Selasa, 24 Juni 2008

Manhaj Penafsiran Al-Qur'an

Al-Qur’an adalah kitab suci yang ALLAH turunkan untuk jin dan manusia; sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Benar tidaknya pemahaman Islam, tergantung pada benar atau tidaknya ia menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu seruan kaum orientalis adalah tidak hanya untuk menolak Al-Qur’an melainkan mengajak memahami Al-Qur’an menurut kaidah mereka, bukan sesuai kaidah Salafus Shalih. Melalui rubrik Manhaj ini, kami ajak pembaca untuk menyelami kaidah ilmu tafsir yang ditulis oleh Ibnu Katsir, salah seorang ulama Ahlus Sunnah. Tulisan ini merupakan terjemah ringkas dari “Muqaddimah” tafsir beliau.
Al-‘Allamah Al-Hafidz Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir berkata, “Segala puji bagi ALLAH yang telah membuka kitab-NYA dengan kalimat pujian, sebagaimana tersebut dalam firman-NYA: “Segala puji bagi ALLAH, pemelihara alam semesta.” (Q.S. Al-Fatihah: 2)
dan memulai penciptaan-NYA dengan pujian, sebagaimana tersebut dalam firman-NYA: “Segala puji bagi ALLAH yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang “ (Q.S. Al-An’am: 1)
Kemudian, setelah menyebutkan keputusan terhadap ahli surga dan ahli neraka, ALLAH juga menyebutkan pujian, sebagaimana tersebut dalam firman-NYA: “...dan diberi putusan di antara hamba-hamba ALLAH dengan adil dan diucapkan: “Segala puji bagi ALLAH, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Az-Zumar: 75)
Oleh karena itu, segala pujian pun hanyalah milik ALLAH dari awal sampai akhir, terhadap semua yang telah diciptakan dan yang akan diciptakan. DIA sajalah yang terpuji dalam semua itu. Sehingga, ALLAH pun menjadikan ahli surga senantiasa melantunkan tasbih dan tahmid kepada ALLAH, sebagaimana tersebut dalam firman-NYA: “Doa mereka di dalamnya ialah: ‘Subhanakallahumma’, dan salam penghormatan mereka ialah: ‘Salam’. Dan penutup doa mereka ialah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil `aalamin’.” (Q.S.Yunus:10).
Kemudian pujian pun terhaturkan kepada ALLAH, yang telah mengutus para Rasul-NYA untuk menyampaikan berita gembira; disamping memberi peringatan dan ancaman keras, supaya tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk tidak beriman sesudah datangnya para rasul itu. ALLAH menutup kerasulan itu dengan Nabi Muhammad SAW, Seorang Nabi yang ummi, berasal dari bangsa Arab, kelahiran kota Mekkah, yang memberi tuntunan ke jalan yang lurus, jelas dan gamblang. Beliau diutus kepada seluruh
umat manusia dan jin hingga Hari Kiamat sebagaimana dijelaskan dalam firman ALLAH: “Katakanlah, ‘Hai manusia sesung-guhnya aku adalah utusan ALLAH kepadamu semua.’” (Q.S. Al-A’raf:158)
Dan firman-NYA: “Supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an (kepada-NYA).” (Q.S. Al-An’am:19)
Nabi SAW bersabda, “Aku diutus kepada orang-orang berkulit merah dan hitam.” (Muslim, hadits no.521; Ahmad IV/416, dan ini lafaznya.)
