang beri'tikaf telah mengikat dirinya untuk taat kepada ALLAH, berdzikir dan berdo'a kepada-NYA, serta memutuskan dirinya dari segala hal yang menyibukkan diri dari pada-NYA. Ia beri'tikaf dengan hatinya kepada TUHAN-nya, dan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada-NYA. Ia tidak memiliki keinginan lain kecuali ALLAH dan ridha-NYa. Semoga ALLAH memberikan taufik dan inayah-NYA kepada kita. (Lihat kitab Larhaa'iful Ma'aarif, oleh Ibnu Rajab, him. 196-203)