Sabtu, 02 Agustus 2008

BILA AJAL TIBA

Perbanyaklah mengingat penghancur segala kelezatan, yakni kematian (HR. Tirmidzi)

Betapapun bencinya manusia dengan kematian, tak satupun yang sanggup mengelak darinya. Kematian laksana pintu yang setiap orang akan memasukinya, namun sesudah itu, sebagian masuk jannah dan sebagian masuk neraka.

Kebencian seseorang terhadap kematian terkadang ditunjukkan dengan membuang jauh-jauh bayangan kematian. Hidup bersenang-senang dan melampiaskan keinginan. Hingga ketika ajal datang, dia tak mampu menghindar. Sedang ia datang tanpa pesan, tidak pula memberikan peringatan, datang secara dadakan betapapun tak diharapkan.

Kenyataan bahwa sebab kematian begitu mudah, seringkali tak menggugah kesadaran bagi orang yang sedang mabuk kepayang terhadap hiasan dunia. Kita menyaksikan dan mendengar sebab kematian orang-orang, ada yang mati di usia muda, ada yang mati di saat sedang tidur, terpeleset atau bahkan ketika sedang makan. Begitu dekatnya ajal menjelang. Benarlah yang dikatakan Abu Bakar Ash-Shidiq, ”Ajal lebih dekat dengan seseorang daripada tali sendalnya.”


FAIDAH MENGINGAT MATI

Ad-Daqaaq berkata, ”Barangsiapa yang memperbanyak mengingat mati akan dimuliakan dengan tiga perkara, yakni segera bertaubat, qana’ah-nya hati, dan rajin dalam beribadah. Sedangkan barangsiapa yang melalaikan kematian niscaya akan ditimpa musibah, yakni menunda taubat, tidak puas dengan apa yang telah didapat dan malas dalam beribadah.”

Ketika seseorang menyadari bahwa kematian akan menjemputnya, niscaya ia akan mengingat pula persiapan untuk menghadapinya, dia akan segera ingat dossa-dosa yang nantinya akan dimintai tanggung jawabnya. Hal ini mendorongnya untuk segera bertaubat. Ia juga akan berlaku qana’ah, tidak ’kemaruk’ terhadap dunia karena dia sadar bahwa itu tidak akan dibawa mati. Selanjutnya dia akan mengalihkan perhatiannya untuk mempersiapkan kematian dengan beribadah. Kalaupun dia mencari harta, tujuannya adalah untuk memakmurkan akhiratnya.

Berbeda halnya dengan orang yang malas mengingat mati. Dia akan sibuk mencari kenikmatan dunia, bernafsu melampiaskan syahwatnya dan bergelimang dengan dosa-dosa. Karena dia tidak sadar bahwa kelak kematian akan menyergapnya dengan tiba-tiba, di saat dia belum memikirkan bekal untuk menghadapinya. Tak terpikir olehnya untuk bertaubat, atau dia merasa masih punya banyak waktu untuk menebusnya sehingga dia berangan untuk menunda taubatnya hingga waktu yang dia sendiri tidak tahu apakah nyawa masih setia bersamanya. Dia juga tidak merasa perlu untuk bersegera melakukan ibadah karena merasa belum saatnya. Benar apa yang dikatakan oleh Hasan Al-Bashri, ”Tiada seorangpun yang panjang angan-angannya melainkan pastilah buruk amalnya.”

Mengingat mati adalah obat mujarab untuk melunakkan hati yang keras dan membersihkan karat hati. Telah datang seorang wanita kepada Ummul Mukminin A’isyah mengadukan kerasnya hati yang ia rasakan. Maka A’isyah berkata, ”Perbanyaklah mengingat mati niscaya hilang penyakit di hatimu.” Akhirnya wanita itu mengerjakan wejangan itu dan hilanglah penyakit di hatinya.

YANG DIINGAT DALAM KEMATIAN

Jika kita mengetahui faedah mengingat mati, lalu peristiwa apa yan harus kita ingat? Banyak peristiwa mengerikan yang dapat kita renungkan dalam peristiwa kematian, yang dengannya hati menjadi lembut, rasa takut bermaksiat semakin bertambah dan semangat ibadah semakin memuncak.

Pertama, bahwa kematian datang secara mendadak. Malakul maut datang tanpa bisa dicegah, tanpa permisi dan tanpa peduli apa yang sedang dan akan kita kerjakan. Mungkin baru naik pangkat, tapi belum menikmati gajinya, atau baru selesai membangun rumah mewah namun belum sempat menikmatinya, atau baru saja bekerja keras dan hampir saja mendapatkan upahnya, ajal datang menjemput tanpa ampun dan tak kenal kompromi.