Jadi, Nabi Muhammad diutus oleh ALLAH kepada manusia dan jin untuk menyampaikan risalah ALLAH berupa wahyu yaitu Al-Qur’an yang tidak mengandung kebatilan sedikit pun dari awal hingga akhirnya. Al-Qur’an benarbenar diturunkan oleh ALLAH yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Tugas Para Ulama Kewajiban para ulama adalah menggali dan mengungkap makna firman ALLAH dan mempelajari hikmah yang terkandung di dalamnya, kemudian mengajarkan dan menyebarkannya, sebagaimana dijelaskan dalam firman ALLAH : “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” (Q.S. Ali Imran: 187)
Ayat di atas menerangkan bahwa ALLAH mencela Ahli Kitab (orang yang mengerti kitab ALLAH), namun mereka mengabaikan kitab yang mereka pahami itu karena semata-matamengejar kekayaan dan keuntungan duniawi. Karena itu menjadi tugas dan kewajiban umat Islam menjauhkan diri dari apa yang dicela oleh ALLAH dan benar-benar mengikuti apa yang diperintahkan-NYA, yaitu mempelajari Kitab ALLAH yang diturunkan kepada kita, menghayati sedalam-dalamnya, kemudian mengajarkannya, sebagaimana dijelaskan dalam firman ALLAH : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat ALLAH dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya” (Q.S. Al-Hadid:16)
Dalam ayat di atas ALLAH mengingatkan bagaimana Dia telah menghidupkan bumi yang mati; demikian pula ALLAH juga dapat menghidupkan hati (jiwa) manusia dengan iman dan melunakkannya setelah sebelumnya keras karena dosa dan maksiat. Kita berharap semoga ALLAH memberikan hidayah-NYA kepada kita. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Pemberi. Metode Tafsir yang Benar Jika ada orang bertanya, “Bagaimana metode tafsir yang baik?” maka jawabnya, “Metode yang terbaik dan terakurat adalah menafsirkan ayat Al- Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, karena ada kalanya perkataan yang disingkat dalam suatu ayat ternyata dijelaskan secara rinci dalam ayat yang lain. Kemudian jika perkataan dalam suatu ayat tidak kita dapatkan penjelasannya dalam ayat lain, maka kita menengok kepada Sunnah Rasulullah SAW, sebab Sunnah Rasul berfungsi menerangkan Al-Qur’an dan menjelaskannya. Hal itu sebagaimana tersebut dalam firman ALLAH: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S.An-Nahl:64)
Nabi SAW juga bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan Al-Qur’an kepadaku dan yang serupa dengannya (yakni Sunnah Rasul SAW).” (Ahmad IV/131; Abu Dawud, hadits no.4604. Lihat Shahih Al-Jami’ no.2643)
Sebab, Sunnah Rasulullah itu juga merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW, hanya saja berbeda letaknya, sebagaimana dijelaskan dalam firman ALLAH: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S. An-Najm: 3-4 )
Maksudnya adalah ketika kita menafsirkan ayat Al-Qur’an, carilah pada ayat Al-Qur’an lain; jika tidak kita dapati, carilah dari Sunnah Rasul. Contoh tentang hal ini adalah sebagaimana arahan Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal ketika Beliau mengutusnya ke Yaman. Rasulullah SAW bertanya, “Dengan apakah engkau akan menetapkan hukum?” Muadz menjawab, “Dengan Kitab ALLAH.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkannya?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad semampu pikiranku.” Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya sambil berkata, ”Alhamdulillah, Segala Puji Bagi ALLAH yang telah memberi taufik kepada Utusan Rasulullah sehingga membuatnya puas.” (HR. Ahlu Sunan dan Musnad dengan sanad baik. [Lihat silsilah Ad dha’ifah,hadits no.881)
Artinya, jika kita tidak mendapatkan tafsiran suatu ayat Al-Qur’an dari ayat lain, kemudian kita juga tidak menemukan penjelasannya dalam Sunnah Rasul, maka kita cari pendapat sahabat Nabi, sebab mereka orang yang paling mengetahui masa dan sebab-sebab turunnya ayat, serta kondisi yang ada saat itu. Di samping itu, mereka adalah orang-orang yang ikhlas dan bertakwa, sehingga mereka mempunyai pemahaman yang lurus dan pengetahuan yang benar, terutama ulama dan pemimpin mereka seperti Khulafa’ ar-Rasyidin yang telah mendapat hidayah.
