Sabtu, 29 Oktober 2011

Apakah Allah Membutuhkan Perantara?

Oleh : Ari Wahyudi

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan” (QS. Al-Mu’min : 60). Setiap hamba pasti membutuhkan sesuatu yang menopang kehidupannya, sehingga dia akan berusaha untuk meraihnya. Ketika mereka tertimpa bencana, mereka pun bersimpuh dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dilepaskan dari marabahaya. Namun sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin justru terjerumus ke dalam praktek-praktek kesyirikan tanpa mereka sadari karena berdo’a untuk menggapai keinginan mereka itu.

Niat Baik Kaum Musyrikin

Dalam berdoa kepada Allah, kita tidak perlu melalui perantara, karena hal itu termasuk perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka (kaum musyrikin) beribadah kepada selain Allah sesuatu yang tidak sanggup mendatangkan madharat dan manfaat untuk mereka. Dan mereka beralasan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah’” (QS. Yunus : 18). Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong mengatakan, ‘Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka, melainkan hanya supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’ ” (QS. Az-Zumar : 3).

Dalam dua ayat ini Allah menjelaskan kepada kita tentang alasan yang diajukan oleh kaum musyrikin untuk mendukung kesyirikan mereka. Mereka berkata bahwa mereka memiliki niat yang baik. Mereka hanya ingin menjadikan orang-orang shalih yang sudah meninggal sebagai perantara doa mereka kepada Allah. Mereka menganggap bahwa diri mereka penuh dengan dosa, sehingga tidak pantas untuk langsung berdoa kepada Allah. Sedangkan orang-orang shalih memiliki keutamaan di sisi Allah. Mereka ingin agar semakin dekat dengan Allah dengan perantaraan orang-orang shalih itu. Tidak ada yang mencela niat baik ini. Akan tetapi, lihatlah cara yang mereka tempuh. Mereka meminta syafaat kepada orang-orang yang sudah meninggal. Padahal Allah Ta’ala sudah menegaskan yang artinya, “Katakanlah, ‘Semua syafaat itu pada hakikatnya adalah milik Allah’ “ (QS. Az-Zumar : 44). Dan meminta kepada orang yang sudah meninggal adalah termasuk perbuatan syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Oleh karena itu, niat baik kaum musyrikin ini tidak bermanfaat sama sekali karena cara yang mereka tempuh adalah kesyirikan, perbuatan yang merupakan penghinaan kepada Allah Ta’ala.

Kami ‘kan bukan orang musyrik”

Kalau ayat-ayat di atas kita sampaikan kepada para penyembah kubur para wali pada masa kini, tentulah mereka akan mengingkari sikap kita dengan keras. Bisa jadi mereka akan mengatakan, “Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang musyrik yang memuja patung. Sedangkan kami ini bukanlah pemuja patung. Kami sekedar menjadikan orang-orang shalih yang sudah wafat itu sebagai perantara. Lantas bagaimana kalian ini kok menilai orang shalih sama halnya dengan patung?!” Maka seorang muslim yang benar-benar memahami tauhid tentu akan bisa menanggulangi syubhat (kerancuan pemahaman) mereka ini.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Allah telah menceritakan bahwa kaum musyrikin itu sendiri ternyata memiliki sesembahan yang beraneka ragam, tidak hanya patung. Ada juga di antara mereka yang menyembah wali, orang-orang shalih, bahkan para malaikat. Meskipun demikian, Allah tetap menyamakan hukum atas mereka dan tidak membeda-bedakannya. Maksudnya, mereka sama-sama kafir. Allah berfirman yang artinya, “Pada hari mereka semua dikumpulkan, kemudian para malaikat ditanya, ‘Apakah semasa hidup di dunia mereka beribadah kepada kalian? ‘Malaikat menjawab, ‘Maha Suci Engkau, Engkau lah penolong kami. Sebenarnya mereka itu telah beribadah kepada jin. Kebanyakan mereka beriman kepada jin.’ ” (QS. Saba’: 40-41). Ayat ini menunjukkan bahwasannya di antara kaum musyrikin itu ada yang menyembah malaikat. Akan tetapi, para malaikat berlepas diri dari perbuatan mereka itu pada hari kiamat. Para malaikat mengatakan bahwa mereka tidak memerintahkan kaum musyrikin untuk melakukan hal itu, dan mereka pun tidak senang terhadapnya. Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa para malaikat itu adalah termasuk makhluk yang paling shalih. Demikian pula halnya dengan peribadatan yang ditujukan kepada para Nabi dan para wali, semuanya tetap disebut sebagai kesyirikan. Karena ibadah adalah hak Allah semata, tidak boleh dibagi-bagi kepada selain-Nya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah, namun diiringi dengan beribadah kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik dan keluar dari Islam (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan).

