Jumat, 01 Agustus 2008

MANHAJ SALAFUSH SHALIH

”Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, KAMI berikan syariat dan manhaj.”
(QS. Al-Maidah: 48)

Manhaj secara bahasa artinya jalan yang jelas (Qamus Al-Muhith). Istilah yang populer di kalangan ahlul ilmi ialah jalan yang akan mengantarkan kepada pengenalan hakekat ilmu melalui kaidah-kaidah umum yang dapat menjaga jalannya akal dan memberi batasan-batasan yang praktis, sehingga dengan itu akan sampai kepada hasil yang dapat diketahui dengan jelas (lihat Manhajul Istidlal, jilid I, halaman 20, oleh Utsman bin Ali Hasan).

Dengan kata lain Manhaj adalah sistem pemahaman dan pengenalan ilmu. Yang dimaksud dengan Manhaj di sini ialah Manhaj sebagai Salafiyyin dalam memahami dan mengamalkan agama ini. Manhaj ini diambil dari para imam ahlul hadits dari kalangan Salafus Shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka. Hal ini perlu ditegaskan karena mengingat semakin gencarnya kelompok-kelompok/firqah-firqah sesat menggoncang umat sehingga banyak kalangan manusia tertipu bahkan karena tebalnya asap penyimpangan meliputi dirinya sehingga kebenaran dari Ulama/ Ahlul Haditspun tidak dipedulikannya dan menampakkan secara terang-terangan kesalahannya. Naudzubillah. Hanya kepada ALLAH-lah kita mohon perlindungan. Dalam menelaah Manhaj ini ada beberapa poin yang harus dipahami dan direnungkan bagi para insan yang menginginkan Al Haq, yaitu sebagai berikut :

1. Jalan Kebenaran itu hanya ada satu.

Barangsiapa yang menyimpang dari jalan ini, berarti dia berada di atas kebatilan dan berjalan di atas kesesatan. Jalan tersebut adalah Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih. ibnu Mas’ud radhiallahu anhu meriwayatkan: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. membuat satu garis kemudian beliau bersabda: “Ini adalah Jalan ALLAH.” Kemudian beliau menggaris beberapa garis ke kanan dan ke kiri kemudian bersabda Ini adalah Subul (jalan-jalan) dan di atas setiap jalan-jalan itu ada setan yang menyeru kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): “Dan sesungguhnya ini adalah Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan jangan kalian ikuti jalan-jalan lain, niscaya ia akan memisahkan kalian dari jalan ALLAH.” (HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Darimi Al-Hakim dihasankan oleh Al-Arnauth di dalam Syarhus Sunnah Al-Baghawi 1/197).

Imam Al-Lalikai meriwayatkan dalam kitabnya Syarh Ushul Itiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah, jilid 1 halaman 87 riwayat ke 108, pernyataan Ibnu Mas’ud: Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu (ilmu Syariah) sebelum ilmu tersebut dicabut dan ilmu itu dicabut dengan meninggalnya ahli ilmu (para ulama) atau beliau menyatakan: Orang yang mempunyai ilmu. beliau berkata pula: Wajib atas kalian untuk berilmu, karena setiap kalian tidak mengetahui kapan dia membutuhkan ilmu tersebut atau butuh kepada apa yang dikandung olehnya. sesungguhnya kalian akan menjumpai beberapa kaum yang mengaku mengajak kalian kepada kitab ALLAH padahal mereka betul-betul telah melemparkan kitab itu ke belakang punggung mereka. Maka wajib atas kalian untuk berilmu dan jauhilah oleh kalian perbuatan bidah, memberat-beratkan diri (dalam beragama ini, pent) dan jauhilah oleh kalian berdalam-dalam di dalam urusan agama serta wajib atas kalian berpegang dengan yang terdahulu (yaitu salafus shalih).

Penyimpangan dari pemahaman sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam. terhadap Al Quran dan As-Sunnah berarti penyimpangan dari ash-shirath al-mustaqim. Semakin jauh penyimpangan itu semakin jauh pula pelakunya darinya. Orang yang menyimpang ini dinamakan Ahlul Ahwa (pengekor Hawa Nafsu) atau dengan istilah lain Ahlul Bid’ah.