Betapa banyak kita dapatkan seseorang yang berangkat ke kantor naik mobil mewah, namun siangnya naik keranda roda manusia. Betapa banyak orang yang paginya berpakaian indah berdasi lalu siangnya harus orang lain yang melepaskan bajunya untuk diganti dengan kain kapan. Betapa banyak orang tua yang paginya memandikan anaknya, namun siang harinya dia harus dimandikan orang lain sebelum dikafan dan dishalatkan.

Inilah realita yang setiap hari kita dengar dan kita saksikan, namun keadaan kita seperti yang digambarkan Ar-Rabi’ bin Barrah, ”Aku heran dengan manusia, bagaimana mereka lupakan kejadian yang pasti terjadi? Mereka lihat dengan matanya, mereka menyaksikannya, dan hatipun meyakininya, mengimaninya dan membenarkan apa yang dikabarkan oleh para Rasul, namun kemudian mereka lalai dan mabuk dengan senda gurau dan permainan.”

Kedua, yakni sakaratul maut. Hendaknya kita mengingat bahwa kematian itu ada masa sakarat. Seperti yang difirmankan ALLAH, ”Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaaf: 19)

Sewaktu kematian menjemput Amru bin ’Ash, putranya berkata, ”Wahai ayah, anda pernah berkata, ”Sesungguhnya aku heran terhadap seseorang yang di ambang kematiannya, sedangkan akalnya masih sehat namun bagaimana dia tidak mau bercerita?” Maka Amru bin ’Ash berkata, ”Wahai anakku, kematian itu terlalu sulit untuk dikatakan! Akan tetapi baiklah, aku ceritakan sedikit tentangnya, demi ALLAH seakan-akan di atas pundakku ada gunung Radhwa dan Tihamah... seakan aku bernafas dengan lubang jarum... seakan di perutku ada duri yang runcing... dan langit seakan menghimpit bumi, sedangkan aku berada di antara keduanya...”

Ketiga, Su’ul Khotimah ataukah Husnul Khotimah akhir hidupnya? Mujahid bin Jabr berkata, ”Tiada seorang yang akan mati melainkan dia seperti didatangi teman duduknya, sungguh aku pernah melihat seseorang yang tatkala ditalqin ”Katakan La ilaha illallah”, dia malah menjawab ”SKAK.”

Ibnul Qayyim juga menceritakan tatkala seorang yang hobi menyanyi dituntun bacaan La ilaha illallah ketika meregang nyawa malah mendendangkan nyanyian kesukaannya. Ada pula peminum khamr ditalqin, dia menjawab, ”Tidak... tuangkan arak untukku..!”

Maka barangsiapa memperhatikan hal ini, niscaya dia akan takut berbuat maksiat dan membiasakannya, karena akhir hayat seseorang ditentukan kebiasaannya di dunia.

Keempat, yaitu malam pertama di kubur. Malam itu adalah penentu nasib manusia selanjutnya. Tempat itu akan menjadi pertanda apa yang akan dialaminya berikutnya. Bisa jadi dia menjadi orang yang berbahagia, sehingga malam pertama di kuburnya lebih indah dari malam pernikahannya di dunia, ataukah itu menjadi awal dari kesengsaraan dan penderitaan yang tiada tara dan tiada akhirnya.

Utsman bin Affan, ketika melihat jenazah diusung tiba-tiba menangis hingga jatuh pingsan. Lalu orang-orang menggotongnya ke rumah seakan-akan dia telah menjadi jenazah. Saat dia sadar, orang-orang bertanya, ”Ada apa denganmu?”, maka ia menjawab, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Kuburan adalah fase pertama dari alam akhirat, jika seorang hamba selamat menghadapinya, ia akan gembira dan beruntung. Namun jika ia rugi, maka rugilah seluruh akhiratnya.”

BILAKAH DZIKRUL MAUT DILAKUKAN

Dzikrul maut dapat dilakukan kapan saja, di setiap waktu. Bisa ketika kita mengantar atau melihat jenazah diantar ke kubur. Dengan melihatnya, cobalah bayangkan bagaimana bila yang diusung itu adalah diri kita. Sungguh alangkah mengherankan orang-orang yang turut mengantarkan jenazah itu dapat bersenda gurau dan tertawa.

Hasan Bashri, ketika menjenguk orang sakit yang sedang menjelang sekarat. Saat dia pulang ke rumahnya, wajahnya sungguh berbeda dengan ketika dia pergi. Saat beliau ditawari makan, maka dia berkata, ”Demi ALLAH aku telah melihat sesuatu yang menakutkan, aku akan selalu beramal untuk-NYA, hingga hari bertemu dengan-NYA.”