Kamis, 26 Juni 2008

ISBAL

“Barangsiapa membenci sunnahku maka dia tidak termasuk golonganku”
(HR. Bukhari-Muslim)


Kewajiban setiap muslim yang beriman kepada ALLAH dan hari akhir adalah mencintai dan menaati Rasulullah SAW dengan mengikuti perintahnya, menjauhi larangannya, dan membenarkan ucapan yang Beliau sampaikan, baik dalam masalah kecil dan besar. Ketahuilah Rasulullah telah bersabda, “Ingatlah, sungguh yang diharamkan Rasulullah SAW itu seperti yang diharamkan ALLAH.” (HR. Abu Dawud, Shahih)

Dengan ketaatan seperti itulah, kita merealisasikan syahadat kita, bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali ALLAH dan Muhammad utusan ALLAH. Dengan itu pula kita berhak mendapat pahala dari ALLAH dan selamat dari hukuman di dunia dan akhirat. Tanda bukti hal tersebut adalah keteguhan kita dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara lahir dan bathin, baik larangan maupun perintah, serta penerapan keduanya dalam ucapan, keyakinan, dan perbuatan. Terhadap perintah dan larangan dari ALLAH dan Rasul-NYA seharusnya seorang mukmin berkata, “Sami’na wa ‘Atha’na” (Kami dengar dan kami taat). Tidak mencari-cari alasan yang memperturutkan hawa nafsu dan akal manusia yang sempit.

Salah satu perintah syariat yang harus kita sikapi dengan “Sami’na wa ‘Atha’na” adalah masalah berpakaian di atas mata kaki bagi laki-laki karena menaati ALLAH dan Rasul-NYA, mengharap pahala dan takut akan siksa-NYA.

Kondisi kebanyakan laki-laki muslim saat ini menjuraikan pakaiannya di bawah mata kaki (Isbal), bahkan menyeretnya, merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Tindakan tersebut mengandung bahaya besar bagi diri mereka sendiri karena telah menyelisihi perintah ALLAH dan Rasul-NYA. Orang yang menjuraikan pakaiannya di bawah mata kaki berarti telah menerjang perkara yang haram, terang-terangan berbuat dosa dan diancam dengan azab dari ALLAH.

Batas Panjang Kain
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Kain seorang muslim hingga setengah betis.” (HR. Abu Dawud, Shahih)

“Kain seorang mukmin hingga otot betis, kemudian hingga ka’bain (dua mata kaki), kain yang di bawah itu berada di neraka.” (HR. Ahmad, Shahih)

Dari Ibnu Umar, beliau berkata, ‘Aku melewati Rasulullah sedangkan sarungku terjurai. Beliau lantas bersabda, “Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!” setelah kutinggikan, Beliau masih bersabda, “Tinggikan lagi!” semenjak itu kujaga agar kainku pada batas itu.’ Ada sebagian orang bertanya, ‘Seberapa tingginya?’ ‘Setengah betis’, jawab Ibnu Umar. (HR. Muslim)

Dari Hudzaifah, beliau berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam memegang otot betisku lalu bersabda, “Ini merupakan batas bawah kain sarung. Akan tetapi, jika engkau tidak setuju maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau tidak setuju juga maka tidak ada hak bagi sarung berada pada mata kaki.” (HR. Tirmidzi)

Dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallambersabda, “Sarung itu hingga pertengahan betis.” Akan tetapi, mengetahui hal itu memberatkan umat Islam, Beliau bersada, “Sampai mata kaki. Tidak ada kebaikan untuk kain yang lebih bawah dari itu.” (HR. Ahmad, Shahih)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Walhasil ada dua ketentuan untuk batas kain, yaitu:
a. dianjurkan, yaitu mencukupkan diri pada pertengahan betis.
b. Diperbolehkan, yaitu sampai mata kaki.