2. Ilmu yang paling penting ialah ilmu-ilmu Al Quran dan Al Hadits dengan penafsiran para sahabat dan tabiin.

Selain ilmu di atas hanyalah semata-mata pelengkap bagi keduanya dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia bagi kemaslahatan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahuu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang ALLAH kehendaki baginya kebaikan, ALLAH akan menjadikan dia paham tantang ilmu Agama. Sesungguhnya aku hanyalah pembagi (zakat) sedangkan ALLAH-lah yang memberinya (yakni pemberi rezeki). Senantiasa akan ada dari umat ini orang yang menunaikan perintah ALLAH, tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan ALLAH.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan: “Di dalam hadits ini ada keterangan yang tegas tentang keutamaan ulama di atas segenap manusia dan keutamaan belajar agama ini atas ilmu lain.” (lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid 1, halaman 165).

Memahami Agama pengertiannya tidak lain adalah memahami Al-Quran dan Al-Hadits, karena agama seluruhnya hanya diambil dari keduanya. Imam Syafii menerangkan: Semua ilmu selain Al Quran adalah melalaikan (menyibukkan) kecuali ilmu hadits dan ilmu fiqih dalam agama ini. Yang dinamakan ilmu adalah apa-apa yang ada padanya pernyataan: Telah menceritakan kepada kami (yaitu dengan sanad). Sedangkan selain itu hanyalah semata-mata bisikan syaitan. (lihat Syarh Aqidah Thahawiyah oleh Ibnu Abil Izzi, halaman 75).

3. Berpegang dengan As Sunnah An-Nabawiyah dan mencintai serta mengamalkannya dalam segala segi kehidupan adalah jaminan keselamatan dunia dan akhirat.

Orang yang demikian dinamakan Ahlus Sunnah. Mencintai As-Sunnah berarti harus pula mencintai Ahlus Sunnah. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa diantara kalian menginginkan bagian tengah surga, maka hendaklah ia tetap berpegang dengan Al-Jamaah, karena syaitan itu bersama orang yang bersendiri dan dia (setan) lebih jauh dari orang yang berdua. (Berkata Syaikh Ali hasan Abdul Hamid: Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad I/26; Sanadnya Shahih, lihat Al-Muntaqa An-Nafis Min Talbisil Iblis hal. 31).

Ubay bin Kaab menyatakan: “Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan jalan dan Sunnah ini, karena orang yang berada di jalan dan Sunnah ini, yang mengingat Ar Rahman (ALLAH) lalu berlinang air matanya karena takut kepada ALLAH, tidak akan di sentuh api neraka. Sesungguhnya bersederhana dalam menempuh jalan dan sunnah ini lebih baik dari pada bersemangat dalam penyimpangan dari Sunnah.” (Berkata Syaikh Ali Hasan Abdul hamid (Muridnya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani) Atsar ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd, hal. 196, secara panjang lebar dengan sanad hasan).

Imam Al-Lalikai meriwayatkan perkataan Sufyan Atsauri: Apabila sampai berita kepadamu tentang seorang Ahlus Sunnah di Timur dan lainnya di barat, maka kirimkanlah salam kepada keduanya dan doakanlah kebaikan bagi mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah Wal jamaah. (Lihat Syarh Ushul Itiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah oleh Al Lalikai). Al Jamaah yang dimaksud da dalam hadits di atas adalah para Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu anhum. Berpegang dengan pemahaman sahabat yang dipimpin oleh beliau berempat ini berarti berpegang dengan Al Jamaah.

4. Menjauhkan diri dari bidah, membencinya, dan membersihkan ilmu dan amal dari kotoran bidah serta juga membenci ahlul bidah adalah pagar yang akan melindungi sunnah dan pengamalannya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada ALLAH dan mendengar serta taat (kepada pemerintahan Islam) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya dari negeri Habasyah. Sesungguhnya barangsiapa hidup sesudahku niscaya dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnhku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu serta jauhilah oleh kalian perkara agama yang diada-adakan karena semua yang baru dalam agama adalah bidah dan semua bidah adalah sesat.” (HR Ahmad)

Sufyan Ats-Tsauri menyatakan: “Bid’ah itu lebih disukai oleh iblis daripada maksiat, karena maksiat itu adalah perkara yang pelakunya masih dapat diharapkan bertaubat darinya, sedangkan bid’ah tidak dapat diharapkan pelakunya bertaubat darinya.” Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Al-Muntaqa An-Nafis, halaman 36: atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jad dalam musnadnya riwayat 1885. Al- Fudlail bin Iyadl menyatakan: “Apabila engkau melihat seorang ahlul bid’ah berjalan di suatu jalan, maka ambilah jalan lain. Dan tidak akan diangkat amalan ahlul bid’ah ke hadapan ALLAH Yang Maha Mulia. Barangsiapa membantu ahlul bid’ah (pada amalan bid’ah, pent.), maka sungguh dia telah membantu kehancuran Islam.” Diriwayatkan oleh Abu Nuaim 8/102-104 dari Al-Muntaqa An-Nafis hal 26-27.