Apakah Kalian Mengingkari Syafaat ?

Dengan keterangan di atas, mungkin ada orang yang bertanya kepada kita, “Apakah kalian mengingkari syafaat? Yang saya lakukan ini bukanlah meminta kepada selain Allah. Akan tetapi saya hanya mencari syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah pada hari kiamat nanti beliau akan memberikan syafaat ?!” Maka kita jawab pertanyaan mereka bahwa kita sama sekali tidak mengingkari syafaat. Syafaat Nabi itu benar adanya. Akan tetapi, syafaat itu tidak boleh diminta kepada Nabi yang telah wafat. Syafaat itu hanya boleh diminta kepada Allah, karena syafaat itu memang hak-Nya. Allah Ta’ala menegaskan yang artinya, “Katakanlah, ‘Semua syafaat itu pada hakikatnya adalah milik Allah’ “ (QS. Az-Zumar : 44). Nabi tidaklah menguasai pemberian syafaat. Dan syafaat juga tidak bisa memberikan manfaat untuk setiap orang. Syafaat hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang bertauhid. Terdapat dua syarat agar syafaat diterima. Pertama, diminta kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Kedua, orang yang diberi syafaat termasuk orang yang bertauhid (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan).

Tawassul, yang Terlarang dan yang Dibolehkan

Tawassul atau mengambil perantara dalam beribadah kepada Allah dalam bentuk berdoa kepada orang yang sudah meninggal atau tidak hadir adalah bentuk kesyirikan. Namun, ada pula tawassul yang diperbolehkan, yaitu: (1) Menyebut nama-nama atau sifat-sifat Allah pada permulaan berdoa (dengan menyesuaikannya dengan permintaan yang dimohon, -ed) seperti mengatakan,”Yaa Ghafuur, ighfirlii” (“Wahai Yang Maha pengampun, ampunilah hamba”); (2) Meminta kepada orang shalih yang masih hidup dan bisa memahami permintaan agar mendoaakan kebaikan baginya, sebagaimana Khalifah Umar yang meminta tolong paman Nabi Al-’Abbas untuk berdo’a bagi kaum muslimin; (3) Menyebutkan amal shalih yang pernah dilakukannya sebagaimana kisah 3 orang yang terperangkap di dalam gua.

Faedah

Nah, dengan pemaparan yang amat ringkas ini kita dapat memahami bahwa sebenarnya aqidah Islam yang diwariskan oleh Rasul dan para sahabat adalah aqidah yang sangat mulia. Islam menghendaki agar kita hanya bergantung kepada Allah Ta’ala. Islam menghendaki agar kita memahami hakikat sesuatu sebelum mengikuti ataupun menolaknya. Islam menghendaki agar kita berpikir dan tidak terjebak dalam kebekuan berpikir (kejumudan). Allah tidak membutuhkan siapa pun sebagai perantara (wasilah) dalam hal ibadah. Di sisi lain, Allah juga mengangkat Rasul sebagai perantara (wasilah) untuk menyampaikan tata cara beribadah yang benar kepada-Nya. Barangsiapa yang mengingkari wasilah yang pertama, maka dia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang mengingkari wasilah yang kedua, maka dia kafir. Wallahu a’lam bish-shawaab. [Ari Wahyudi]

