Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-NYA maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
Menjadi hal yang biasa di dalam masyarakat kita berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Berbagai alasan yang sangat beragam meraka katakan untuk memperbolehkan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ini, seperti: ‘Tidak apa-apa kalau tidak ada niat jahat’, ‘Ah, ini kan, budaya masyarakat’, atau ‘Tidak ada larangan yang jelas dalam masalah ini’, dan sebagainya.
Keadaan di atas menunjukkan ketidak-tahuan dan ketidak-pedulian terhadap agama dan aturan syari’at. Padahal Islam telah mengatur secara jelas, tegas dan dengan aturan tersebut ALLAH ingin menjaga orang-orang beriman agar terbebas dari dosa dan maksiat serta terjaga kehormatannya. Mengapa kita lebih mengutamakan pendapat kita? Lebih selamat kita taat pada perintah dan menjauhi apa yang di larang ALLAH dan Rasul-NYA.
Dalil Haramnya Berajabat Tangan Dengan Bukan Mahram
Dalil pertama: Dari Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh apabila kepala seseorang di antara kalian di tusuk dengan jarum dari besi (maka itu) lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani)
Dalil Kedua: Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “Telah ditulis atas anak Adam bagiannya dari perzinaan, pasti akan dialami (bagian tersebut) tidak mungkin tidak. Maka mata zinanya dengan melihat, telinga zinanya dengan mendengar, lisan zinanya dengan berkata-kata, tangan zinanya memegang, kaki zinanya melangkah, hati zinanya bernafsu dan berangan-angan dan menjadikan itu semua (zina yang sebenarnya) atau tidak adalah kemaluannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan makna hadits di atas dengan mengatakan, “Semua anak Adam pasti ditakdirkan melakukan perbuatan zina, di antara mereka ada yang melakukan zina sebenarnya yaitu dengan memasukkan kemaluannya ke farji yang haram, akan tetapi di antara mereka ada yang zinanya majazi (bukan sebenarnya) yaitu dengan melihat yang haram, mendengar yang haram, atau dengan menyentuh wanita yang bukan mahramnya baik dengan tangan (bersalaman) ataupun dengan menciumnya, ….dan seterusnya.” (Adillah Tahrim Mushofahah al-Ajnabiyah)
Dalil Ketiga: Rasulullah SAW menolak berjabat tangan dengan para wanita yang dibai’atnya, sebagaimana tatkala Beliau diminta untuk mengulurkan tangannya membai’at kaum wanita, lalu Beliau menolaknya. Dan Aisyah mengatakan sambil bersumpah: “Demi ALLAH tidak pernah tangan Nabi menyentuh tangan wanita, akan tetapi Nabi membai’at mereka hanya dengan ucapan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah sendiri menolak berjabat tangan dengan kaum wanita sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” (HR. Ibnu Majah, dishohihkan Al-Albani)
Asy-Syinqithi dalam tafsirnya Adhwaul Bayan 6/603 mengatakan, “Penolakan Nabi berjabat tangan pada waktu bai’at yang sangat penting dan sangat dibutuhkan berjabatan tangan sebagai pertanda sahnya bai’at, menunjukkan bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan mahramnya hukumnya haram, dan ini menunjukkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya pada waktu yang tidak dibutuhkan (selain waktu berbai’at) maka hukumnya ini jelas lebih haram.”
Dalil Keempat
Berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan mahramnya adalah jalan menuju perbuatan keji dan zina, banyak dijunpai laki-laki dan perempuan saling menikmati satu sama lainnya dengan hanya saling memandang, atau dengan percakapan, yang pada akhirnya mereka terjatuh pada maksiat, apalagi kalau sudah bersentuhan satu sama lain. Maka bersentuhan lebih dominan mengantarkan mereka kepada perbuatan zina yang sebenarnya. Oleh karena itu, pintu menuju hal yang haram wajib ditutup rapat-rapat sebelum berjatuhan korban dalam kerusakan tersebut.
Kesepakatan Empat Madzhab
Madzab Hanafi. Berkata Al-Kaslani, “Adapun hukum menyentuh wajah dan tangan wanita (yang bukan mahram) adalah tidak halal (haram)…”
Madzab Maliki. Berkata Ibnu Arobi, “Nabi tidak bersedia berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahramnya) disebabkan karena telah kita pahami bahwa syariat kita mengharamkan untuk menyentuh mereka kecuali yang halal saja.”
Madzhab Syafi’i. Berkata Imam Nawawi dalam menjelaskan hadits bai’at Nabi, “… Dan tidak dibolehkan menyentuh kulit wanita yang bukan mahramnya…” dan beliau mempertegas, “Apabila melihat wanita (bukan mahramnya) itu diharamkan, maka menyentuhnya lebih haram lagi lantaran (menyentuh itu ) lebih sangat terasa nikmatnya.”
Madzhab Hambali. Imam Ibnu Muflih Al-hambali dalam masalah ini berkata, “Maka sesungguhnya haram hukumnya laki-laki berjabat tangan dengan wanita (yang bukan Mahramnya).”
Yang Dimaksud Mahram
Mahram bagi laki-laki adalah wanita yang tidak boleh dinikahi selama-lamanya dan mereka terbagi menjadi tiga macam berdasarkan sebab:
A. Sebab Keturunan, berdasar QS. An-Nisa’: 23, ada tujuh golongan, yaitu:
1. Ibu, Nenek dan seterusnya ke atas.
2. Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
3. Saudari, baik saudari kandung, saudari seayah atau seibu.
4. Bibi (saudari ayah) baik saudari sekandung, saudari seayah atau seibu.
5. Bibi (saudari ibu) dari saudari sekandung, saudari seayah atau seibu
6. Anak perempuan dari saudara (keponakan) baik dari saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu.
7. Anak perempuan dari saudari (keponakan) baik dari saudari kandung, saudari seayah, atau saudari seibu.
B. Sebab Sepersusuan, Rasulullah bersabda, “Menjadi mahram dengan sebab persusuan, sebagaimana menjadi mahram sebab nasab.” (HR. Bukhari-Muslim). Merekapun ada tujuh golongan sebagaimana karena hubungan keturunan.
C. Sebab Perkawinan. Mereka adalah:
1. Istri bapaknya (ibu tiri).
2. Istri dari anak perempuannya, istri dari cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah.
3. ibu istri, nenek istri dan seterusnya ke atas.
4. anak perempuan dari istri (anak tiri) dengan syarat laki-laki itu telah mengumpuli istrinya.
Sumber: Al-furqon edisi 10, Juni 2007