Selanjutnya beliau mengatakan pula: Barangsiapa menikahkan saudara perempuannya dengan ahlul bid’ah, maka berarti dia telah memutuskan silaturahim dengannya dan barangsiapa duduk bersama ahlul bid’ah, maka ia tidak diberi hikmah.

Dan apabila ALLAH Yang Maha Mulia mengetahui dari seorang lelaki bahwa dia membenci ahlul bid’ah maka aku berharap ALLAH akan mengampuni dosanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya: “Seseorang itu di atas agama orang yang dicintainya, maka hendaklah setiap orang dari kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.”

5. Pengertian tentang siapa Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan siapa pula Ahlul Bid’ah wal Firqah

Sebagaimana diterangkan oleh para ulama adalah sebagai berikut: Berkata Abul Faraj Ibnu Jauzi Al Baghdadi dalam Talbis Iblis, halaman 17-18 (cet. th. 1928): “Maka sungguh telah jelas keterangan kami di atas bahwa Ahlus Sunnah itu adalah orang yang mengikuti sunnah (sunnah Nabi-NYA, pent.), sedangkan Ahlul Bid’ah adalah orang-orang yang menampakkan sesuatu dalam agama yang tidak ada contoh dari orang sebelumnya melakukan hal itu dan tidak ada sandaran (dalil)nya, oleh karena itu mereka menyembunyikan bid’ah mereka (tidak menampakkannya kepada sembarang orang, pent.), sedangkan Ahlul Sunnah tidak menutup-nutupi madzhab mereka, sehingga pendapat mereka jelas dan madzhab mereka dikenal dan kemenangan itu bagi mereka.”

6. Mengkritik, menyalahkan dan membicarakan penyimpangan ulama ahlus sunnah harus dengan bimbingan ulama pula.

Bila ada ulama yang memuji ulama yang mempunyai penyimpangan tersebut, tidak berarti ulama yang memuji itu menyetujui penyimpangan tersebut. Karena itu kritikan ulama terhadap alim (ulama) dengan rinci, lengkap dengan bukti dan hujah-hujahnya, lebih diperhatikan daripada yang memujinya. Sebab yang memujinya mungkin belum mengetahui penyimpangan orang yang dipujinya sedangkan pihak pengkritik lebih mengetahui hal penyimpangan tersebut. Hal ini merupakan kaedah ilmu hadits yang juga diterapkan dalam penilaian terhadap ulama.

Imam al Hafidh Khatib al Baghdadi dalam kitab beliau berjudul al-Kifayah Ilmi Ar Riwayah, hal.105, bab Al-Qaul Fil Jarh Wat Tadil Idzajtamaa Ayyuhuma Aula menjelaskan: “Telah sepakat ahlul ilmi (yakni ulama) bahwa siapa saja yang dicela oleh seorang atau dua orang dan dipuji oleh orang sebanyak itu, maka celaan itu lebih utama (untuk diperhatikan). Sebabnya ialah bahwa pencela itu memberikan perkara yang tersembunyi yang diketahuinya dan pada saat yang bersamaan benar pula ucapan pihak yang memujinya, dan pencela menyatakan kepada yang memujinya: Sungguh engkau (pemujinya) telah mengetahui keadaan pihak yang engkau puji itu secara dhahir-nya, dan engkau kosong dari pengetahuan yang tidak engkau ketahui tentang pengujian semestinya terhadap agamanya. Pemberitahuan orang yang memujinya tentang terpujinya orang tersebut tidak pula menafikan kejujuran pihak pencela dalam apa yang ia beritakan. Oleh karena itu celaan terhadap seseorang itu lebih diutamakam dari pujian terhadapnya.”