Jumat, 28 Oktober 2011

MENGGAPAI JANNATULLAH DENGAN TAUBAT

Sudah menjadi perkara yang maklum, bahwa tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang sempurna. Manusia adalah tempat salah dan dosa. Lupa dan khilaf sudah menjadi sesuatu yang lumrah yang akan menimpa setiap insan. Selamat dari dosa dan kesalahan tidak dapat dimiliki kecuali oleh para Nabi ‘alaihimussalam. Kalau kita mau menghitung, sudah berapa banyak dosa-dosa dan kesalahan yang kita lakukan hari ini, belum lagi hari kemarin, lusa, dan seterusnya. Bukan tidak mungkin kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa-dosa besar yang tanpa kita sadari pula. Semoga Allah melindungi kita. Demikianlah keadaan manusia, Allah banyak menyebutkan di dalam Al Qur’an tentang keadaan manusia yang serba kurang. Diantaranya firman Allah,

Manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa’: 28)

“Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34)

Demikian pula Rasulullah menegaskan tentang kelemahan dan kekurangan anak cucu Adam u ini. Dari sahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda,

“Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan “Dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.” (HR. Ibnu Majah)

Tidaklah Nabi mengatakan sebaik-baik manusia adalah yang tidak pernah bersalah, karena memang tidak ada seorang manusia pun yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali para Nabi. Tetapi Rasulullah menegaskan bahwa orang-orang yang bertaubat dan mengakui kesalahan, serta kembali kepada kebenaranlah yang terbaik di antara mereka. Oleh karena itu, bila kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kesalahan, maka segeralah bertaubat kepada Rabbul ‘alamin. Allah berfirman,

“Bersegeralah menuju kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada al jannah (surga) yang seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran: 133)

Anjuran untuk Bertaubat

Taubat, tidaklah sebatas usaha seorang hamba untuk memohon ampunan dari Allah, namun taubat ini sekaligus termasuk ibadah agung nan mulia di sisi-Nya. Karena perbuatan taubat itu merupakan perintah dari Allah. Sebagaimana Allah berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,…” (QS. At Tahrim: 8)

Taubat juga merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Karena Allah sangat gembira melihat hamba-Nya yang tiap kali terjatuh dalam dosa dan kesalahan ia segera bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Sebagaimana sabda Nabi,

“Sesungguhnya Allah sangat gembira terhadap taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang di antara kalian yang kehilangan untanya di padang pasir kemudian menemukannya kembali.” (HR. Muslim)

Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah mengatakan,

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada siang hari, dan Allah membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada malam hari, sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim)

Rasulullah sebagai sang uswah hasanah (tauladan terbaik bagi umat Islam) tidak pernah meninggalkan amalan mulia ini, walaupun beliau seorang yang ma’shum. Beliau menyatakan:

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan beristighfarlah kepada-Nya, sesunggunya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim)

‘Aisyah mengatakan, “Dahulu Rasulullah sebelum meninggal banyak mengucapkan:

“Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Nya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Demikian pula para nabi sebelumnya, walaupun mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah mereka pun bertaubat dan mengajak umatnya pula untuk segera bertaubat. Seperti Nabi Adam dan Hawa, keduanya berdo’a (artinya):

“Wahai Rabb-kami, kami adalah orang-orang yang berbuat zhalim pada diri-diri kami, kalau sekiranya Engkau tidak mengampuni (dosa-dosa) dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka.” (QS. Al A’raf: 23)

Nabi Ibrahim juga berdo’a,

“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 128)

Nabi Hud mengajak kepada umatnya,

“Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya. niscaya Dia menurunkan hujan yang lebat bagi kalian, dan Dia menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian, dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (QS. Hud: 52)

Nabi Shalih juga mengajak umatnya,

“Maka mohonlah ampun kepada Allah, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan (do’a hamba-Nya).” (Hud: 90)

Larangan Putus Asa Dari Rahmat Allah

Wahai saudaraku ketahuilah, sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas sekali. Allah berfirman,

“Sesungguhnya rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.” (QS. Al A’raf: 156)

Sehingga tidak sepantasnya bagi seorang hamba untuk berputus asa dari rahmat Allah yaitu berupa maghfirah (ampunan) dari-Nya, walaupun dia merasa telah terjatuh dalam sekian banyak dosa dan kesalahan. Siapa yang berputus asa dari rahmat Allah, berarti ia telah menyempitkan rahmat Allah. Padahal rahmat Allah itu amat luas, dan Allah akan mengampuni semua dosa hambanya, bila ia mau bertaubat kepada-Nya. Mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah,

“Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku, yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Az Zumar: 53)

Al Imam Muslim di dalam kitabnya Shahih Muslim meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri, sesungguhnya Rasululah pernah menceritakan tentang kisah seorang laki-laki di zaman dahulu (sebelum diutusnya beliau), yang telah membunuh 99 jiwa manusia dan ingin bertaubat. kemudian orang itu bertanya kepada seorang ahli ibadah, apakah taubatku bisa diterima? Ternyata ahli ibadah itu menjawab: Tidak mungkin diterima. Kemudian dibunuhlah ahli ibadah itu sehingga genaplah 100 jiwa manusia yang telah ia bunuh. Kemudian dia datang kepada seorang ulama’, apakah bisa diterima taubatku? Seorang ulama’ tersebut menjawab: Ya, (tentu taubatmu masih bisa diterima). Pada akhir kisahnya, Allah pun mencabut nyawa orang tersebut dalam keadaan diterima taubatnya. Sehingga maha benar firman Allah I, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Qudsi, Allah berfirman, “Sungguh rahmat-Ku telah mendahului kemurkaan-Ku.” (HR. Muslim)

Dan sungguh benar pula berita dari sabda Rasulullah,

“Kalau sekiranya kalian mempunyai dosa atau kesalahan sampai memenuhi langit kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.” (H.R. Ibnu Majah)

Hakekat Taubat

Taubat itu tidaklah sekedar diucapkan secara lisan saja tanpa disertai hati yang tulus penu penyesalan dan tanpa upaya untuk beri’tikad baik. Karena taubat itu akan diterima oleh Allah bila telah memenuhi syarat-syaratnya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi rahimahumullah dalam kitabnya Riyadhush Shalihin:

“Para ulama mengatakan: Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib, jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia, maka syaratnya ada tiga:

Petama; hendaknya dia menjauhi maksiat tersebut,

kedua; hendaknya dia menyesali perbuatan tersebut,

ketiga; hendaknya dia bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut selama-lamanya. Jika hilang salah satu syarat-syarat tersebut di atas, maka tidak sah taubatnya. Jika maksiat tadi berkaitan dengan manusia, maka syaratnya ada empat. Yaitu ketiga syarat di atas dan ditambah yang

keempat; hendaknya dia membebaskan diri (mengembalikan) hak orang tersebut. Jika berupa harta atau sejenisnya, maka dia harus mengembalikannya ….”

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menambahkan syarat berikutnya, yakni hendaknya taubat itu dilakukan pada waktu-waktu masih diterimanya taubat. Yaitu selama nyawa masih belum sampai di kerongkongan (sakratul maut) dan selama matahari belum terbit dari barat (menjelang hari kiamat). Allah berfirman,

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang melakukan kejelekan yang hingga apabila datang ajal kepada salah seorang di antara mereka, ia mengatakan: Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.” (QS. An Nisa’ : 18)

Rasulullah bersabda,

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai kerongkongan.” (HR. At Tirmidzi )

Dan sabdanya:

“Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya.”(HR. Muslim)

Wahai saudaraku, sebenarnya hakekat taubat itu dapat mendorong orang yang bertaubat untuk memulai dan memperbanyak amalan-amalan shalih. Oleh karena itulah, Allah banyak menggandengkan taubat dengan amal shalih di dalam Al Qur’an. Diantaranya firman Allah,

“Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amalan shalih, maka sesungguhnya dia itulah yang bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al Furqan: 71)

Keutamaan Taubat

Sesungguhnya Allah telah menjanjikan keutamaan yang sangat besar kepada siapa saja dari hamba-Nya yang mau bertaubat dan kembali kepada kebenaran, di antaranya:

· Penghapus dosa dan diganti dengan kebaikan

Allah U berfirman (artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Maka pasti Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahanmu.” (QS. At Tahrim: 8)

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amalan yang shalih, maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan: 70)

