Ditulis Oleh:
Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari
Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.
Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut konsep Islam, 'yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan orang-orang shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. [An-Nisaa : 58]
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat. Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali رضي الله عنهم maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.
Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).
Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:
[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.
[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.
[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.
MAKNA PEMUNGUTAN SUARA
Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar'i yaitu syura (musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk wasilah yang diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan umat.
[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14]. Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
[19]. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.
[20]. Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.
[22]. Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.
[23]. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
[24]. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.
[25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46.
[26]. Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.
[27]. Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.
[28]. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda: "Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita". [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]
[29]. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
[30]. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
[31]. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.
[34]. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.
[35]. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.
[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.
Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !
Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil tersebut ?!
Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:
Maka apakah patut bagi Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]
Pada saat bangsa ini sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya adalah dengan kembali kepada dien yang murni sebagaimana firman Allah
Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]
Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:
Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali ke dien kalian.
Kembali kepada dien yang murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??
Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye (jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi sibuk mengurusi urusan politik -padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta tidak lagi menuntut ilmu.
Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi' (realita)."
Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka- atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta'an
Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999, Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]
SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
[1]. Mereka mengatakan: Bahwa sistem demokrasi sesuai dengan Islam secara keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan syura (musyawarah) berdalil dengan firman Allah:
"Artinya :Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka". [Asy-Syuura : 38]
Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat.
Bantahan:
Tidak samar lagi batilnya ucapan yang menyamakan antara syura menurut Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan antara syura dan demokrasi !
Adapun yang membagi demokrasi ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih adalah pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya sendiri tidak dikenal dalam Islam.
"Artinya : Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk, (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm : 22-23]
[2]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara sudah ada pada awal-awal Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman رضي الله عنهم telah dipilih dan dibaiat. [Lihat kitab syari'atul intikhabat hal.15]
Bantahan:
Ucapan mereka itu tidak benar karena beberapa sebab:
[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan yang ditimbulkan oleh pemungutan suara seperti kebohongan, penipuan, kedustaan, pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya. Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun melakukan praktek-praktek seperti itu.
[b] Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi dan diketahui di dalam sejarah) telah bermufakat dan bermusyawarah tentang khalifah umat ini sepeninggal Rasul.
Dan setelah dialog yang panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang membawakan sebuah hadits yang berbunyi: "Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy." Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan seorang wanitapun di dalam musyawarah tersebut.
Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada musyawarah.
Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai anggota musyawarah untuk menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Keenam orang itu termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Adapun sangkaan sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf menyertakan wanita dalam musyawarah adalah tidak benar.
Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di dalamnya penyebutan musyawarah Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut, Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri (lihat Fathul Bari juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu Ashir dalam thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhkul Umam (4/431). Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif.
Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.
Kesimpulannya:
[a] Berdasarkan riwayat yang shahih Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan 5 orang yang ditunjuk Umar.
[b] Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga mengajak bertukar pendapat dengan sahabat lainnya.
[c] Adapun penyertaan wanita di dalam musyawarah adalah tidak benar sebab riwayatnya tidak ada asalnya.
[3] Mereka mengatakan: Ini adalah masalah ijtihadiyah'
Bantahan:
Apa yang dimaksud dengan masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan: yaitu masalah baru yang tidak dikenal di massa wahyu dan khulafaur rasyidin.
Maka jawabannya:
[a] Ucapan mereka ini menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada awal Islam.
[b] Memang benar pemungutan suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama menetapkan hukum setiap masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-kaedah umum. Dan untuk masalah pemungutan suara ini telah diketahui kerusakan-kerusakannya.
Jika dikatakan: yang kami maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti jawaban kami yang telah lalu.
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya: kami mengetahui keharamannya, tetapi kami memandang ikut serta di dalamnya untuk mewujudkan maslahat. Maka jawabannya: kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada buktinya semenjak munculnya pemikiran seperti ini. Di negara-negara Islam tidak pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan hanya kembali dua sepatu usang (gagal).
Sedang Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
Artinya : Seorang Mukmin tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih]
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan diperselisihkan di kalangan ulama serta bukan masalah ijma'.
Maka jawabannya:
[a] Coba tunjukkan perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar (dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja mereka tidak akan mendapatkannya.
[b] Yang dikenal di kalangan ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau masalah yang diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak memiliki alasan atau dalil yang jelas dan dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau hanya mencari masalah khilafiyah, maka tidak ada satu permasalahanpun melainkan di sana ada khilaf atau perbedaan pendapat. Akan tetapi banyak di antara pendapat-pendapat itu yang tidak mu'tabar.
[4]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara tersebut termasuk maslahat mursalah.
Bantahannya:
[a] Maslahat mursalah bukanlah sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya, baru bisa diamalkan.
[b] Menurut defisinya maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak ada nash tertentu padanya dan masuk ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum ditetapkan oleh syariat.
Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu proses ijtihad untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi umat, yang belum disebutkan syariat, dengan memperhatikan syarat-syaratnya.
Kembali kepada masalah pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat mursalah tersebut apakah sesuai dengan tujuan maslahat mursalah itu sendiri atau justru bertentangan. Tentu saja amat bertentangan; dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang cukup menjadi bukti bahwa antara keduanya amat jauh berbeda.
[5]. Mereka mengatakan: Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik.
Bantahannya adalah:
Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga haram.
Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan.
Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.
Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat: [a] Niat ikhlas dan [b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya bermodal keinginan [i'tikad baik saja]
[6]. Mereka mengatakan: Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam.
Bantahannya:
Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan daulah Islam ?
Sedangkan di awal perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau memang ucapan mereka "Kami akan menegakkan daulah Islam" hanyalah slogan kosong belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya pada diri mereka sendiri.
Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut.
[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan.
Bantahannya:
Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandengan tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-Qur'an: "Artinya : Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]
Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan: "Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah: 120]
Lalu mengapa mereka saling bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani? Apakah mereka menerapkan kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang disepakati dan saling toleransi pada perkara- perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka takut pada firman Allah "Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu ?)". [An-Nisaa: 144]
[8]. Mereka mengatakan: Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat.
Bantahannya:
Darurat menurut Ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa kesulitan bahaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan dan agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan perkara yang wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang dibolehkan syariat.
Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat?.
Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakan bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka berarti yang mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan untuk mencari maslahat, Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena sekedar mencari setitik maslahat.
[9]. Mereka mengatakan: Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara (berkhutbah).
Bantahannya:
Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan da'wah kepada jalan Allah hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata? Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar al-Giffari ketika Rasulullah صلی الله عليه وسلم berpesan kepadanya: "Artinya : Tetaplah kau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh. Maka aku khawatir jika seseorang telah menghadang Rasulullah صلی الله عليه وسلم, hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau: tetaplah engkau di tempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap di tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku telah mendengar suara gemuruh, sehingga aku khawatir terhadap beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata kepadaku: barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah) yang wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata, walaupun dia berzina dan mencuri". [Mutafaqun alaih]
Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming dari tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Namun apa gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak ! Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan Rasulullah : tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga aku datang!.
Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin menyelamatkan beliau صلی الله عليه وسلم.
Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah صلی الله عليه وسلم berupa ilmu tentang tauhid yang dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga. Seandainya beliau melanggar pesan Rasulullah صلی الله عليه وسلم maka belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!
Demikian pula dikatakan kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat -red).
Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah.
[10]. Mereka mengatakan: Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara untuk memilih kemudharatan yang paling ringan.
Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin mencari mudharat yang paling ringan demi mewujudkan maslahat yang lebih besar.
Bantahannya:
Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan kemudharatannya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya suatu perkara? Apakah timbangan akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran dan syirik produk Barat? Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya selain kekufuran dan syirik.
Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah "memilih kemudharatan yang paling ringan."
Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.
Jika jawabannya mereka mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:
[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mereka yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka.
[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih besar dari mafsadah (kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita adalah kebalikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti menjadi:
Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat.
[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut.
Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah mungkin manhaj Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam ishlah (perbaikan) divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita mengenal Islam, kecuali melalui beliau صلی الله عليه وسلم?
[11] Mereka mengatakan: Bahwa beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang disyariatkannya pemungutan suara (pemilu) ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka (para ulama) hizbi ?
Jawabannya tentu saja tidakl
Amat jauh para ulama itu dari sangkaan mereka, karena beberapa alasan:
[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita, serta pemimpin da'wah yang penuh berkah ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam. Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka. Kita berlindung kepada Allah semoga mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan sebaliknya, merekalah yang telah memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah. Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali, melalui nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan tentang hizbiyah.
[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa) sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan. Bisa saja seorang datang kepada ulama dan bertanya:
Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui pemungutan suara dengan tujuan untuk mengenyahkan orang-orang sosialis dan sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh kami memilih seorang yang shalih untuk melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah soalnya!
Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh, pemungutan suara itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini dan begini, dengan menyebutkan sisi negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun) mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:
"Artinya : Sesungguhnya kalian akan mengadukan pertengkaran di antara kalian padaku, barang kali sebagian kalian lebih pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang siapa yang telah aku putuskan baginya dengan merebut hak saudaranya, maka yang dia ambil itu hanyalah potongan dari api neraka; hendaknya dia ambil atau dia tinggalkan" [Mutafaqun alaih]
Rasulullah صلی الله عليه وسلم juga telah memerintahkan kepada para qadi untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu Thalib:
"Artinya : Wahai Ali jika menghadap kepada engkau dua orang yang bersengketa, janganlah engkau putuskan antara mereka berdua, hingga engkau mendengar dari salah satu pihak sebagaimana engkau mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika engkau melakukan demikian, akan jelas bagi engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits Riwayat Ahmad]
Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah diharamkannya perkara-perkara yang sebelumnya halal, disebabkan pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat Saad bin Abi Waqas رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya kejahatan seorang Muslim yang paling besar adalah bertanya tentang sebuah perkara yang belum diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]
Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan kemudharatan atas kaum Muslimin disebabkan pertanyaannya. Yaitu menghalangi mereka dari perkara-perkara halal sebelum pertanyaannya.
Hendaknya orang-orang yang melakukan tindakan berbahaya seperti ini bertaubat kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap orang-orang semacam itu.
[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini adalah haram disebabkan mafsadah yang ditimbulkannya. Apakah mereka akan mengundurkan diri dari kancah demokrasi dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat. Realita menunjukkan bahwa mereka hanya memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan untuk golongannya saja dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa ulama tidak menguntungkan golongan mereka, maka merekapun menghujatnya dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu a'lam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]