“Orang yang pintar adalah yang introspeksi diri dan beramal untuk setelah mati.” (HR. Tirmidzi)
Sebuah kebahagiaan yang sangat besar, ketika seorang hamba mendapatkan catatan amalnya penuh dengan amal shalih, jauh dari nilai merah yang akan membuatnya gelisah dan resah, lalu diterimanya dengan tangan kanannya, penuh harapan akan balasan-NYA. Ia tahu akan ringannya hisab yang ia alami, lalu dia kembali kepada kaumnya dengan penuh kegembiraan.
Sebaliknya, seorang hamba yang menerima catatannya dari arah belakang, ia akan berteriak “Celaka aku”, mukanya merah padam karena ia yakin adzab ALLAH menunggunya. Semua urusan ia akhiri dengan penyesalan; untuk apa ia gunakan semua hidupnya, masa mudanya, dan hartanya yang melimpah. Tak ada gunanya penyesalan, yang ada hanya perhitungan dan pembalasan.
Bermuhasabah di dunia akan meringankan perhitungan di akhirat. Ketika seorang hamba berusaha menghitung dirinya di dunia, akan mudah baginya ketika menghadapi hari pertanggungjawaban kelak.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Umar Bin Khaththab, “Hisablah dirimu (di dunia) sebelum dirimu dihisab (di akhirat), berhiaslah (dengan amal) untuk menghadapi hisab yang besar, karena hisab akan diringankan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia.”
Tentang Shalat
Shalat yang merupakan tiang agama, sudah banyak yang meremehkan dan melalaikannya. Lihatlah sekeliling kita, masih berapa banyak kaum muslimin yang masih memperhatikan shalat berjama’ah di masjid? Berapa yang masih tetap istiqomah mendirikan shalat lima waktu walau tidak berjama’ah? Berapa banyak lagi yang masih meyakini bahwa shalat adalah kewajiban atas dirinya?
Padahal dalam Islam, shalat adalah pemisah antara kekufuran dan keimanan, tali rantai terakhir dalam Islam, dan lebih dari itu, ia merupakan amalan yang pertama kali dipertanggung jawabkan di hadapan ALLAH. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pertama kali amalan hamba yang dihisab di hari kiamat adalah shalatnya. Bila baik, maka dia telah beruntung, dan bila rusak maka dia telah celaka. Bila telah berkurang sesuatu dari kewajiban shalat tersebut, maka RABB berfirman, “Lihatlah apakah hamba-KU mempunyai amalan sunnah sehingga akan menyempurnakannya dari kekurangan shalat wajibnya.” Kemudian amalan lain pun dihisab demikian.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud dan Ad-Darimi)
Tentang Empat Perkara
Menghitung diri dalam rangka meringankan hisab di akhirat kelak tidak lepas dari memperhatikan beberapa perkara, Usia panjang yang telah ALLAH berikan, jasad yang telah ALLAH sempurnakan bentuknya, harta yang telah ALLAH limpahkan, dan ilmu yang telah ALLAH karuniakan.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan selamat langkah seorang hamba hingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa ia pergunakan. Tentang jasadnya, untuk apa dia gerakan. Tentang hartanya, darimana ia dapatkan dan untuk apa dia gunakan. Dan tentang ilmunya, apa yang telah ia kerjakan.” (HR. Ad-Darimi)
Telah dikisahkan tentang taubat Ibnu Sammah: “Suatu hari dia duduk-duduk untuk menghitung-hitung dirinya. Lalu dia hitung umurnya, ternyata dia sudah sampai usia enam puluh tahun, lalu dia menghitung harinya, ternyata sudah berlalu duapuluh satu ribu lima ratus hari; lalu dia berteriak dan berkata: “Celaka aku! Raja telah melemparkan dua puluh satu ribu dosa, lalu bagaimana, padahal setiap hari ada sepuluh ribu dosa!.”
Tentang Hak Orang Lain
Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dan tanggung jawabnya di hadapan ALLAH Ta’ala; yaitu tentang hak–hak seorang hamba. Berapa banyak orang menyepelekan tindak kezhaliman atas orang lain; menyakitinya, mencelanya, memukulnya, membicarakan aib-aibnya atau yang lainnya.
