Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim)
Selama umat Islam di bawah kepemimpinan khulafa’ al arba’ah (4 khalifah pertama), hadits Nabi SAW senantiasa tetap bersih, tidak ternoda kedustaan. Akan tetapi kondisi tersebut berubah tatkala umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Setelah khalifah Ali wafat, kelompok Syi’ah menuntut hak mereka untuk menduduki kursi khalifah. Selanjutnya muncullah kelompok-kelompok lain berbasis agama. Setiap kelompok menopang argumentasinya dengan Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, sebagian dari mereka berupaya menakwilkan Al-Qur’an dan menafsirkan sebagian hadits dengan arti yang menyimpang.
Namun, usaha mereka ini tidak membuahkan hasil karena keberadaan jumlah penghafal Ql-Qur’an dan para ulama dari kalangan sahabat dan murid-muridnya masih sangat banyak. Oleh karena itu, mereka berupaya mengubah dan memasukkan tambahan ke dalam hadits dan melakukan pemalsuan atas nama Rasulullah SAW.
Hadits-hadits palsu munculnya bersamaan dengan munculnya berbagai kelompok itu. Para pemalsumembuat hadits untuk menyerang kelompok lainnya, dan sebaliknya kelompok tersebut juga membuat hadits palsu untuk membela diri. Demikian seterusnya, sehingga muncul sekumpulan hadits palsu.
Munculnya hadits palsu diperkirakan mulai tahun 41 H. Pada masa tabi’in (murid para sahabat) pemalsuan hadits lebih sedikit dibandingkan dengan pada masa tabiut tabi’in (murid tabi’in) karena masih banyak sahabat dan tabi’in yang mengamalkan sunnah. Mereka dapat membedakan mana hadits yang shahih dan mana yang palsu.
Banyak Muncul Di Irak
Hadits maudhu’ atau hadits palsu adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Di dalam ilmu hadits, bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits, dilihat dari dua hal, yaitu dari matan atau lafadz (isi) haditsnya dan sanad atau jalur orang yang meriwayatkannya. Hadits maudhu’ dikaegorikan hadits mardud (tertolak), karena hadits tersebut cacat dari segi jalur periwayatannya. Sebab salah seorang perawinya (periwayat) diketahui berdusta, ia mengklaim ucapan seseorang sebagai hadits lalu menyebar luaskannya.
Sebab Munculnya Hadits Maudhu’
Ada beberapa faktor yang mendorong pemalsuan hadits:
Pertama, Fanatisme golongan. Dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abi Hadid berkata, “Pertama kali kedustaan dalam hadits tentang keutamaan (fadhilah), dilakukan oleh Syi’ah. Sejak pertama, mereka memalsukan hadits yang berbeda mengenai Ali. Pemalsuan itu didorong rasa permusuhan terhadap lawan. Ketika Al-Bakriyah (pendukung Abu Bakar) melihat apa yang dilakukan Syi’ah, merekapun memalsukan hadits tentang Abu Bakar sebagai tandingan hadits yang dibuat oleh Syi’ah.
Kedua, Usaha untuk mendiskreditkan Islam. Setelah kehadiran Islam, kekuasaan Kisra dan Kaisar roboh. Namun mereka tidak mampu untuk membalas dendam dengan pedang karena kekuasaan Islam telah sedemikian kokoh. Maka mereka berusaha menjauhkan kaum muslimin dari aqidahnya dengan menciptakan kebathilan dan berdusta atas nama Rasulullah SAW. Hal itu mereka lakukan untuk menodai Islam. Sebagai contoh: diriwayatkan bahwa ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, terbuat dari apakah Tuhan kita? Rasulullah SAW menjawab, “Dari air yang berlalu (tidak diam), tidak dari bumi dan tidak pula dari langit. Dia menciptakan seekor kuda kemudian menjalankan kuda itu maka berkeringatlah kuda. Kemudian Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu.”
Ketiga, diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, negara dan imam. Pada masa pemerintahannya, dinasti Umayyah, secara khusus mengandalkan etnis Arab, sebagian mereka bersikap fanatis terhadap kebangsaan Arab dan bahasa Arab. Maka muncullah kelompok Mawalli (kaum muslimin non Arab), yang berupaya mewujudkan persamaan hak. Mereka memanfaatkan gerakan pemberontakan dengan cara bergabung ke dalamnya. Selain itu, mereka berupaya menandingi kebanggaan etnis Arab. Inilah yang mendorong mereka memalksukan hadits-hadits. Misalnya hadits, “Sesungguhnya pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar ‘Arsy adalah dengan bahasa Persia, dan jika ALLAH mewahyukan sesuatu yang menggembirakan, ALLAH mewahyukan dengan bahasa Persia, dan jika Dia mewahyukan ancaman maka dengan bahasa Arab.”
Selain hadits palsu yang berbicara tentang bahasa, etnis dan kabilah, hadits pasu juga dibuat tentang kelebihan negara atau imam tertentu.
Keempat, tendensi duniawi berupa popularitas dan usaha menjilat penguasa. Pada masa-masa akhir khulafaur rasyidin, muncul kelompok-kelompok pendongeng dan penasihat yang jumlahnya terus bertambah. Para pendongeng ini membuat membuat hadits palsu dengan tujuan untuk mendapatkan uang.
Ada pula yang menjilat para penguasa dengan membuat hadits yang dapat memuaskan mereka. Hal ini, benar-benar terjadi pada masa masa Abbasiyah. Contohnya adalah, Ghiyats bin Ibrahim berdusta untuk khalifah Al-Mahdi dalam hadits, “Tidak ada perlombaan kecuali untuk unta, panah, atau kuda.” Kemudian Ghiyats menambahkan, “atau sayap”, ketika ia melihat Al-Mahdi bermain-main dengan burung dara. Al-Mahdi kemudian menyuruh orang iuntuk menyembelih burung merpati tersebut dan memberikan kepada Ghiyats sebanyak uang 10.000 dirham.
Kelima, pemahaman yang keliru dari madzhab al-karramiyah. Madzhab sesat ini mengklaim bolehnya memalsukan hadits dalam rangka targhib wa tarhib (menganjurkan manusia berbuat baik dan menakut-nakuti manusia agar tidak bermaksiat). Mereka berdalil dengan hadits “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” Dengan ditambahi lafadz, “dengan sengaja untuk menyesatkan manusia.” Mereka beralasan, “Kami berdusta untuk kebaikan Beliau, bukan untuk menodai Beliau.”
Haram Meriwayatkannya
Hadits palsu adalah hadits yang sama sekali tidak bisa dijadikan dalil. Bahkan menurut kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram, jika tidak disertai keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Berdasarkan hadits, “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim)
Meski beberapa hadits sering kita dengar, kita harus memastikan terlebih dahulu keshahihannya sebelum menjadikannya dalil atau mengamalkannya.