7. Mengambil ilmu dan riwayat dari ahlul bid’ah adalah tugas para ulama dan bukan tugas orang awam atau orang yang baru belajar agama.

Imam Al-khatib al-Baghdadi meriwayatkan bahwa Imam Malik bin Anas menyatakan: “Sesungguhnya ilmi ini (As-Sunnah) adalah agama, maka telitilah dari siapa kamu mengambil agamamu. Imam al-Barbahari meriwayatkan ucapan Sufyan Ats-Tsauri: Barang siapa yang cenderung mendengar dengan telinganya kepada ahli bid’ah, berarti dia keluar dari jaminan perlindungan ALLAH. Dan ALLAH serahkan dia kepadanya (bid’ah).(Syarh Sunnah Al-Barbahari, hal. 137 dengan tahqiq Abu Yasir Khalid bin qosim Ar Radadi). Imam Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah, jilid I, halaman 205-206, riwayat ke 44 membawakan perkataan Amr bin Qois Al-Malai: Apabila engkau melihat seorang anak muda di awal pertumbuhannya bersama Ahlus Sunnah maka kuatkanlah bagi masa depannya yang baik dan apabila engkau melhat ia bersama ahli bid’ah, maka putus asalah darinya (putus asa mengharapkan kebaikannya), karena anak muda itu keadaannya berdasarkan awal pertumbuhannya.

8. Mencintai atau membela dan memuliakan ahlul bid’ah adalah suatu penyimpangan manhaj yang sangat berbahaya dan merupakan dosa yang besar dan keji.

Imam Ibnul Jauzi Abul Faraj Al-Baghdadi meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahuu Alaihi Wa Sallam dari Aisyah Radhiallahu Anha, yang artinya: “Barangsiapa menghormati ahlul bid’ah maka sungguh ia telah membantu untuk meruntuhkan Islam.” (Talbis Iblis, hal. 14). Berkata Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Al-Muntaqa An-Nafis, hal. 37 Hadits ini hasan Insya ALLAH.

Berkata Syaikhul Islam ketika membantah Al-Ittihadiyah (wihdatul wujud): Wajib menghukum setiap orang yang menisbahkan diri kepada mereka, membela serta memuji mereka, mengagungkan buku-buku mereka atau diketahui membantu dan menolong mereka, tidak suka berbicara tentang (kejelekan) mereka atau mencari alasan bagi keringanan perbuatan mereka dengan dalih bahwa ucapan mereka tidak dapat dipahami atau berkata dengan meragukan pengarang yang namanya tercantum dalam kitab mereka yang sesat itu.

Alasan-alasan seperti ini tidak akan diucapkan, kecuali oleh orang yang bodoh atau munafik. Bahkan wajib menghukum setiap orang yang mengetahui keadaan mereka tetapi tidak membantu menegakkan hujah untuk membantah mereka karena membantah mereka adalah kewajiban terbesar disebabkan mereka telah merusak akal dan agama orang banyak, para Syaikh dan ulama serta para raja dan penguasa.
Mereka telah membuat kerusakkan di muka bumi dan menghalangi orang dari jalan ALLAH. (Fatawa, juz II/132).


Penutup

Demikianlah manhaj dalam beragama yang kami saripatikan dari keterangan para ulama salafus shalih. Dengan dasar manhaj ini kami berupaya menggalang persatuan dan menegakkan al-wala wal bara. Adapun dengan manhaj ini kami dianggap bodoh, suka mencap orang dengan tuduhan bid’ah dan sesat, suka membuat perpecahan, anti persatuan dan ukhuwah Islamiyah, kami serahkan semua tuduhan itu kepada ALLAH Subhanahu Wa Taala.

Kami tetap berdoa kepada ALLAH, semoga kami mendapat petunjuk dari ALLAH dan istiqomah di atas jalan-Nya dengan menggali ilmu salafus shalih, mengamalkan dan mengajarkannya kepada segenap kaum muslimin dan bahkan segenap umat manusia. Kami juga memohon kepada ALLAH Subhanahu Wa Taala. agar orang-orang yang berada dalam penyimpangan mendapat petunjuk dan ampunan ALLAH, sehingga kita semua dipersatukan oleh ALLAH Subhanahu Wa Taala. di jalan-Nya dan kemudian dibangkitkan di hari kiamat bersama para shahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, tabiin dan tabiut tabiin.

Sumber: http://PerpustakaanIslam.Com