Dia lupa kalau semua tindakannya itu akan ada perhitungannya, dia tidak tahu kalau semua tindakannya akan menjadikan dirinya bangkrut, tidak punya satu amal kebaikanpun, bahkan kesalahan orang lain akan ditimpakan kepada dirinya apabila dia tidak dapat menebusnya lagi dengan amal kebaikan, sehingga hanya neraka yang pantas baginya.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian mengetahui, siapakah yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak mempunyai dirham dan perhiasan.” Lau Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhya orang yang bangkrut dari umatku akan datang kelak di hari kiamat dengan shalatnya, shiyamnya dan zakatnya. Dan dia datang telah mencela ini, menuduh ini, memakan harta ini, membunuh ini, dan memukul ini. Maka digantikan ini dari kebaikannya, dan itu dari kebaikannya. Bila kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum melunasi utang-utangnya, akan diambil dari kesalahan mereka, lalu ditimpakan kepadanya dan dilemparkan ke api neraka.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ahmad)
Imam An-Nawawi berkata: “Inilah hakikat orang yang bangkrut sebagaimana telah disebutkan dalam hadits. Adapun orang yang tidak punya harta atau sedikit harta, benar semua orang menyebutnya orang yang bangkrut, tapi bukan itu hakikat orang yang bangkrut. Karena itu semua bisa sirna dengan kelarnya ruh dari jasad manusia, bahkan bisa jadi lebih bahagia setelah dia bertemu dengan RABB-nya. Tapi, orang yang bangkrut di akhirat, dia akan mendapatkan kebinasaan yang abadi.”
Maka tanyalah kepada dirimu: berapa banyak bekal telah engkau persiapkan? Kezhaliman apa yang telah engkau perbuat?
Tiga Anak Tangga
Ibnul Qayyim berkata dalam Madarijus Salikin, bahwa muhasabah memiliki tiga anak tangga, yaitu:
Anak Tangga Pertama, timbanglah kebaikan ALLAH dengan kebaikan kita, lalu bandingkan antara pengabdian kita kepada ALLAH dengan dosa-dosa yang kita perbuat.
Dengan menimbang kebaikan ALLAH dengan pengabdian kita, maka kita akan mengerti bahwa ALLAH adalah RABB, dan kita adalah hamba. Kita juga akan tahu hakikat diri dan sifat-sifat-NYA. Dan segala nikmat yang kita peroleh adalah berasal dari ALLAH. Sungguh belum sebanding amal ibadah kita dengan segala nikmat yang ALLAH berikan kepada kita.
Apalagi bila kita melihat betapa banyak dosa dan maksiat yang kita lakukan, sedangkan ALLAH tetap memberi kita rezeki, kenikmatan, dan ALLAH selalu memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat. “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13)
Anak Tangga Kedua, pilahkan antara kewajiban kita untuk beribadah dan taat kepada ALLAH dengan hak kita.
Mengenai hal ini banyak yang keliru, menganggap kewajiban adalah sebagai haknya, sehingga kalau ia melaksanakannya ia mengagnggap itu adalah sebagai suatu keutamaan. Betapa banyak orang yang mengaku sebagai muslim -dengan santainya- meninggalkan shalat lima waktu, dan yang lain menjadikan perzinaan sebagai gaya hidupnya.
Anak Tangga Ketiga, Mengertilah bahwa setiap kebaikan yang kita puas terhadapnya adalah bencana dan bahwa setiap menghina seseorang karena kemaksiatan yang dilakukannya, niscaya kita akan melakukan kemaksiatan yang sama pada suatu hari. Jadi jangan mudah puas terhadap diri sendiri dan jangan menghina orang lain.
Seseorang yang tidak mengerti tentang dirinya, sifat-sifatnya, aib dan cela dirinya, juga tidak mengerti tentang RABB-nya, hak-hak-NYA serta bagaimana berhubungan dengan-NYA, akan merasa cukup dengan amal ibadah yang dilakukannya. Jika sudah demikian keadaannya, akan lahirlah penyakit ‘ujub, kibr, dan bencana-bencana lain yang lebih berbahaya daripada zina, minum arak, dan mencuri.