Abdullah bin Mas’ud berkata,“Demi ALLAH yang tidak ada tuhan selain-NYA, tidak ada satu ayat pun dari kitab ALLAH melainkan aku mengetahui di mana turunnya atau terhadap siapa diturunkan. Oleh karena itu, sekiranya aku tahu ada orang yang lebih mengetahui dari pada aku mengenai suatu ayat dalam kitab ALLAH, sementara tempat orang itu dapat dicapai dengan kendaraan pasti aku akan datang untuk belajar kepadanya.”
Abdullah bin Mas’ud juga berkata, “Kebiasaan kami (para sahabat), jika belajar Al-Qur’an cukup sepuluh ayat, tidak lebih, namun kami pelajari dan pahami hingga benar-benar mengetahui artinya dan cara mengamalkannya.”
Abu Abdurrahman As-Sulaimi berkata, “Kami diberitahu oleh guru-guru yang mengajar al-Qur’an bahwa mereka dahulu belajar al-Qur’an dari Nabi SAW sepuluh ayat. Mereka baruminta ditambah, setelah ayat yang telah mereka pelajari tadi mereka praktekkan cara mengamalkan dan menyesuaikan diri dengan tuntunan ayat itu”.
Yang termasuk ulama dari kalangan sahabat ialah Abdullah bin Abbas. Beliau pernah dido’akan oleh Nabi SAW, “Ya ALLAH, pandaikanlah ia dalam agama dan ajarkan kepadanya takwil -tafsir- Al-Qur’an.” (Bukhari, hadits no.143; Muslim, hadits no.138; Ahmad I/266,314,328,335 dan ini lafaznya)
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sebaik-baik penerjemah (penafsir) Al-Qur’an ialah Abdullah bin Abbas .” Abdullah bin Mas’ud meninggal pada tahun 32 H, dan Abdullah bin Abbas meninggal kurang lebih tiga puluh enam tahun setelah wafatnya Abdullah bin Mas’ud .
Abu Wa’il berkata, “Ali mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai pemimpin haji. Suatu ketika ia berkhotbah menafsirkan surat Al-Baqarah atau An-Nur, yang andaikata saat itu didengar oleh orang-orang Romawi, Turki dan Dailam, pasti mereka masuk Islam.”
Karena itulah, As-Suddi dalam kitab tafsirnya selalu menyebut keterangan Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas , meskipun ada kalanya membawakan keterangan ahli kitab. Tentang digunakannya keterangan ahli kitab ini telah diizinkan oleh Nabi: “Sampaikan (ajaran) dariku walau satu ayat; dan ceritakan perihal Bani Israil (karena hal itu) tidak berdosa bagi kalian. Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklahmenempatkan diri dalam api neraka.” (HR. Bukhori, hadits no.3274 dari Abdullah bin Amr)
Ketika selesai perang Yarmuk Abdullah bin Amr mendapat dua gerobak kitab-kitab ahli kitab. Oleh karena itulah, ia sering membawakan cerita ahli kitab karena dia tahu bahwa Nabi telah mengijinkannya. Cerita-cerita tentang Bani Israil boleh disampaikan sebatas sebagai bukti; tidak boleh dijadikan sebagai pegangan dan hujjah. Cerita tentang Bani Israil terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Kita benarkan bila sesuai dengan ajaran agama kita.
2. Kita dustakan bila menyalahi ajaran agama kita.
3. Kita diamkan bila tidak ada keterangan dalam agama kita yang menyatakan kebenarannya, namun juga tidak menyalahi ajaran agama kita.