· Mendapat keberuntungan di dunia dan akhirat

Sebagaimana firman Allah U (artinya): “Bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (QS. An Nur: 31)

· Mendapat kecintaan dari Allah U

Allah U telah menegaskan dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)

· Diturunkannya rizki dan barakah

Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah,“Dan hendaknya kalian memohon ampunan dari Rabb kalian dan bertaubatlah kepada-Nya. Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (memperoleh balasan) keutamaannya.” (QS. Hud: 3)

· Penghalang dari adzab Allah U

Allah berfirman,

“Dan tidaklah Allah mengadzab mereka, sedang mereka terus beristighfar (memohon ampun).” (QS. Al Anfal: 33)

Sebaliknya, Allah mengancam bagi siapa yang enggan untuk bertaubat kepada-Nya, dengan firman-Nya,

“Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. At Taubah: 74)

Sumber:

http://www.buletin-alilmu.com

Menuju Cinta Hakiki

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain

Mencermati perjalanan kata “cinta” di tengah manusia adalah suatu hal yang mengherankan bagi penuntut kehidupan kekal abadi, pengelana ke negeri akhirat. Dalam kehidupan ini, banyak insan rela untuk berkorban bagi siapa yang dia cintai, tidak peduli dengan rintangan yang harus dihadapi guna membuat yang dia cintai tenang dan bahagia. Betapa dia memberikan perhatian kepada kecintaannya dan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya. Terasa hatinya gundah-gulana tatkala yang dicintainya dirundung duka dan kesedihan. Atau amatlah besar kepedihan hati dan kesengsaraan tatkala dia mendapatkan dari yang dia cintai ada yang selain dari apa yang dia harapkan.

Memang merupakan tabiat manusia untuk mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya, atau paling tidak membalas budi kepadanya, dan ini adalah dasar pokok tumbuhnya cinta pada sebagian manusia kepada sebahagian lainnya. Namun, bukankah segala nikmat dan kebaikan yang dia dapatkan dari orang yang dicintainya adalah berasal dari Allah?

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kalian ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kalian meminta pertolongan.” [An-Nahl: 53]

Adakah suatu nikmat yang dia berikan kepada orang yang dia cintai tidak berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, sedang dia mengetahui bahwa hanya milik Allah-lah segala yang di langit dan di bumi?

Inilah letak keheranan sekaligus renungan pelajaran dalam samudra kehidupan yang penuh dengan cobaan dan godaan ini.

Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa tiada kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih besar dari kecintaan kepada Allah. Itulah surga dunia dan kenikmatan hakiki.

Kecintaan kepada Allah adalah kenikmatan jiwa, kehidupan ruh, kegembiraan diri, energi hati, cahaya akal, penyejuk mata dan kemakmuran batin. Tiada hal yang lebih nikmat dan lebih sejuk bagi hati yang sehat, jiwa yang baik, dan akal yang jernih dari kecintaan kepada Allah, rindu untuk beribadah kepada-Nya dan berjumpa dengan-Nya.

Kecintaan kepada Allah ialah ruh kehidupan, siapa yang luput darinya maka tergolong ke dalam bangkai-bangkai yang berjalan. Ia adalah cahaya, siapa yang tidak berbekal dengannya maka dia akan berada dalam lautan kegelapan. Ia adalah penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya akan terjangkit oleh seluruh penyakit. Dan ia adalah kelezatan, siapa yang tidak menemukannya maka hidupnya hanya sekedar gundah gulana dan kepedihan.

Kecintaan kepada Allah inilah yang mengantarkan hamba kepada negeri yang hanya dapat dicapai setelah menjalani berbagai rintangan dan kesulitan. Dan dengan cinta inilah, seorang hamba meraih kedudukan dan derajat yang didambakan oleh setiap hamba yang shalih.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Artinya:

“Ada tiga perkara, yang barangsiapa perkara-perkara tersebut terdapat padanya, maka dia akan merasakan kelezatan iman, (yaitu) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, hendaknya dia cinta kepada seseorang, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah dan hendaknya dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”

Membahas masalah kecintaan kepada Allah adalah menyibak samudra yang sangat luas. Namun cukuplah di sini kita mengisyaratkan akan tiga hal.