“Ya ALLAH mudahkanlah hisab atas diri kami. Ampunilah dosa kami dan terimalah amal ibadah kami.”
sumber: Ar-Risalah: no. 41 tahun 2004
Sebuah kebahagiaan yang sangat besar, ketika seorang hamba mendapatkan catatan amalnya penuh dengan amal shalih, jauh dari nilai merah yang akan membuatnya gelisah dan resah, lalu diterimanya dengan tangan kanannya, penuh harapan akan balasan-NYA. Ia tahu akan ringannya hisab yang ia alami, lalu dia kembali kepada kaumnya dengan penuh kegembiraan.
Sebaliknya, seorang hamba yang menerima catatannya dari arah belakang, ia akan berteriak “Celaka aku”, mukanya merah padam karena ia yakin adzab ALLAH menunggunya. Semua urusan ia akhiri dengan penyesalan; untuk apa ia gunakan semua hidupnya, masa mudanya, dan hartanya yang melimpah. Tak ada gunanya penyesalan, yang ada hanya perhitungan dan pembalasan.
Bermuhasabah di dunia akan meringankan perhitungan di akhirat. Ketika seorang hamba berusaha menghitung dirinya di dunia, akan mudah baginya ketika menghadapi hari pertanggungjawaban kelak.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Umar Bin Khaththab, “Hisablah dirimu (di dunia) sebelum dirimu dihisab (di akhirat), berhiaslah (dengan amal) untuk menghadapi hisab yang besar, karena hisab akan diringankan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia.”
Tentang Shalat
Shalat yang merupakan tiang agama, sudah banyak yang meremehkan dan melalaikannya. Lihatlah sekeliling kita, masih berapa banyak kaum muslimin yang masih memperhatikan shalat berjama’ah di masjid? Berapa yang masih tetap istiqomah mendirikan shalat lima waktu walau tidak berjama’ah? Berapa banyak lagi yang masih meyakini bahwa shalat adalah kewajiban atas dirinya?
Padahal dalam Islam, shalat adalah pemisah antara kekufuran dan keimanan, tali rantai terakhir dalam Islam, dan lebih dari itu, ia merupakan amalan yang pertama kali dipertanggung jawabkan di hadapan ALLAH. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pertama kali amalan hamba yang dihisab di hari kiamat adalah shalatnya. Bila baik, maka dia telah beruntung, dan bila rusak maka dia telah celaka. Bila telah berkurang sesuatu dari kewajiban shalat tersebut, maka RABB berfirman, “Lihatlah apakah hamba-KU mempunyai amalan sunnah sehingga akan menyempurnakannya dari kekurangan shalat wajibnya.” Kemudian amalan lain pun dihisab demikian.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud dan Ad-Darimi)
Tentang Empat Perkara
Menghitung diri dalam rangka meringankan hisab di akhirat kelak tidak lepas dari memperhatikan beberapa perkara, Usia panjang yang telah ALLAH berikan, jasad yang telah ALLAH sempurnakan bentuknya, harta yang telah ALLAH limpahkan, dan ilmu yang telah ALLAH karuniakan.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan selamat langkah seorang hamba hingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa ia pergunakan. Tentang jasadnya, untuk apa dia gerakan. Tentang hartanya, darimana ia dapatkan dan untuk apa dia gunakan. Dan tentang ilmunya, apa yang telah ia kerjakan.” (HR. Ad-Darimi)
Telah dikisahkan tentang taubat Ibnu Sammah: “Suatu hari dia duduk-duduk untuk menghitung-hitung dirinya. Lalu dia hitung umurnya, ternyata dia sudah sampai usia enam puluh tahun, lalu dia menghitung harinya, ternyata sudah berlalu duapuluh satu ribu lima ratus hari; lalu dia berteriak dan berkata: “Celaka aku! Raja telah melemparkan dua puluh satu ribu dosa, lalu bagaimana, padahal setiap hari ada sepuluh ribu dosa!.”
Tentang Hak Orang Lain
Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dan tanggung jawabnya di hadapan ALLAH Ta’ala; yaitu tentang hak–hak seorang hamba. Berapa banyak orang menyepelekan tindak kezhaliman atas orang lain; menyakitinya, mencelanya, memukulnya, membicarakan aib-aibnya atau yang lainnya.
