Minggu, 09 Oktober 2011

AGAMA ISLAM TEGAK DENGAN WAHYU

Oleh
Syaikh Hamd bin Ibrahim al-‘Utsman[1]


Musuh-musuh Islam selalu berusaha mengaitkan tersebarnya Islam dengan pedang. Syubhat (kerancuan) ini diwariskan oleh orang-orang Nashara sampai zaman ini. Hal ini tidak aneh bagi mereka, bahkan mereka telah mewariskan perkara-perkara yang lebih besar (kedustaannya) dari pada hal ini. Mereka mewariskan perkara-perkara yang bertentangan dengan fitrah, akal, dan kesepakatan seluruh syari’at/agama, seperti anggapan mereka bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu dari trinitas, bahwa al-Masih ‘Îsâ Alaihissalam disalib, dan bahwa beliau adalah anak Allah Azza wa Jalla. Maha Suci dan Maha Agung Allah Azza wa Jalla dari apa yang mereka ucapkan.


Agama Islam adalah syari’at Allah Azza wa Jalla yang Dia telah turunkan dengan ilmu-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Alqurân) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. [QS. al-A’râf/ 7: 52]


Jika agama Allah Azza wa Jalla ini telah dijelaskan atas dasar pengetahuan-Nya, maka hal itu pasti diterima oleh fithrah yang lurus. Adapun pedang, kita hanya mempergunakannya jika ada orang yang menghalangi kita dari menyampaikan agama Islam. Oleh karena itu, orang kafir kita perangi hanyalah karena penentangannya, bukan karena kekafirannya. kita tidak (boleh) pula membunuh para wanita, anak-anak, dan orang tua-orang tua (walaupun mereka kafir-red).

Mengenai lafadz hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bertekan (pada tongkat atau busur) saat khutbah Jum’ah, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata: “Tidak benar bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertekan dengan pedang. Banyak orang-orang bodoh menyangka bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertekan dengan pedang di atas mimbar sebagai isyarat bahwa Agama Islam hanya tegak dengan pedang. Ini merupakan kebodohan apabila ditinjau daridari dua sisi: Pertama: yang benar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertekan pada tongkat atau busur. Kedua: agama ini hanya tegak dengan wahyu, adapun dengan pedang, maka hanya untuk menghancurkan orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Dan kota Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tempat beliau berkhutbah di kota itu, sesunguhnya ditaklukkan dengan Alqur’ân, tidak ditaklukkan dengan pedang”. [Kitab Zâdul Ma’âd 1:190]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) menjelaskan bahwa anggapan agama Islam adalah agama yang tegak dengan pedang, bukan dengan ilmu, adalah anggapan orang-orang Nashara. Beliau rahimahullah berkata: “Sesungguhnya banyak orang dari Ahli Kitab menyangka bahwa (Nabi) Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya hanya menegakkan agama Islam dengan pedang, bukan dengan petunjuk, ilmu, dan ayat-ayat (mu’jizat-mu’jizat/ ayat-ayat Alqur’ân)”. Sehingga tiap kali umat Islam menantang hujjah dengan ilmu dan perdebatan, tidak ada jawaban bagi umat islam kecuali pedang". Inilah anggapan mereka yang dusta dan anggapan ini pula yang menjadi keyakinan mereka tentang rusaknya agama Islam ini, bahwa Islam bukan agama seorang Rasul dari sisi Allah Azza wa Jalla, tetapi agama seorang raja yang ditegakkan dengan pedang ”.[2]

Kemudian beliau rahimahullah membantah mereka: “Sesungguhnya termasuk perkara yang telah diketahui, bahwa pedang itu –apalagi pedang kaum muslimin dan ahli kitab- mengikuti ilmu dan hujjah (argumen). Sedangkan pedang orang-orang musyrik mengikuti pemikiran-pemikiran dan keyakinan mereka. (Menggunakan) pedang adalah termasuk jenis amalan, sedangkan amalan itu selamanya mengikuti ilmu dan pemikiran. Maka ketika itu, menjelaskan agama Islam dengan ilmu dan hujjah bahwa semua yang menyelisihi agama Islam merupakan kesesatan dan kebodohan, adalah untuk mengokohkan fondasi agama Islam, dan menjauhi fondasi agama-agama lainnya, di mana para pemeluk agama-agama selain Islam diperangi karena agama mereka tersebut”.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan: “Telah diketahui bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kemenangan agama Islam di atas seluruh agama lainnya, dengan kemenangan ilmu dan hujjah, serta kemenangan pedang dan tombak. Allah Azza wa Jalla berfirman: ” Dia-lah Azza wa Jalla yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci”. [QS. ash-Shaff/ 61:9]