Tercelanya Isbal
Nabi shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Sungguh, ALLAH tidak mau memandang orang yang mengisbal pakaiannya.” (HR. Nasa’i, shahih)

“Kain yang berada di bawah mata kaki di dalam neraka.” (HR. Bukhari)

Dari Amir bin Al-Syuraid, beliau berkata, ‘Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam melihat seseorang yang menyeret pakaiannya. Beliau lantas mengejarnya atau berjalan dengan cepat untuk menyusulnya seraya bersabda, “Tinggikanlah kainmu dan takutlah kepada ALLAH!” Orang tersebut berkata, “Kakiku berbentuk O dan kedua lututku kecil.” Nabi shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Tinggikan kainmu! setiap ciptaan ALLAH itu bagus.” Semenjak itu ujung kainnya tidak pernah terlihat melebihi pertengahan betis.’ (HR. Ahmad, shahih)

ALLAHU AKBAR, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam pemimpin seluruh makhluk dan imam para dai berjalan cepat mengejar seorang laki-laki biasa dari kalangan muslimin. Setelah itu Beliau perintahkan untuk berbuat baik dan Beliau larang untuk melakukan kemungkaran. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Isbal adalah perkara besar dan berbahaya.

Nabi shallallahu 'alaihi wassallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ALLAH ajak bicara pada hari kiamat, tidak DIA pandang, tidak DIA sucikan, dan bagi mereka siksa yang pedih. Mereka adalah orang yang mengisbal pakaian, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)

Hadits-hadits yang mengenai larangan Isbal banyak sekali sehingga dapat dikatakan mutawatir secara makna. Seluruhnya menunjukkan bahwa Isbal itu dilarang.

Syubhat
Pertama: Sebagian orang mengatakan Isbal yang dilarang adalah hanya Isbal yang didasari oleh rasa sombong berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, “Jauhilah Isbal karena hal itu termasuk kesombongan.” Kalau tidak sombong maka tidak apa-apa.

Bantahan: Dalam hadits ini Rasulullah menjadikan seluruh bentuk Isbal sebagai bagian dari kesombongan. Abu Bakar Al-‘Arabi berkata, “Pakaian laki-laki tidak boleh melewati mata kaki meski dia mengatakan, ‘Aku menyeretnya bukan karena sombong’, karena dari segi lafazh hadits larangan Nabi shallallahu 'alaihi wassallam mencakup Isbal tanpa kesombongan. Orang yang tercakup oleh lafazh dalil secara hukum tidak boleh mengatakan, ‘Aku tidak mau melaksanakannya karena dalam diriku tidak terdapat illah (sebab) larangan (sombong).’ Ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak dapat diterima. Bahkan memanjangkan ujung kain itu sendiri sudah menunjukkan kesombongan.” (Fathul Bari 10/275)

Kedua: Ada orang yang mengatakan Isbal hanya pada sarung atau kain, tapi tidak pada celana.

Bantahan: untuk membantah dalih ini kami nukil beberapa perkataan ulama:
1. Ibnu Taimiyah berkata, ‘Kemeja, celana dan berbagai jenis pakaian bila dipanjangkan tidak boleh lebih dari mata kaki.’
2. Syaikh bin Baz berkata, ‘Isbal itu haram dan bentuk satu kemungkaran, baik terjadi pada kemeja, sarung, celana, atau bisyfi.’

Ketiga: ada orang yang menganggap Isbal tidak boleh bila hanya sedang shalat. Diluar shalat boleh.

Bantahan: Sesungguhnya larangan Isbal tidak khusus hanya dalam shalat, karena hadits-hadits larangan Isbal tidak dikhususkan hanya dalam shalat.

Sungguh tidak ada alasan untuk menolak bagi seorang mukmin bila telah jelas terang perintah dan larangan. Apalagi kita mempertahankan pendapat yang hanya berdasar hawa nafsu dan pikiran yang sempit untuk menentang perintah dan larangan dari ALLAH dan Rasul-NYA.

-------
Sumber: Jenggot Yes! Isbal No, Ibnu Abdul Hamid, Media Hidayah