Dia lupa kalau semua tindakannya itu akan ada perhitungannya, dia tidak tahu kalau semua tindakannya akan menjadikan dirinya bangkrut, tidak punya satu amal kebaikanpun, bahkan kesalahan orang lain akan ditimpakan kepada dirinya apabila dia tidak dapat menebusnya lagi dengan amal kebaikan, sehingga hanya neraka yang pantas baginya.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian mengetahui, siapakah yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak mempunyai dirham dan perhiasan.” Lau Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhya orang yang bangkrut dari umatku akan datang kelak di hari kiamat dengan shalatnya, shiyamnya dan zakatnya. Dan dia datang telah mencela ini, menuduh ini, memakan harta ini, membunuh ini, dan memukul ini. Maka digantikan ini dari kebaikannya, dan itu dari kebaikannya. Bila kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum melunasi utang-utangnya, akan diambil dari kesalahan mereka, lalu ditimpakan kepadanya dan dilemparkan ke api neraka.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ahmad)
Imam An-Nawawi berkata: “Inilah hakikat orang yang bangkrut sebagaimana telah disebutkan dalam hadits. Adapun orang yang tidak punya harta atau sedikit harta, benar semua orang menyebutnya orang yang bangkrut, tapi bukan itu hakikat orang yang bangkrut. Karena itu semua bisa sirna dengan kelarnya ruh dari jasad manusia, bahkan bisa jadi lebih bahagia setelah dia bertemu dengan RABB-nya. Tapi, orang yang bangkrut di akhirat, dia akan mendapatkan kebinasaan yang abadi.”
Maka tanyalah kepada dirimu: berapa banyak bekal telah engkau persiapkan? Kezhaliman apa yang telah engkau perbuat?
Tiga Anak Tangga
Ibnul Qayyim berkata dalam Madarijus Salikin, bahwa muhasabah memiliki tiga anak tangga, yaitu:
Anak Tangga Pertama, timbanglah kebaikan ALLAH dengan kebaikan kita, lalu bandingkan antara pengabdian kita kepada ALLAH dengan dosa-dosa yang kita perbuat.
Dengan menimbang kebaikan ALLAH dengan pengabdian kita, maka kita akan mengerti bahwa ALLAH adalah RABB, dan kita adalah hamba. Kita juga akan tahu hakikat diri dan sifat-sifat-NYA. Dan segala nikmat yang kita peroleh adalah berasal dari ALLAH. Sungguh belum sebanding amal ibadah kita dengan segala nikmat yang ALLAH berikan kepada kita.
Apalagi bila kita melihat betapa banyak dosa dan maksiat yang kita lakukan, sedangkan ALLAH tetap memberi kita rezeki, kenikmatan, dan ALLAH selalu memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat. “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13)
Anak Tangga Kedua, pilahkan antara kewajiban kita untuk beribadah dan taat kepada ALLAH dengan hak kita.
Mengenai hal ini banyak yang keliru, menganggap kewajiban adalah sebagai haknya, sehingga kalau ia melaksanakannya ia mengagnggap itu adalah sebagai suatu keutamaan. Betapa banyak orang yang mengaku sebagai muslim -dengan santainya- meninggalkan shalat lima waktu, dan yang lain menjadikan perzinaan sebagai gaya hidupnya.
Anak Tangga Ketiga, Mengertilah bahwa setiap kebaikan yang kita puas terhadapnya adalah bencana dan bahwa setiap menghina seseorang karena kemaksiatan yang dilakukannya, niscaya kita akan melakukan kemaksiatan yang sama pada suatu hari. Jadi jangan mudah puas terhadap diri sendiri dan jangan menghina orang lain.
Seseorang yang tidak mengerti tentang dirinya, sifat-sifatnya, aib dan cela dirinya, juga tidak mengerti tentang RABB-nya, hak-hak-NYA serta bagaimana berhubungan dengan-NYA, akan merasa cukup dengan amal ibadah yang dilakukannya. Jika sudah demikian keadaannya, akan lahirlah penyakit ‘ujub, kibr, dan bencana-bencana lain yang lebih berbahaya daripada zina, minum arak, dan mencuri.
“Ya ALLAH mudahkanlah hisab atas diri kami. Ampunilah dosa kami dan terimalah amal ibadah kami.”
sumber: Ar-Risalah: no. 41 tahun 2004