Kecintaan kepada Allah adalah pondasi ibadah.

Berkata Ibnu Taimiyah, “Kecintaan kepada Allah, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk kewajiban yang paling agung, dasarnya yang paling besar dan pondasinya yang mulia. Bahkan dia adalah dasar setiap amalan, dari berbagai amalan keimanan dan agama.”

Ibnul Qayyim bertutur pula, “Pondasi ibadah adalah cinta kepada Allah. Bahkan mengesakan Allah adalah dengan kecintaan itu, di mana segala cinta hanya untuk Allah. Tidak boleh selain Allah dicintai bersama Allah. Akan tetapi kecintaannya hendaknya karena Allah dan pada Allah, sebagaimana dia mencintai para nabi dan rasul, para malaikat dan para wali. Kecintaannya kepada mereka adalah dari kesempurnaan kecintaannya kepada Allah dan bukan cinta kepada mereka bersama Allah.”

Maksudnya bahwa segala cinta itu hanya untuk Allah. Bila seorang hamba memberi cinta kepada makhluk, maka kecintaan tersebut juga karena Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya, sebagaimana seorang mukmin cinta kepada para nabi, para malaikat, kaum mukminin dan selainnya. Adapun siapa saja yang mencintai makhluk dengan cinta ibadah, atau di samping cinta kepada Allah dia juga mencintai makhluk maka hal tersebut tergolong perbuatan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari keislaman, sebagaimana dalam firman Allah,

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]

Tanda-tanda Cinta kepada Allah

Berikut ini beberapa ayat yang menjelaskan tanda-tanda kecintaan kepada Allah.

Di antaranya adalah firman Allah,

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Âli ‘Imrân: 31]

Ayat ini menjelaskan bahwa tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wa sallam dalam segala tuntunan dan syariat yang beliau bawa, secara zhahir maupun bathin.

Selanjutnya, firman Allah Ta’âlâ,

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al-Mâ`idah: 54]

Dalam ayat ini terdapat empat tanda kecintaan hamba kepada Allah:

Pertama, dia berlemah lembut kepada sesama mukmin.

Kedua, dia bersikap keras dan benci kepada orang-orang kafir.

Ketiga, dia berjihad di jalan Allah dengan segala kemampuannya, baik dengan harta, lisan, badan maupun hatinya.

Keempat, dia tidak takut terhadap celaan manusia dalam menjalankan perintah-perintah Allah ‘Azza wa Jalla.

Selain itu, dari tanda kecintaan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla adalah mendahulukan Allah dan Rasul-Nya di atas segala perkara. Allah Jalla Sya’nuhu berfirman,

“Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat-tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya,” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]

Dari tanda kecintaan hamba kepada Allah adalah benci kepada apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sebab-sebab Penumbuh Cinta kepada Allah

Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan sepuluh sebab yang akan menumbuhkan dan menambah rasa cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Berikut sepuluh sebab tersebut.

1. Membaca Al-Qur`ân dengan tadabbur dan memahami maknanya.

2. Memperbanyak ibadah nafilah (sunnah) setelah menunaikan ibadah-ibadah wajib.

3. Memperbanyak dzikir kepada Allah dalam segala keadaan.

4. Lebih mendahulukan pelaksanaan dari apa yang dicintai oleh Allah, walaupun hal tersebut menyelishi hawa nafsunya.

5. Membawa hati untuk mencermati nama-nama dan sifat-sifat Allah dan menelusuri taman-tamannya.

6. Menyaksikan kebaikan, kebajikan dan nikmat-nikmat Allah kepada makhluk-Nya.

7. Menundukkan diri di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âla.

8. Berkhalwat dan bermunajad kepada-Nya di waktu malam, terkhusus pada sepertiga malam terakhir.

9. Duduk dengan orang-orang shalih.

10. Menghindari segala sebab yang bisa memisahkan antara hatinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla.

Tentunya sepuluh sebab di atas bersumber dan dari berbagai keterangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang senantiasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan beramal dengan ketaatan. Wallâhu Ta’âla A’lam.


sumber:

http://almadinah.or.id/368-menuju-cinta-hakiki.html