Kamis, 26 Juni 2008

TASLIM

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)

Hari ini kita banyak menyaksikan-semoga kita tidak termasuk di dalamnya-orang-orang yang mengaku Islam, fasih bersyahadat, mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa, berzakat, naik haji, namun ternyata di hatinya tertanam ketidak sukaan bahkan membenci kalau Islam itu dilaksanakan secara utuh, baik secara syariat maupun dalam ibadah ataupun muamalah.
Sebagian umat Islam beranggapan bahwa agama hanyalah berupa ritual-ritual seperti shalat, puasa, zakat dan haji, sedangkan masalah selain itu harus dipisahkan dari agama. Atau ada juga yang berpendapat bahwa agama itu adalah urusan pribadi, yang terserah hanya kepada dirinya sendiri bagaimana dia mau mengamalkan agama. Atau juga ada yang mengambil dari bagian agama Islam yang hanya cocok dengan akal pikirannya, atau perasaannya (hawa nafsunya) saja, tapi jika bertentangan dengan apa yang dia pikir atau menyelisihi perasaan (hawa nafsunya), mudah saja dia tolak.
Maka orang-orang seperti ini apabila ada yang mengingatkan dirinya, bahwa beragama adalah harus kaffah (menyeluruh), maka ada saja jawaban mereka, seperti ‘Ah, beragama itu, kan hak asasi pribadi, mengapa kamu turut campur dengan urusan orang lain?’ atau ‘Berislam kok repot-repot?’ atau berbagai perkataan senada yang intinya beragama itu adalah menurut kehendaknya sendiri.
Sikap seperti di atas, menyebabkan kerusakan yang besar dalam agama. Seperti menghilangkan kesempurnaan Islam. Padahal, Islam tidak hanya mengatur kehidupan akhirat semata, tetapi juga meliputi kehidupan duniawi. Islam tidak hanya mengatur bagaimana cara orang beribadah, tetapi mengatur juga kehidupan sosial (bermasayarakat atau bernegara), dan juga kehidupan individu manusia. Islam tidak meninggalkan sedikitpun kehidupan manusia baik yang kecil (misal urusan masuk WC) tetapi juga meliputi urusan besar (seperti urusan kenegaraan).

Taslim
Sesungguhnya ALLAH memerintahkan kepada manusia untuk masuk ke dalam Islam secara Kaffah (menyeluruh). ALLAH berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Maksud keseluruhan itu adalah seluruh yang ALLAH dan Rasul-NYA perintahkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits yang shahih.
Terhadap seluruh yang ALLAH dan Rasul-NYA perintahkan itu maka kita harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tunduk dan patuh, tanpa ada rasa keberatan apalagi menolak. Sikap ini di sebut dengan Taslim.
Sungguh tanpa sikap taslim ini, maka keimanan seseorang itu belum benar. ALLAH berfirman, ”Maka demi TUHAN-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Kita harus menyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa apa yang datang dari ALLAH adalah yang terbaik, meskipun terkadang berat kita rasakan, atau tidak sesuai dengan selera kita. Karena ALLAH telah mengingatkan, ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; ALLAH mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
ALLAH mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Dalam setiap ketetapan-NYA, ada hikmah yang dalam. Hikmah yang boleh jadi kita tidak mengetahuinya.

Ittiba’
ALLAH berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ALLAH dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut ALLAH.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Selain sikap taslim, di dalam beragama kita juga harus meneladani Nabi SAW. Karena Beliau adalah utusan ALLAH; manusia yang paling tahu tentang maksud ALLAH yang tersurat dan tersirat dalam firman-firman-NYA.
Karenanya para ulama sepakat, jika ada ayat Al-Qur’an yang makna dan maksudnya telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW, maka tidak boleh ada seorangpun yang membantahnya. Semua mesti mengikuti petunjuk Beliau. Inilah hakikat ittiba’.
ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah aku, niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Imam Syafi’i berkata, “Aku beriman kepada ALLAH dan apa saja yang ada di dalam kitabullah sebagaimana dikehendaki oleh ALLAH. Dan aku beriman kepada Rasulullah SAW dan apa saja yang dari Rasulullah SAW sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW.”
Imam Ahmad berkata, “Kuamati mushhaf (Al-Qur’an) dan kudapati perintah untuk mentaati Rasulullah SAW ada di 33 tempat.” Kemudian beliau membaca, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)

Wahyu Versus Akal
Islam adalah agama taslim dan Ittiba’. Maksudnya menomorsatukan wahyu dan menomorduakan selainnya. Akal, pikiran, perasaan, insting dan logika siapa saja harus ditimbang dengan wahyu, dan bukan sebaliknya wahyu yang ditimbang dengan hal-hal tersebut.
Sungguh, ada banyak perkara yang tidak masuk akal, pikiran, dan perasaan yang mesti kita terima dan kita ikuti. Jika kita hanya mau menerima yang masuk akal saja, maka kita tidak akan memeluk agama Islam (Atheis), karena akal tidak dapat menerima adanya malaikat, azab kubur, qodho dan qodhar, dan sebagainya.
Oleh karena itulah, jika kita mengukur kebenaran hanya berdasar kepada perasaan, atau akal pikiran saja maka sungguh tidak akan pernah bisa kita mencapai hakikat kebenaran itu. ALLAH berfirman, ”Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az-Zukhruf: 20)