Sabtu, 02 Agustus 2008

MUHASABAH (1)



Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-KU hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah: 197)

Kehidupan dunia ini adalah sepenggal episode yang amat singkat, namun menetukan nasib perjalanan maha panjang di akhirat yang tak terbatas kurun waktunya. Barangsiapa menyiapkan bekal di dunia sesuai kebutuhan yang diperlukan dalam perjalanan panjang itu, maka perjalanannya laksana tamasya yang hanya berisi suka cita dan bahagia.

Tapi, barangsiapa yang memperbanyak sesuatu yang tidak berguna uuntuk perjalanan panjangnya, maka justru hanya menjadi beban berat bagi perjalanan yang menyedihkan. Tak ada yang dia alami selain penderitaaan panjang tak berkesudahan.

Banyak orang bekerja keras menyiapkan bekal dunia untuk kebahagiaan di hari tua yang sangat singkat. Tapi adakah yang memikirkan bekal untuk kehidupan yang tidak ada batasnya? Hanya orang pintar yang menyiapkan perbekalan untuknya, Nabi SAW bersabda, “Orang yang pintar adalah yang introspeksi diri dan beramal untuk setelah mati.” (HR. Tirmidzi)


Menghitung Perbekalan

Waktu demi waktu bergulir, hari demi hari berjalan, tahun demi tahun berlalu, seringkali kita menjalani hidup dengan apa adanya. Tanpa perencanaan yang jelas, tanpa target yang fokus dan tanpa mengevaluasi kekurangan amal yang telah kita perbuat.

Tengoklah, hari yang berlalu, dua hari yang lalu atau minggu lalu, atau bulan lalu atau tahun yang lalu, apakah ada peningkatan yang berarti pada ilmu, amal dan prestasi kita? Lihatlah Abu Bakar Ash-Shidiq, waktu dua tahun menjadi khalifah cukup untuk mengembalikan orang-orang yang murtad ke dalam pangkuan Islam. Demikian pula Umar bin ‘Abdul Aziz, waktu dua tahun cukup untuk mengembalikan keadilan, mengenyahkan kezhaliman dan menghadirkan kemakmuran dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan Ibnu Abi Ja’d, dua tahun belajar akhirnya menjadi mufti di Madinah.

Itulah kehidupan orang-orang cerdas, kehidupan yang diawali dengan tekad yang kuat, konsisten dengan niat lalu mengevaluasi dan introspeksi atas kekurangan. Dari situ, mulailah diadakan perbaikan-perbaikan hingga tercapailah kesuksesan.

Hanya saja, tiada suatu itikad baik muncul, atau upaya perbaikan ditempuh, kecuali setelah terbuka pintu ‘muhasabah’, perhitungan atau introspeksi, lalu didapatkan adanya sisi kekurangan. Muhasabah juga bisa diartikan sebagai pertimbangan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari suatu amal.
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa muhasabah adalah memperhitungkan segala kondisi sebelum berbuat ataupun meninggalkan sesuatu, baik sesuatu yang berupa keyakinan hati maupun perbuatan anggota badan, hingga menjadi jelas baginya apa yang selayaknya dia kerjakan dan dia tinggalkan. Jika telah jelas baginya sesuatu yang dibenci oleh ALLAH maka dia akan menjauhi dengan hatinya, menahan anggota badannya dari apa yang dibenci ALLAH dan tidak membiarkan nafsunya meninggalkan yang fardhu, lalu dia bersegera untuk menunaikan yang fardhu.

Maka, muhasabah membutuhkan ilmu tentang perintah dan larangan ALLAH serta apa yang disunnahkan oleh Nabi-NYA. Karena dia hanya bisa menghitung perbuatan baik dan buruknya sesuai dengan ukuran yang ditetapkan ALLAH dan Rasul-NYA.

