Selasa, 24 Juni 2008

Mengapa Shalat Sulit Khusyu'?

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman , (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. (QS. AL-Mu’minuun: 1-2)


Tidak mudah membayangkan seperti apa nikmatnya shalat. Hanya mereka yang khusyu’ yang betul-betul mengenyam manisnya bermunajat kepada ALLAH. Pun hari ini jumlahnya semakin langka. Terbukti, atsar (pengaruh) shalat dalam kehidupan belum begitu tampak. Bukan karena ibadah shalat yang tidak relevan lagi untuk memproteksi segala keburukan, tapi lebih karena minimnya penghayatan dan kekhusyu’an tatkala shalat.
Nabi SAW jelas menjadi teladan utama dalam kekhusyu’an shalat. Beliau pula yang paling merasakan nikmatnya shalat. Sehingga, dua rakaat shalat fajar tak mau Beliau korbankan, meski ditukar dengan dunia seisinya. Beliau bersabda, “Dua rakaat shalat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)
Kisah lainnya, usia yang senja, tulang yang telah rapuh tidak menghilangkan gairah untuk berdiri lama ketika shalat. Saat usia telah senja, Abu Ishaq As-Suba’i berkata, “Kini aku telah tua dan lemah, tulangku menjadi rapuh, sehingga tak mampu lagi berdiri lama dalam shalat, hanya mampu membaca Al-Baqarah dan Ali- Imran saja ketika dalam shalat.”
Bahkan tatkala beliau telah benar-benar lemah, tak mampu lagi berdiri selain diberdirikan, setelah berdiri beliau mampu membaca ratusan ayat dalam satu rakaat dalam keadaan berdiri. Kenikmatan shalat menjadikan beliau kuat untuk berdiri lama, padahal dalam kondisi biasa, beliau tak mampu berdiri kecuali dengan dipapah.
Tatkala seseorang pernah mengenyam suatu kenikmatan, atau mereguk sebuah kelezatan, pasti ia merindukan hadirnya saat-saat yang sama. Begitupun orang yang telah menikmati indahnya shalat, selalu merindukan datangnya waktu shalat, agar ia bisa merasakan kelezatannya.
Seperti Adi bin Hatim ia berkata, “Tiada datang waktu shalat kecuali aku sudah sangat merindukannya. Tiada masuk waktu shalat kecuali aku sudah dalam keadaan bersiap untuk shalat.”
Apa yang anda rasakan ketika tiba-tiba anda tidak mendapatkan bagian yang semestinya anda dapatkan? Padahal anda benar-benar berambisi untuk mendapatkannya? Pasti penyesalan yang dalam.
Begitupun orang yang telah mereguk manisnya shalat khusyu’, jika suatu kali ia kehilangan, maka akan menyesal, kecewa dan merasa bersalah. Seperti Abu Thalhah, ketika menunaikan shalat sunnah di kebun. Tiba-tiba terlihat oleh beliau seekor belalang yang terbang di sekeliling pohon, mencari jalan keluar dari kebun. Abu Thalhah terkesima melihatnya hingga akhirnya lupa, berapa rakaat yang telah ia kerjakan. Maka beliau sampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW sembari berkata, “Wahai Rasulullah, kebunku saya sedekahkan, maka terserah anda mengelolanya.” Sungguh ia tak ingin kebun dan segala isinya tersebut membuatnya lalai dari nikmat shalat khusyu’.
Mengapa Sulit Khusyu’
Nabi SAW menyebut shalat sebagai rahah (hiburan). Karena di dalamnya ada kelezatan, hilangnya kepenatan dan kelelahan, hadirnya rasa lega dan sirnanya kegelisahan duniawi. Maka bukan hal yang aneh bila Beliau bersabda, “Berdirilah wahai Bilal, hiburlah kami dengan shalat.” (HR. Abu Dawud)
Meskipun faktanya ada yang merasa berat dan justru bertambah lelah ketika shalat. Itu bukan berarti Nabi SAW yang salah resep. Tapi lebih karena suasana hati dan bagaimana kondisi orang yang menjalankan shalat.
Jujur saja, berapa kali shalat yang kita lakukan secara konsen sejak takbir pertama hingga salam? Mungkin sangat jarang, atau bisa jadi belum pernah. Padahal, bagian shalat yang mendapatkan nilai hanyalah saat dimana seseorang menjalankannya dengan khusyu’.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya, seseorang yang menyelesaikan shalat, tidak tercatat (sebagai shalat) melainkan hanya sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya atau separuhnya.” (HR. Abu Dawud)
Lemahnya penjagaan dibarengi dengan bisikan setan khinzib yang intens mengingatkan urusan di luar shalat, menyebabkan shalat tidak berkualitas. Jasad sedang shalat, tapi pikran sedang padat dengan banyak permasalahan. Lisan membaca ayat dan doa, tapi sedang sibuk dengan urusan dunia. Kenikmatan yang kita rasakan nyaris tiada. Yang lebih dominan bahkan rasa penat dan keinginan untuk menyudahi shalat secara kilat.
Keterikatan kepada dunia yang terlalu kuat juga menjadi sebab cantolan kepada shalat yang merupakan urusan akhirat menjadi lemah. Sehingga tatkala seseorang telah memulai shalat secara ritual, hatinya masih sibuk dengan urusan dunia. Kelezatan shalat yang belum bisa dirasakan menjadikan shalat sebagai pengisi waktu, disisa-sisa waktu dan tenaga. Wajar jika shalat terasa berat untuk dikerjakan.
Shalat hanya dirasakan nikmat dan tidak berat oleh orang-orang yang khusyu’ dalam menjalankannya. ALLAH berfirman, “Dan mintalah pertolongan (kepada ALLAH) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 45)
Khusyu’ Jiwa dan Khusyu’ Raga
Para ulama menyatakan bahwa khusyu’ adalah khudurul qalbi yang artinya konsentrasi hati. Maknanya hati dan pikiran berusaha fokus, menghayati ayat ataupun dzikir yang dibaca dan merasa seakan-akan ia tengah berdiri dihadapan RABB-nya. Hati yang khusyu’ akan menjadikan anggota badannya absen dari gerakan tak berguna selain gerakan shalat. Khusyu’ juga dimaknakan qanut. Ibnul Qayyim menyatakan qanut adalah ketundukan, rendah diri dan takut pada ALLAH serta mengagungkan shalatnya.
Ibnul Qayyim membagi khusyu’ menjadi dua: khusyu’ iman dan khusyu’ nifaq. Khusyu’ iman adalah khusyu’ sejati. Rasa takut dan pengagungan yang sangat pada DZAT yang Maha Agung menjadikan hati seorang hamba tunduk. Khusyu’ iman adalah keselarasan antara ketundukan jiwa dan ketenangan raga.
Khusyu’ nifaq adalah kebalikannya. Khusyu’ nifaq adalah khusyu’ imitasi, dibuat-buat dan tidak murni dari hati. Hanya berupa ketenangan raga yang direkayasa demi sebuah pujian, jaga imej, atau apresiasi. Tabir rahasianya akan terbuka di saat dia shalat sendirian atau shalat dengan orang yang tidak ia kenal. Para ulama menasehatkan untuk hati-hati terhadap khusyu’ nifaq ini. Jika dalam shalat saja orang seperti ini berani bersandiwara apalagi dalam urusan yang lain.
Wallahu a’lam
Sumber: Ar-Risalah no 70 April 2007