oleh Abu Ashim
[1]. Menghilangkan Rasa Kantuk saat khutbah jum’at dengan siwak
Ada pertanyaan yang sampai kepada Syaikh al-Utsaimin -rahimahullah- sebagai berikut: “Kapankan menggunakan siwak itu ditekankan? Apa hukum memakai siwak untuk menanti shalat ketika khutbah?”
Syaikh menjawab: “Ditekankan memakai siwak ketika bangun tidur, awal masuk rumah, ketika wudlu ketika berkumur, dan apabila bangun untuk melakukan shalat. Tidak mengapa bagi orang yang menanti shalat memakai siwak, akan tetapi dalam keadaan khutbah tidak boleh bersiwak, karena menyibukkannya, kecuali apabila ia mengantuk, maka dibolehkan bersiwak untuk menghilangkan rasa kantuknya”. (Fatawa Arkan al-Islam, hlm. 215, no. 133, Dar Tsurayya, Riyadh, cet. 1, 1421 H, dikumpulkan oleh Fahd bin Nashir as-Sulaiman)
[2]. “Mereka bersiwak bersama-sama, tentu akan memakan kita !”
Ada sebuah hikayat batil yang telah disebutkan oleh sebagian penceramah dan pemberi nasihat yang berkaitan dengan siwak. Berikut kisahnya:
Pada suatu hari para sahabat sedang dalam peperangan. Dan ternyata orang-orang kafir berhasil menangkap mereka. Maka mereka bertanya-tanya tentang sebabnya. Kemudian mereka mengingat-ingat sunnah Nabi apakah yang telah mereka tinggalkan? Kemudian mereka ingat tentang sunnahnya siwak.
Akhirnya mereka bersiwak. Dan musuhpun melihatnya. Kemudian mereka berlari terbirit-birit karena takut dari para sahabat. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka membersihkan gigi mereka –yaitu meruncingkannya– untuk memakan kita”. Demikianlah kisahnya.
Mengomentari kisah ini, asy-Syuqairi -rahimahullah- mengatakan: “Tidak ada asalnya. Bila engkau heran, maka yang lebih mengherankan lagi adalah kisah tersebut dibawakan oleh orang-orang yang berpura-pura mengetahui terhadap hikayat ini dan menyebarkannya kepada manusia di suatau perkumpulan dan pelajaran, padahal kisah tersebut batil”. (as-Sunan wa al-Mubtada’at, hlm. 29)
[3]. Meletakkan Siwak di telinga
Berikut ini adalah salah satu bentuk perhatian seorang sahabat terhadap siwak.
Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: Aku melihat Zaid1) duduk di masjid dengan siwak berada di telinganya, sebagaimana sebuah pena di telinga seorang penulis. Setiap kali berdiri untuk shalat ia bersiwak”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, no. 47 dan Syaikh al-Albani mengatakan: Shahih)
Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: Aku melihat Zaid1) duduk di masjid dengan siwak berada di telinganya, sebagaimana sebuah pena di telinga seorang penulis. Setiap kali berdiri untuk shalat ia bersiwak”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, no. 47 dan Syaikh al-Albani mengatakan: Shahih)
[4]. Sekitar seratus hadits tentang siwak
Ibnu Mulaqqin -rahimahullah- mengatakan: “Aku telah menyebutkan dalam kitab aslinya, di sana ada sekitar seratus hadits atau lebih semuanya berbicara tentang siwak dan hal-hal yang berkaitan dengannya”. (Khulashah al-Badr al-Munir, juz 1, hlm. 31, tahqiq Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi)
[5]. Jangan berlebihan Apabila bersiwak di masjid
Ada sebuah pertanyaan yang pernah sampai ke al-Lajnah ad-Da`imah: “Aku pernah mendengar seorang mengatakan bahwa bersiwak di dalam masjid tidak boleh. Apakah ini benar?”.
Lajnah menjawab: “… Wa ba’du. bersiwak adalah sunnah dan ditekankan setiap kali dibutuhkan. Dibolehkan melakukannya di dalam masjid dan diluar masjid. Hal itu karena tidak ada nash yang melarang hal tersebut dalam masjid padahal diperlukan untuk melakukannya. Selain itu juga berdasarkan keumuman hadits:
لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِ صَلاَةٍ
Sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu aku sudah memerintahkan mereka agar bersiwak setiap kali hendak shalat.
Meski demikian, tidak sepantasnya berlebih-lebihan dalam bersiwak yang dapat mengakibatkan muntah tatkala di dalam masjid. Sebab dikhawatirkan akan keluar muntah atau darah yang dapat mengotori masjid”. (Fatawa al-Lajnah jilid 5, hlm. 109)
[6]. Perbedaan Urutan bersiwak dengan urutan memberi minum
Apabila terdapat suatu urutan dalam bersiwak, -seperti bergantian dalam memakainya-, maka orang yang kita beri setelah kita selesai adalah orang yang lebih tua. Ini berbeda dengan urutan memberi minum, yaitu orang yang berada di sebelah kananlah yang berhak kita berikan minumannya, meskipun yang sebelah kirinya adalah orang tua. Dalilnya adalah:
كَانَ إِذَا اسْتَنَّ أَعْطَى السَّوَاكَ الأَكْبَرَ، وَإِذَا شَرِبَ أَعْطَى الَّذِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ
Dahulu beliau (yaitu Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-) apabila memakai siwak, maka beliau memberikan kepada orang yang paling tua, dan apabila minum, maka beliau memberikan kepada orang yang berada di sebelah kanan beliau. )Shahih al-Jami’, no. 4668, shahih)
[7]. Keharusan Bersiwak pada hari Raya Pekanan
Hari jum’at adalah hari raya ketiga yang dimiliki oleh kaum muslimin, setelah Idul Fithri dan Idul Adha. Pada hari raya pekanan ini Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- menjelaskan:
إِنَ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ، فَلْيَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ طِيْبٌ، فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang telah dijadikan oleh Allah untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang akan pergi shalat jum’at, maka hendaknya ia mandi, apabila ia memiliki minyak wangi maka hendaknya dia memakainya, dan wajib atas kalian bersiwak”. (Shahih al-Jami’, no. 2258)
------------
sumber:
Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 55, hal. 56-58