Para ulama’ telah menjelaskan bahwa kemenangan agama Islam adalah dengan ilmu dan hujjah serta dengan pedang dan tombak, dan lafazh zhuhur (kemenangan) mencakup keduanya. Karena kemenangan al-Huda (petunjuk) adalah dengan ilmu dan keterangan, sedangkan kemenangan dien (agama) adalah dengan tangan dan amalan. Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dengan petunjuk dan agama yang haq, agar Dia memenangkannya di atas segala agama. Telah dimaklumi bahwa kemenangan Islam adalah dengan ilmu dan penjelasan; sebelum kemenangannya dengan tangan dan peperangan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di kota Makkah selama 13 tahun menampakkan (memenangkan) Islam dengan dengan ilmu, penjelasan, ayat-ayat, dan bukti-bukti nyata, tanpa pedang, sehingga Muhajirin dan Anshar beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sukarela dan keikhlasan. Ketika telah jelas bagi mereka ayat-ayat yang nyata, penjelasan-penjelasan, dan mu’jizat-mu’jizat Allah Azza wa Jalla, beliau pun menampakkan (memenangkan) agama ini dengan pedang. Sehingga, berjihad melawan orang-orang kafir dengan pedang, baik dengan memulai (ofensif) atau membela diri (defensif), hukumnya wajib atas kita. Menjelaskan Islam dan mendakwahkannya, baik dengan memulai atau membela diri dari orang-orang yang mencelanya, hukumnya juga wajib, bahkan (kewajibannya) lebih utama dan lebih baik”.[4]

SYARI’ATKAN JIHÂD DAN KEDUDUKANNYA[5]

Kewajiban jihâd dalam syari’at terdahulu berbeda dengan kewajiban jihâd dalam syari’at (Islam). Kita mendapati bahwa jihâd tidak disyari’atkan kepada sebagian Rasul; dan diwajibkan kepada sebagian yang lainnya untuk membela diri, kemudian kepada sebagian mereka diwajibkan jihad ibtidâ’ (offensif).

Dalam syari’at Islam, semua jenis jihad itu dikumpulkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya pernah diperintahkan menahan diri dari berperang, kemudian diperintahkan peperangan daf’ (membela diri), kemudian ketika kekuatan Islam sudah mapan, mereka diperintahkan perang ibtida’ (ofensif; menyerang orang-orang yang menghalangi syiar Islam). Perlu diketahui , bahwa jihad bukan merupakan rukun Islam dan jihad itu diperintahkan dengan syarat-syarat tertentu. Jihad merupakan puncak ketinggian ajaran Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya kaum muslimin dahulu, sebelum hijrah dan di awal-awal hijrah, dilarang memulai peperangan. Pada waktu itu membunuh orang kafir diharamkan dan hal itu termasuk membunuh jiwa tanpa haq. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : ” Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya”. [QS. An-Nisâ’/ 4:77]

Oleh karena itulah, ayat Alqur’ân yang pertama kali diturunkan tentang dibolehkannya berperang adalah firman Allah Azza wa Jalla : “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. [QS. al-Hajj/ 22:39]

Ini termasuk pengetahuan umum yang dimiliki oleh orang-orang yang mengetahui sîrah (riwayat) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak tersembunyi bagi seorangpun dari mereka, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu sebelum hijrah dan sebentar setelah hijrah, dilarang untuk memulai membunuh dan memerangi (orang kafir). Oleh karena itu ketika orang-orang Anshar yang telah membai’at beliau pada malam al-‘Aqabah, meminta izin untuk menyerang orang-orang yang berada di Mina, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Sesungguhnya aku belum diidzinkan berperang”. Karena pada waktu itu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada pada kedudukan Nabi-Nabi yang tidak diperintahkan perang, seperti Nûh, Hûd, Shâlih, Ibrâhîm, dan ‘Isa, bahkan seperti mayoritas Nabi-Nabi selain Nabi-Nabi Bani Israil”.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan: “Allah k telah mengutus seorang Nabi pada semua kaum, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan”.[QS. Fâthir/ 35:24]

Juga firman-Nya: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah Azza wa Jalla (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [QS. An-Nahl/ 16: 36]

Juga firman-Nya: “ …. Niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya…..". [QS. ali-‘Imrân/ 3: 81]

Pertolongan disertai keimanan kepada-Nya, itulah jihâd. Sedangkan Nûh, Hûd, dan para Rasul lainnya seperti mereka tidak diperintahkan ber- jihâd. Tetapi Mûsa dan Bani Isrâil diperintahkan jihâd”.[7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Seluruh umat, tidak setiap orang dari mereka diperintahkan melakukan semua perkara ma’rûf, dan tidak pula dilarang dari semua perkara mungkar, dan mereka tidak ber-jihâd atas hal ini. Adapun orang-orang yang ber-jihâd, seperti Bani Israil, maka kebanyakan jihad mereka adalah mengusir musuh dari bumi mereka, sebagaimana orang yang menyerang dan berbuat dzalim itu diperangi. Bukan untuk mendakwahi orang-orang yang diperangi, bukan pula untuk memerintahkan mereka perkara yang ma’rûf dan melarang mereka dari perkara yang mungkar. Sebagaimana Nabi Musa Alaihissalam berkata kepada kaumnya:

“ Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnya Kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti Kami akan memasukinya".[QS. al-Mâidah/ 5: 21-22]