Terhadap cerita Bani Israil yang seperti ini, sikap kita tidak mempercayai dan juga tidak mendustakannya. Cerita semacam itu boleh kita sampaikan, karena kebanyakan menyangkut hal-hal yang tidak penting dalam urusan agama kita, seperti nama-nama dan jumlah ash-habul kahfi. Dalam surat Al-Kahfi ayat 22. ALLAH mengajarkan kepada kita cara menghadapi berita-berita yang serupa itu. ALLAH berfirman, “Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (bahwa jumlah mereka) tiga orang dan yang keempatnya adalah anjingnya; dan (yang lain akan) mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah lima orang dan yang keenamnya adalah anjingnya” menerka-nerka perkara yang gaib; dan (yang lain lagi akan) mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh orang dan yang kedelapannya adalah anjingnya.” Katakanlah, “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka. Hanya sedikit orang yang mengetahui (bilangan) mereka.” Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang jumlah mereka itu, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Q.s. Al-Kahfi: 22)
Kemudian, jika kita tidak menemukan tafsir suatu ayat Al-Qur’an, baik dalam ayat yang lain, dalam Sunnah Rasul, atau keterangan para sahabat, maka para imam salaf akan melihat kepada pendapat ulama dari kalangan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabir yang terkenal sebagai ahli tafsir. Mujahid sendiri berkata, “Saya belajar Al-Qur’an kepada Abdullah bin Abbas mulai dari surat Al-Fatihah hingga khatam tiga kali, dan tiap-tiap ayat telah saya tanyakan kepadanya.”
Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Saya pernah melihat Mujahid membawa buku catatannya kepada Abdullah bin Abbas, lalu menanyakan tafsir Al-Qur’an kepadanya; sementara Abdullah bin Abbas selalu mengarahkan kepadanya: ‘Tulislah ini, tulislah ini!’”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Jika Anda mendapat keterangan tafsir dari Mujahid, maka itu sudah mencukupi dan peganglah.” Demikian juga Said bin Jubair, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq bin Al Aida, Sa’id bin Al-Musayyab, Abul ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, Adh- Dhahak bin Al-Muzahim dan ulama lain dari kalangan tabi’in dan pengikut mereka sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir. Anda boleh menukil keterangan mereka. Memang, mungkin ada perbedaan keterangan yang disampaikan oleh masing-masing dari mereka, sehingga orang yang tidak berilmu akan menganggapnya bertentangan. Sebetulnya inti pembicaraan mereka sama. Hanya saja di antara merka ada yang langsung menyebut pokok permasalahan dan ada yang menyebutkan perbandinganperbandingan atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah pokoknya. Semuanya intinya sama.
PERINGATAN
Pendapat ulama dari kalangan tabi’in sama sekali tidak boleh dijadikan hujjah dalam masalah furu’, lebih-lebih dalam bidang tafsir. Dan jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, maka kedudukan masing-masingnya sama kuat; yang satu tidak dapat membatalkan yang lain. Adapun menafsirkan ayat Al-Qur’an langsung dengan ra’yu karena merasa sudah mengerti bahasa Arab, maka hukumnya haram, karena sabda Rasulullah . Ibnu Abbas berkata, Nabi bersabda, “Barangsiapa menafsirkan ayat al-Qur’an hanya dengan pendapatnya atau dengan kebodohannya, maka hendaknya ia menempatkan dirinya dalam neraka.” (HR. At-Tirmidzi, hadits no.2950; An Nasa’i, hadits no.8085 dan Ibnu Jarir I/34, lihat dha’if Tirmidzi hal.313)
Jundub berkata, Nabi bersabda: “Siapa yang menafsirkan Al-Qur’an semata-mata dengan pendapatnya maka ia telah keliru (salah).” (HR. Ibnu Jarir I/35; At Tirmidzi, hadits no.2952, lihat dho’if At Tirmidzi hal.313-314)
Dalam riwayat lain disebutkan: “Siapa yang membicarakan Kitab ALLAH semata bardasarkan akal pikirannya, lalu bertepatan benar, maka itu pun tetap dipandang salah.” (HR. At Tirmidzi, hadits no.2952; Abu Dawud,hadits no.3652; An Nasa’i,hadits no.8086. Hadits ini gharib.Lihat dha’if At Tirmidzi hal.313-314)
Dia dipandang salah karena dia memaksakan diri membicarakan sesuatu yang dia sendiri sebenarnya tidak mengetahui. Dia telah menempuh jalan yang melanggar tuntunan ALLAH maka dipandang salah. Dia tidak melalui jalan yang seharusnya dilalui sehingga dinilai salah. Oleh karena itu, dalam ayat 13 surat An-Nur, ALLAH menamai orang yang menuduh orang lain berzina dengan sebutan pendusta, meskipun menurut pemikirannya benar. Atas dasar ini pulalah, kebanyakan sahabat Nabi tidak mau menafsirkan ayat yang belum mereka ketahui karena takut berdosa.
