ALLAH ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan ALLAH. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (QS. Al-Mujaadilah: 22)
Karakteristik terpenting dari Firqah Najiyah (golongan yang selamat) adalah tamassuk (berpegang) dengan apa yang dibawa oleh Nabi baik dalam hal aqidah, ibadah, ahklaq maupun muamalah (hubungan antarmanusia). Dalam hal-hal inilah Firqah Najiyah tampak berbeda dengan yang lain. Dalam hal aqidah, mereka sangat memegang teguh al-Qur’an dan as-Sunnah dalam mengesakan (mentauhidkan) ALLAH secara murni di dalam uluhiyah (peribadatan kepada-Nya), rububiyah (perbuatan-perbuatan-Nya) serta nama-nama dan sifat-sifat-NYA.
Dalam hal ibadah, terlihat Firqah Najiyah ini berbeda dengan yang lain karena mereka memegang secara sempurna dan menerapkan apa yang dibawa oleh Nabi SAW di dalam peribadatan, baik jenisnya, sifat, kadar, waktu, tempat dan sebab-sebabnya. Tidak didapati mereka melakukan bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru) di dalam agama ALLAH ini. Bahkan mereka sangat beradab kepada ALLAH dan rasul-NYA, tidak berani berbuat lancang terhadap ALLAH dan rasul-NYA, seperti memasukkan sesuatu ke dalam peribadatan yang tidak diperintahkan (disyari’atkan) oleh ALLAH. Dalam hal akhlaq, mereka juga tampak berbeda dengan yang lain, karena akhlaq mereka yang mulia, seperti mencintai kaum muslimin, suka berlapang dada, bermuka manis, bagus dalam bertutur kata, bermurah hati, berani dan yang lainnya dari ahklaq yang baik lagi mulia. Dalam hal muamalah, terlihat mereka berhubungan dengan orang lain secara jujur dan jelas, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi SAW di dalam sabdanya: “Jual-beli itu dengan pilihan/tanpa paksaan (membatalkan atau meneruskan akad jual-beli) selama belum berpisah (antara penjual dan pembeli), jika saling berbuat jujur dan saling menjelaskan diberkahi jual-beli keduanya. Jika saling berdusta dan saling menyembunyikan terhapus berkah jual-beli keduanya.” (Bukhari)
Adapun kekurangan pada karakteristik ini tidaklah mengeluarkan seseorang dari Firqah Najiah, akan tetapi masing-masing memiliki derajat sesuai dengan kadar amalnya. Namun kekurangan pada sisi Tauhid mungkin bisa mengeluarkannya dari Firqah Najiah, seperti tidak adanya ikhlas. Demikian pula halnya dengan perbuatan-perbuatan bid’ah, yaitu apabila seseorang melakukannya dapat mengeluarkannya dari Firqah Najiah. Adapun kekurangan dalam hal berakhlaq dan ber-muamalah tidaklah menjadikannya keluar dari golongan Firqah Najiyyah. Sekalipun hal tersebut mengurangi martabatnya. Terkadang kita perlu merinci dalam masalah ahklaq, karena yang terpenting dalam akhlaq adalah seia-sekata diatas kebenaran, sebagaimana yang telah diwasiatkan oleh ALLAH, “DIA telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-NYA kepada Nuh dan apa yang telah KAMI wahyukan kepadamu dan apa yang telah KAMI wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.’” (Q.S. As-Syura:13)
Dan ALLAH mengabarkan bahwa Muhammad SAW berlepas diri dari mereka yang memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (Q.S. Al-An’am:159)
Seia-sekata dan berpadunya hati termasuk di antara karakteristik terpenting Firqah Najiyah—Ahlus Sunnah wal Jamaah—Jika terjadi perselisihan pendapat di antara mereka karena hasil ijtihad dalam perkara-perkara ijtihadiyah (yang memungkinkan terjadinya ijtihad dan perbedaan pendapat) tidaklah menjadikan mereka saling mendendam, bermusuhan dan tidak pula saling membenci.
Akan tetapi tetap menganggap mereka sebagai saudara sekalipun terdapat perselisihan diantara mereka. Sehingga seseorang diantara mereka tetap shalat di belakang imam yang dipandang olehnya tidak dalam keadaan berwudhu, sementara imam memandang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu, seperti jika salah seorang diantara mereka berma’mum kepada imam yang baru memakan daging unta. Imam di sini berpendapat bahwa memakan daging unta tidaklah membatalkan wudhu, sementara ma’mum berpendapat sebaliknya–bahwa makan daging unta membatalkan wudhu—maka dalam hal ini shalat di belakang imam tersebut sah. Sekalipun seandainya ia shalat seorang diri akan menganggap shalatnya tidak sah.
