Jumat, 31 Oktober 2008

Qurban (Udhhiyah) 1

“Sesungguhnya KAMI telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena TUHAN-mu; dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 1-2)
Definisi

Imam Nawawi berkata, “Udhhiyah yang berarti penamaan untuk hewan yang disembelih pada hari nahar, memiliki empat bentuk bahasa; pertama udhhiyah, kedua idhhiyah dengan bentuk jamaknya adhhaahi, ketiga dhahiyyah dengan bentuk jamaknya dhahaayaa, dan keempat adhhaahatun dengan bentuk jamaknya adhi. Maka oleh karenanya dinamakan Yaumul Adhha.”
Yaitu sesuatu yang disembelih pada hari nahr, yang disebabkan hari raya sebagai cara mendekatkan diri kepada ALLAH.
Yaitu kambing yang disembelih pada waktu dhuha di hari Iedul Adhha.
Ahli Fikih menyatakan bahwa qurban adalah binatang piaraan yang disembelih pada hari-hari penyembelihan disebabkan datangnya hari raya Iedul Adhha, untuk mendekatkan diri kepada ALLAH.
Kemudian Udhhiyah dipakai dalam bahasa kita dengan istilah qurban yang artinya mendekatkan diri kepada ALLAH.
Hukum Udhhiyah
Para ulama telah berselisih pendapat tentang hukum udhhiyah, apakah hukumnya wajib atau sunnah? Kebanyakan ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Suwaid bin Ghoflah, Said bin Musayyib, Al-Qomah, berpendapat bahwa hukum udhhiyah adalah sunnah muakkadah.
Mereka menyandarkan pendapat mereka kepada hadits berikut: “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “Saya telah shalat iedul Adhha bersama Rasulullah SAW dan ketika selesai khutbah, Beliau turun dari mimbarnya, lalu didatangkan pada Beliau seekor domba dan Beliau pun menyembelihnya dengan tangannya, seraya berkata, “Bismillah, ALLAHU Akbar, ini dariku dan dari orang yang belum ber-udhhiyah dari umatku.” (HR. Turmudzi)
Dan dari Ali bin Al-Husain dari Rafi’: “Sesungguhnya Rasulullah SAW apabila datang hari udhhiyah, Beliau membeli dua ekor domba yang gemuk, bertanduk dan warnanya putih campur hitam.” (HR. Ahmad)
Sebagian ulama lain seperti Rabi’ah, Malik, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat hukum udhhiyah adalah wajib, berdasar firman ALLAH, “Maka dirikanlah shalat karena RABB-mu, dan berudhhiyahlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Kebanyakan ahli tafsir memaknai ayat tersebut yaitu perintah berudhhiyah (menyembelih hewan) setelah shalat Ied, sedangkan kata perintah menunjukkan hukum wajib.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk berudhhiyah, kemudian ia tidak berudhhiyah, maka sekali-kali jangan mendekati tempat shalatku.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dari perbedaan tersebut, Abdul Aziz Al-Muhammad As-Sulaiman lebih membenarkan pendapat kebanyakan para ulama. Ia berkata: “Yang rajih (kuat) menurut saya adalah pendapat kebanyakan ulama, bahwa berudhhiyah hukumnya adalah sunnah muakkadah atas orang yang mampu untuk berudhhiyah dari kaum muslimin, baik yang mukim (tinggal) maupun musafir, kecuali jama’ah haji yang ada di Mina.”
Imam Malik berkata, “Bahwa mereka (jama’ah haji) tidak wajib berudhhiyah.” Dan ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dan lainnya. Kecuali dia telah bernazar atau telah berjanji dengan berkata bahwa kambingnya itu akan dijadikan sebagai sembelihan di Hari Iedul Adhha, maka menjadi wajib baginya. Tapi bila hanya berniat saja setelah dia beli kambing, maka tidak wajib.