Faedah

Melihat apa yang telah kita kerjakan lalu diukur dengan sesuatu yang mestinya kita kerjakan, maka akan tampaklah kekuangan dirinya. Betapa kewajiban tidak mampu dia tunaikan dengan sempurna, amalan sunnah pun terlalu sedikit untuk menutup kekurangan pada fardhunya. Hadirnya perasaan ini akan mendorong kita untuk melakukan perbaikan. Muhasabah menjadi titik tolak untuk melakukan perbaikan. Mustahil seseorang melakukan perbaikan tanpa diawali dengan muhasabah. Seperti orang yang merehab rumah, pastilah dikarenakan ada sesuatu yang kurang dari rumahnya menurut pandangannya.
Orang yang tekun bermuhasabah tak ubahnya seperti pedagang yang ulung, dia menghitung modalnya, mencari barang dagangan yang paling laku dan bernilai jual tinggi. Usai berniaga, dia menghitung laba ruginya.

Akan halnya dengan orang yag tidak pernah melakukan muhasabah, ia seperti pedagang amatiran yang tak paham cara berdagang. Dia berdagang tanpa melihat berapa modalnya, bagaimana cara mendapatkan keuntungan, tida pula memiliki inisiatif untuk menghitung laba ataukah rugi. Akibatnya, dia memang sibuk berniaga, tetapi tak kunjung nampak hasilnya. Begitulah orang yang tidak mau bermuhasabah terhadap amalnya.

Berat Timbangan Amalnya, Ringan Timbangan Dosanya

Orang yang tekun melakukan muhasabah adalah yang paling cepat tabatnya. Karena dia segera menyadari kesalahannya. Sedangkan taubat menuntut dia untuk bertekad tidak mengulangi dosa. Berbeda halnya dengan orang yang tidak pernah merenungkan apa yang telah dia kerjakan. Dosa yang menumpuk justru semakin menumpulkan kepekaan jiwa terhadap dosa. Akhirnya dosa menjadi kebiasaannya.

Jika berat timbangan amal baiknya dan kecil kapasitas dosanya, niscaya menjadi ringan dosanya. Dari sinilah bisa dikatakan bahwa muhasabah di dunia menyebabkan ringan hisabnya di akhirat. Seperti diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Hisablah dirimu (di dunia) sebelum dirimu dihisab (di akhirat), berhiaslah (dengan amal) untuk menghadapi hisab yang besar, karena hisab akan diringankan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia.”

Dia layak untuk menerima kitabnya dengan angan kanan, sebagaimana ALLAH berfirman, “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: "Celakalah aku." Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).” (QS. Al-Insyiqaq: 7-13)

Salah Mengambil Timbangan

Ada orang yang merasa puas ketika punya banyak teman dan pendukung. Fenomena itu lantas dijadikan indikator bahwa dia termasuk orang yang baik. Kalau dia tidak termasuk orang baik, mana mungkin disegani oleh banyak orang. Demikian pikirnya.

Sebagian yang lain berusaha mengikuti arus kebanyakan dan merasa aman bila berbuat seperti umumnya manusia. Baginya, tanda kebenaran dan tanda kebaikan diukur dengan suara mayoritas manusia. Seperti penganut agama demokrasi: “Vox populi vox dei” (suara rakyat suara tuhan). Lalu segala yang di luar kebiasaan dan keumuman masyarakatnya dicap sebagai kesalahan atau kesesatan.

Kelompok lain, adalah kelompok yang mengetahui adanya kewajiban yang dia harus kerjakan sebagai seorang muslim. Namun ketika dia melihat kebanyakan manusia meninggalkan kewajiban shalat misalnya, diapun merasa cukup puas dan merasa bangga karena masih bisa megerjakan shalat lima waktu, meskipun dilakukan sendirian di rumah dengan tidak berjama’ah ke masjid dan di sisa-sisa waktu dan tenaga. ‘Masih mending daripada si fulan yang bolong-bolong shalatnya.’ Demikian kilahnya. Belum lagi remnya ‘blong’, yang tak mampu mencegah berbagai kecendrungan syahwat yang diharamkan.

Beberapa contoh di atas bermuara pada kesimpulan: merasa puas dengan apa yang telah mereka kerjakan dan merasa yang mereka kerjakan adalah tindakan yang baik. Tetapi baik dan benar menurut mereka belum tentu menurut ALLAH, “Katakanlah: "Apakah akan KAMI beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-kahfi: 103-104)

sumber: Ar-Risalah: no. 41 tahun 2004