Semua ini karena mereka memandang bahwa perselisihan pendapat yang muncul karena sebab ijtihad dalam yang ia pegang), bagaimanapun adanya. Jika yang lain menyelisihi dalil yang ia pegang pada hakikatnya telah menempuh apa yang diserunya, dan telah mengambil petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Bukanlah suatu yang asing bagi para ulama akan apa yang terjadi diantara para sahabat dalam perkara seperti ini. Sekalipun perselisihan itu di masa Rasulullah akan tetapi tidaklah Rasulullah mencela salah satu yang berselisih diantara mereka.
Contohnya ketika Rasulullah SAW pulang dari perang ahzab, Jibril mendatangi beliau dan mengisyaratkan untuk keluar memerangi bani Quraizhah (Salah satu kelompok kaum Yahudi yang tinggal di sekitar Madinah saat itu) yang telah mengingkari perjanjian. Maka Rasulullah SAW mengutus beberapa sahabatnya (untuk menuju bani Quraizhah) sambil mengatakan: “Janganlah salah seorang -diantara kalian mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Maka keluarlah para sahabat dari Madinah menuju Bani Quraizhah. Dan ketika datang waktu shalat ashar, sebagian mereka mengakhirkan shalat ashar hingga sampai di Bani Quraizhah sementara waktu shalat ashar telah lewat, karena Rasulullah SAW mengatakan, “Janganlah salah seorang-di antara kalian mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari)
Sebagian lain shalat tepat pada waktunya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW memaksudkan-dengan sabdanya- agar kita bersegera untuk keluar (menuju bani Quraizhah), bukan untuk mengakhirkan shalat sampai keluar dari waktunya.” dan mereka inilah yang benar, akan tetapi meskipun demikian Nabi SAW tidaklah mencela satu pun dari kedua kelompok tersebut (setelah sampai beritanya kepada beliau) dan tidak pula menjadikan diantara mereka saling bermusuhan atau membenci hanya dikarenakan berbeda dalam memahami ungkapan Nabi SAW tersebut.
Oleh karena Syaikh Ibnu Utsaimin memandang bahwa wajib bagi kaum muslimin yang menisbatkan kepada sunnah untuk menjadi umat yang satu dan jangan sampai menjadi ber-hizib-hizib (berkelompok-kelompok), yang ini perkara yang dibolehkan adanya ijtihad, hakikatnya bukanlah perselisihan, karena masing-masing yang berselisih telah mengikuti dalil yang wajib mereka ikuti yang mereka tidak boleh berpaling darinya. Mereka memandang bahwa saudara mereka yang menyelisihi dalil yang ia pegang pada prinsipnya telah sepakat dengannya, yaitu mengikuti dalil pula (meskipun berbeda dengan apa menisbatkan kepada satu kelompok dan yang lain pada kelompok yang lain lagi, demikian pula yang ketiga dan seterusnya. Saling menjatuhkan di antara mereka dengan ungkapan yang buruk, saling bermusuhan, saling membenci hanya karena perbedaan yang dibolehkan berijtihad di dalamnya. Tidak perlu saya (Syaikh Utsaimin) menyebutkan kelompok tersebut satu persatu karena orang yang berakal memahami dan telah jelas bagi mereka perkara ini.
Syaikh Utsaimin memandang bahwa wajib bagi Ahlus Sunnah untuk bersatu meskipun mereka berselisih pendapat dalam suatu perkara selama bersandar kepada dalil-dalil berdasarkan pemahaman mereka masing-masing; (yang demikian) karena dalam perkara seperti ini terdapat kelapangan-walilahil hamdu. Dan yang terpenting adalah satu hati dan satu kata. Tidak diragukan lagi bahwa musuh-musuh kaum muslimin senang jika kaum muslimin saling berpecah, sama saja apakah mereka musuh yang terang-terangan menampakkan permusuhan ataupun musuh yang kelihatan menampakkan loyalitas kepada Islam atau kaum muslimin padahal hakikatnya tidaklah demikian. Maka wajib atas kita menunjukkan karakteristik ini, yang merupakan karakteristik golongan yang selamat, yaitu bersepakat diatas satu kata.
Fatawa Vol. 05/ 1424 H - 2003 M