Waktu Berqurban
Waktu mulai dibolehkan berqurban adalah jika seseorang telah selesai melaksanakan shalat Iedul Adhha, hal ini berdasarkan sebuah hadits, "Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menyembelih qurbannya sebelum shalat Iedul Adhha, maka hendaklah dia mengulang lagi sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelihnya, hendaklah dia menyembelih dengan menyebut Bismillah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah hadits yang muttafaq ’alaih, tatkala Abu Burdah menyembelih kambingnya sebelum shalat Iedul Adhha, maka Rasulullah SAW mengatakan, “Kambingmu (yang engkau sembelih) adalah daging biasa (bukan daging qurban).” (HR. Bukhari-Muslim)
Sedangkan akhir waktu berqurban, maka menurut pendapat yang terkuat adalah sampai akhir hari tasyriq yaitu tanggal 13 Dzul Hijjah, hal ini dikuatkan oleh beberapa hal, diantaranya:
Rasulullah SAW bersabda, “Semua hari Tasyriq itu (waktu) menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi dishahihkan Al-Albani)
“Hari-hari Tasyriq adalah hari makan-makan dan minum-minum dan dzikir kepada ALLAH.”(HR. Muslim)
Jenis Hewan Qurban
Imam An-Nawawi menyebutkan perkataan Imam Abu Ishaq Asy-Syarazi, “Tidak sah udhhiyah itu, kecuali dari binatang ternak, yaitu, unta, sapi dan kambing.” Berdasarkan firman ALLAH, “Supaya mereka menyebut nama ALLAH terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan ALLAH kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)
Imam Nawawi juga berkata, “Sebagian ulama menyebutkan bahwa adanya ijma’ tentang tidak sahnya hewan udhhiyah, kecuali dari unta, sapi dan kambing. ”
Jadi hewan yang dijadikan sebagai hewan udhhiyah adalah unta yang termasuk di dalamnya al-Bakhathi (unta yang besar perutnya), sapi, dan kambing atau domba. Adapun selain itu, seperti kuda, kijang dan lainnya maka tidak termasuk binatang piaraan dan tidak sah qurbannya.

Syarat Binatang Qurban
Pertama, Umur hewan Udhhiyah. Disunnahkan menyembelih qurban yang telah mencapai umur yang ditetapkan oleh syariat. Berdasarkan hadits, “Janganlah kamu menyembelih qurban kecuali musinnah, kecuali kamu kesulitan, maka boleh kamu menyembelih domba jadha’ah.” (HR. Muslim)
Musinnah atau biasa disebut dengan istilah Tsaniyyah adalah setiap binatang piaraan (onta, sapi, kambing) yang telah gugur atau lepas salah satu gigi depannya yang berjumlah empat (dua di bagian atas dan dua di bagian bawah).
Adapun onta yang musinnah biasanya onta tersebut telah berumur 5 tahun sempurna, disebut sapi yang musinnah biasanya sapi tersebut telah berumur 2 tahun sempurna, dan disebut kambing musinnah biasanya kambing tersebut berumur 1 tahun sempurna. Sedangkan domba jadha’ah yaitu domba yang belum genap berumur 1 tahun.
  • Kedua, Kesehatan Hewan Qurban. Binatang yang diqurbankan tidak boleh cacat atau berpenyakit yang parah. Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi SAW, “Ada empat (yang harus dihindari), yaitu pincang yang benar-benar jelas pincangnya, buta sebelah yang jelas-jelas butanya, sakit yang jelas-jelas sakitnya, dan lemah atau kurus yang jelas-jelas lemah atau kurusnya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani)
    Hadits di atas menjelaskan beberapa hal yang harus dihindari dari binatang qurban, di antaranya:
    Pincang yang terlihat jelas pincangnya, yaitu bila berjalan tidak seimbang. Atau buntung salah satu kakinya atau lebih
  • Apabila sebelah matanya benar-benar buta, bukan sekedar juling atau buta kedua-duanya.
  • Apabila sakit dengan sakit yang benar-benar mempengaruhi keseimbangan badan binatang tersebut, sehingga dia tampak lemah disebabkan penyakit tersebut, seperti luka yang parah, kudis yang parah, atau penyakit lain yang menyebabkan binatang tersebut tidak mau makan dan badannya menjadi lemah.
  • Lemah atau kurus, biasa disebut kering tidak lagi bersumsum dan binatang yang lemah seperti ini penyebab dominannya adalah karena umurnya tua. Selain lemah, dagingnya juga sudah tidak enak lagi rasanya, dan biasanya binatang tersebut tidak sedap lagi dipandang. Karenanya Rasulullah SAW melarang berqurban dengan binatang seperti itu..... (Bersambung, Insya ALLAH)

Sumber: Ar-risalah No. 43 Agustus Tahun 2004
Al-Furqon Edisi 4 tahun 2007