Sampai firman Allah Azza wa Jalla : “Mereka berkata: "Hai Musa Alaihissalam, Kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya Kami hanya duduk menanti disini saja" [QS. al-Mâidah/ 5:24]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa Alaihissalam, Yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk Kami seorang raja supaya Kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah Azza wa Jalla". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". mereka menjawab: "Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah, Padahal Sesungguhnya Kami telah diusir dari kampung dan anak-anak kami”. [QS. al-Baqarah/ 2:246]

Maka mereka menyebutkan sebab perang, bahwa mereka telah diusir dari kampung-kampung dan anak-anak mereka. Walaupun demikian, mereka berpaling dari kewajiban yang telah diperintahkan kepada mereka. Oleh karena itu, ghanîmah tidak halal bagi mereka dan mereka tidak boleh menggauli budak-budak (wanita)”.[8]

Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla menghukum orang-orang Yahudi yang berpaling dari memerangi orang-orang yang zhalim dengan kebingungan selama 40 tahun. Dan hikmah hal itu agar mereka itu mati, lalu mereka diganti oleh generasi lain yang akan melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla, tidak dikuasai oleh sifat pengecut, takut dan berkeluh-kesah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak ada nabi yang menyandang pedang setelah Nabi Dâwud Alaihissalam kemudian umat menjadi tunduk kepadanya. serta tidak ada syari’at yang diiringi dengan kemuliaan, melainkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ

artinya:
"Aku ditolong dengan kegentaran musuh sejauh perjalanan satu bulan”. [HR.Bukhâri 335; dan Muslim 521]

Dalam menjelaskan hikmah Allah Azza wa Jalla yang mengharamkan masuknya Bani Israil yang berpaling (dari perintah jihâd) dari kota ‘Amaliqah selama 40 tahun dan menimpakan kebingungan kepada mereka, Al-‘Allâmah Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Kemungkinan hikmah di dalam masa ini, adalah agar mayoritas orang-orang yang mengucapkan kalimat tersebut mati, karena kalimat itu muncul dari hati yang tidak memiliki kesabaran dan keteguhan. Bahkan hati mereka telah terbiasa dengan perbudakan kepada musuh mereka, sehingga tidak memiliki semangat untuk menaikkan derajat menuju keketinggian. Dan agar supaya lahir generasi baru yang terbina akal mereka untuk melawan kekuasaan musuh dan tidak diperbudak, serta tidak memiliki kehinaan yang menghalangi dari kebahagiaan”.[9]

Perlu dicatat bahwa jihâd tidak disebutkan di dalam hadits-hadits tentang rukun Islam, rukun iman, dan fondasi-fondasinya.

Al-Hâfizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata: Jihad tidak disebutkan di dalam hadits Ibnu Umar ini[10], padahal jihad merupakan amal yang paling utama. Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa dikatakan kepada Ibnu Umar: “Bagaimana jihad itu ?” Beliau menjawab: “Jihad itu baik, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakannya kepada kami”. (HR.Ahmad). Dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda): “Pokok agama ini adalah Islam (syahâdatain-pent), tiangnya adalah shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihâd”. Puncak ketinggiannya adalah sesuatu yang paling tinggi, tetapi tidak termasuk tiang-tiangnya dimana agama dibangun di atasnya. Hal ini karena dua sisi:

Pertama: bahwa jihad menurut mayoritas ulama’ jihad hukumnya fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain, berbeda dengan rukun-rukun Islam ini.

Kedua: bahwa jihad tidak terus menerus dilakukan sampai akhir masa, bahkan jika Nabi ‘Îsa Alaihissalam telah turun, dan waktu itu agama tidak tersisa kecuali agama Islam, maka pada waktu itu peperangan berakhir dan jihad tidak dibutuhkan. Berbeda dengan rukun-rukun Islam ini, semuanya wajib bagi kaum mukminin sampai datang perintah Allah k sedangkan mereka (kelompok yang ditolong oleh Allah Azza wa Jalla ) tetap berada di atasnya [11]. Wallâhu a’lam”.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_________
Footnotes
[1]. Diterjemahkan oleh Abû Ismâ’îl Muslim al-Atsari dari kitab al-Jihâd Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu ( hlm 25-27), taqdîm syaikh Shâlih bin Sa’d as-Suhaimi, penerbit. ad-Dârul Atsariyyah, cet. 1, th. 1428 H / 2007 M

[2]. Al-Jawâbus Shahih liman Baddala Dinal Masîh (1/77)

[3]. Al-Jawâbus Shahih liman Baddala Dinal Masîh (1/77)

[4]. Al-Jawâbus Shahîh liman Baddala Dînal Masîh (1/75)

[5]. Kitab al-Jihâd Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (21-24)

[6]. Ash-Shârimul Maslûl (103)

[7]. Ar-Radd ‘alal Manthiqiyyiin (453)

[8]. Majmû’ Fatâwâ (28/123)

[9]. Taisîr al-Karîmir Rahmân (207)

[10]. Yang beliau maksudkan adalah hadîts Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma yang berkata: “Aku mendengar rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima tiang: syahâdat lâ ilâha illa Allâh wa anna Muhammad Rasûlullâh, menegakkan shalat, membayar zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan”. (HR.Bukhâri dan Muslim)
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (1/152)

http://almanhaj.or.id