Senin, 30 Juni 2008

TAK INGIN KEBENARAN

ALLAH memuliakan manusia dengan kemampuan berpikir dan akal budi. Hal yang memungkinkan manusia mengadakan tinjauan, klasifikasi, pembahasan hingga mengambil kesimpulan terhadap suatu masalah, bukan semata berdasarkan naluri. Inilah yang membuat manusia patut menerima taklif (pembebanan kewajiban) ibadah dan tanggung jawab terhadap pilihan dan kehendaknya. Patut menjadi khalifah ALLAH di muka bumi.
ALLAH sangat mendorong manusia untuk mengoptimalkan fungsi akalnya. Mengamati, meneliti, merenungi dan memikirkan fenomena alam sebagai tanda-tanda kekuasaan-NYA agar tidak salah dalam mengambil keputusan tentang hidup dan kehidupannya. Bahkan tentang manusia sendiri. ALLAH berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imraan: 190-191)

KELIRU BERPIKIR
Mestinya, jika manusia benar dalam proses berpikirnya, dia akan mencapai kesimpulan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam ciptaan ALLAH.
Menyadari kelemahan dan Keterbatasannya sebagai manusia, untuk kemudian tunduk patuh di hadapan-NYA Yang Maha Suci. Bukankah Al-Qur’an menyebutkan orang yang paling takut kepada ALLAH adalah orang yang paling berilmu.
Namun, proses berpikir sangat mungkin mengalami kekeliruan. Membuatnya melenceng jauh sehingga tidak sampai kepada kehendak yang dituju. Dia tidak mengenali RABB yang telah menciptakan dan memberinya rejeki, bahkan kufur dan menolak-NYA. Sampai di sini, akal telah kehilangan fungsi terpentingnya dalam hidup; memilah kebaikan dan keburukan. Padahal inilah karakter terpenting akal yang membedakannya dengan binatang.
ALLAH berfirman, “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqaan: 44) Hal ini disebabkan oleh hati manusia itu terkunci, tersumbat dan tertutup. ALLAH menjelaskan, “Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. An-Nahl: 108)

FAKTOR PENGHAMBAT
Di antara faktor-faktor penghambat proses berpikir adalah Taqlid buta kepada nilai-nilai lama. Berpegang teguh kepada pikiran, tradisi dan kebiasaan yang berlaku, sering menyebabkan akal menjadi statis dan cendrung menolak pikiran-pikran baru yang ditawarkan, meski dengan penjelasan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dan didasari oleh firman ALLAH sekalipun. ALLAH menerangkan hal ini, “Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maaidah: 104)
Hal lain yang juga menghambat proses berpikir adalah kurangnya ilmu dan tidak cukupnya data yang ada. ALLAH berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Almukmin: 35)
Keadaan ini sering mengakibatkan manusia menempuh zhan (prasangka) tanpa bukti yang mendukung sebagai pijakan kebenaran. Padahal, zhan bukanlah jalan yang tepat untuk sampai kepada realitas yang benar. Disamping sering keliru, zhan juga bukan cara yang aman untuk mengungkap kebenaran.
ALLAH berfirman, “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 36)

SIKAP MEMIHAK YANG APRIORI
Manusia memilik kecendrungan, dorongan, kepentingan, emosi dan perasaannya sendiri. Hal-hal ini berpengaruh terhadap pemikirannya. Sehingga manusia sering terjatuh kepada kekeliruan. ALLAH berfirman, “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Qashash: 50)

SEBAB LAIN
Selain penolakan kebenaran yang disebabkan kekeliruan proses berpikir, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan manusia menolak, bahkan menentang dan memusuhi kebenaran, meski telah datang kepada mereka sejumlah bukti yang meyakinkan. Ini adalah nasihat berharga bagi para penyeru kebenaran agar mengikhlaskan niat mereka hanya kepada ALLAH saja.
Sebab pertama adalah al-kibru (kesombongan). ALLAH telah menjelaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran (kesombongan) yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. AL-Mukmin: 56)
ALLAH juga berfirman, “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.”(QS. Luqman: 7)
Ingatlah kesombongan menyebabkan seseorang masuk neraka, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW, “Aku (Neraka) diistimewakan karena (berpenghuni) manusia-manusia sombong.” (HR. Bukhari-Muslim)

DUNIA YANG MANIS
Sebab kedua adalah lebih mencintai dunia daripada akhirat. Kelezatan dan kemanisan dunia yang instan mampu melenakan manusia. Dalam hal ini ALLAH telah berfirman, “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. An-Nahl: 107)
Juga firman-NYA, “(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Ibarahim: 3)
Salah satu atau gabungan keduanya-sombong dan cinta dunia-mampu membuat manusia memusuhi pendukung kebenaran, meski mereka mengetahui kebenaran argumentasi yang diajukan. ALLAH berfirman, “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (QS. An-Nisaa’: 89)
Sebab lain adalah hasad atau dengki. ALLAH menjelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 109, “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109)

MENSYUKURI IMAN
Jika hari ini kita termasuk hamba-hamba yang beriman, sangat pantas jika kita memanjatkan syukur yang tak terhingga kepada ALLAH Ta’ala. Dalam keterbatasan ilmu yang kita miliki dan kelemahan kita sebagai manusia, ALLAH masih menganugerahkan nikmat iman kepada kita.
Kemudian memaknai nikmat itu dalam ketundukan kepada-NYA, mengimani kebenaran ayat-ayat-NYA dan berupaya tidak menyombongkan diri dan lalai dari mengingat-NYA. ALLAH berfirman, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS. Al-A’raaf: 146)
Tapi, sudahkah kita menyadarinya? Atau kita memang tidak menginginkan kebenaran?

Sumber Tulisan:
Ar-Risalah edisi No. 44 Februari 2005