Abu Bakar As-Siddiq berkata, “Langit mana yang akan dapat menaungiku, atau bumi mana yang dapat aku pijak, jika mengatakan sesuatu dalam Al-Qur’an yang belum aku ketahui.”
Anas berkata, ”Ketika Umar berada di atas mimbar membacakan ayat “wafakihatan wa abba”, ia berkata, ‘fakihah sudah kami ketahui, tetapi apakah abba itu?’ Kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, ‘Ini termasuk memaksakan diri, wahai Umar.’ Sebenarnya dari ayat tersebut telah jelas bahwa abba termasuk tumbuhan yang ditumbuhkan oleh ALLAH sebagaimana tumbuhan lainnya, tetapi untuk mengetahui tumbuhan apa sebenarnya, ini termasuk tindakan takalluf (=memaksakan diri).”
Suatu ketika ada seseorang bertanya kepada Abdullah bin Abbas tentang ayat “fi yaumin kana miqdaruhu alfa sanah”. Abdullah bin Abbas balik bertanya kepada orang itu, “Apakah maksud ayat fi yaumin kana miqdaruhu khamsina alfa sanah?” Orang itu berkata, “Aku bertanya untuk mendapatkan keterangan darimu,” Jawab Ibnu Abbas, “Keduanya adalah hari yang disebut oleh ALLAH; dan ALLAH lebih mengetahui apa hakikatnya.”
Ubaidullah bin Umar berkata, “Saya mendapati ulama Madinah benar-benar menganggap sesat orang yang berani menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya”.
Suatu ketika Ubaidillah As Salmani ditanya tentang pengertian ayat Al- Qur’an. Beliau menjawab, “Tidak ada yang mengetahui mengenai apa turunnya ayat Al-Qur’an tersebut, karena itu hendaknya Anda bertaqwa kepada ALLAH dan berhati-hati.”
Masruq berkata, “Berhati-hatilah kalian dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, sebab menafsirkan ayat Al-Qur’an berarti meriwayatkan sesuatu dari ALLAH.”
Riwayat-riwayat yang shahih dari ulama salaf tersebut menunjukkan keenganan mereka dalam menafsirkan ayat yang tidak mereka ketahui dan menerangkan ayat-ayat tentang hukum yang telah mereka ketahui. Mereka hanya mau menerangkan apa yang mereka ketahui dan diam terhadap apa yang belum mereka ketahui. Demikianlah seharusnya; seorang muslim diam terhadap apa yang belum diketahuinya dan menerangkan apa yang benar-benar telah diketahuinya. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam firman ALLAH: “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” (Q.S. Ali Imran: 187)
Abu Hurairah berkata, Nabi bersabda: “Siapa ditanya tentang urusan agama yang telah ia ketahui tetapi ia menyembunyikannya, maka akan diikat mulutnya dengan kendali dari api nereka di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud,hadits no.3658 dan At Tirmidzi, hadits no.2649. Lihat Shahih At Tirmidzi)
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Al- Qur’an diturunkan mengandung empat hal, yaitu:
1. Halal dan haram, yang tidak akan dimaafkan orang yang tidak mengetahuinya
2. Bagian yang dapat ditafsirkan oleh semua orang yang tahu bahasa Arab
3. Bagian yang hanya bisa ditafsirkan oleh para ulama.
4. Yang mutasyabih, yaitu yang tidak diketahui oleh seorang pun kecuali ALLAH semata
(ed)

Sumber: Fatawa Vol. 01/ I / Ramadhan 1423 H - 2002 M