Kamis, 28 Agustus 2008

Qiyam Ramadhan


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)


Dalilnya:
  • Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari ALLAH) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hadits Muttafaq 'Alaih)
  • Dari Abdurrahman bin Auf radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebut bulan Ramadhan seraya bersabda, “Sungguh, Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan ALLAH puasanya dan kusunatkan shalat malamnya. Maka barangsiapa menjalankan puasa dan shalat malam pada bulan itu karena iman dan mengharap pahala, niscaya bebas dari dosa-dosa seperti saat ketika dilahirkan ibunya." (HR. An-Nasa'i)



Hukumnya

Qiyam Ramadhan (shalat malam Ramadhan) hukumnya sunnah mu'akkadah (ditekankan), dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Beliau SAW anjurkan serta sarankan kepada kaum Muslimin. Juga diamalkan oleh Khulafa' Rasyidin dan para sahabat dan tabi'in. Karena itu, seyogianya seorang muslim senantiasa mengerjakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan dan shalat malam pada sepuluh malam terakhir, untuk mendapatkan Lailatul Qadar

Shalat Tarawih:

Menurut kelaziman, pelaksanaan shalat Tarawih adalah segera setelah pelaksanaan shalat Isya’ dan sunat Rawathibnya. Shalat tarawih terrnasuk qiyam Ramadhan. Karena itu, hendaklah bersungguh-sungguh dan memperhatikannya serta mengharapkan pahala dan balasannya dari ALLAH.

Malam Ramadhan adalah kesempatan yang terbatas bilangannya dan orang mu'min yang berakal akan memanfaatkannya dengan baik tanpa terlewatkan.
Jangan sampai ditinggalkan shalat tarawih, agar memperoleh pahala dan ganjarannya. Dan jangan pulang dari shalat tarawih sebelum imam selesai darinya dan dari shalat witir, agar mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “"Barangsiapa mendirikan shalat malam bersama imam sehingga selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk.” (HR. Para penulis kitab Sunan, dengan sanad shahih) Lihat kitab Majalisu Syahri Ramadhan, oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, him. 26-30.
Shalat tarawih adalah sunat, dilakukan dengan berjama'ah lebih utama.

Demikian yang masyhur dilakukan para sahabat, dan diwarisi oleh umat ini dari mereka generasi demi generasi. Mengenai jumlah rakaat shalat tarawih ini, banyak sekali pendapat yang berbeda. Dalam suatu riwayat shalat tarawih boleh dilakukan sebanyak 20 raka'at, 36 raka'at, 11 raka'at, atau 13 raka'at.

Sebagian yang berpendapat membolehkan 20 atau 36 rakaat, berpendapat banyak atau sedikitnya raka'at tergantung pada panjang atau pendeknya bacaan ayat. Apabila surat yang dibaca pendek, disukai shalatnya dibanyakkan rakaatnya. Demikian sebaliknya, bila surat yang dibaca surat yang panjang, disukai rakaatnya sedikit. Dalam shalat diminta supaya khusyu', bertuma'ninah, dihayati dan membaca dengan pelan; dan itu tidak bisa dengan cepat dan tergesa-gesa.

Dan shalat tarawih yang lebih baik adalah apabila shalat tersebut hanya dilakukan 11 raka'at. Yaitu berdasarkan hadits Aisyah radiallahu'anha yang artinya: “Tiadalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menambah (rakaat), baik di bulan Ramadhan atau (di bulan) lainya lebih dari sebelas rakaat.” (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa'i).

Dan mencukupkan diri pada yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah merupakan perbuatan yang lebih selamat.

Keutamaannya

Qiyamul lail (shalat malam) disyariatkan pada setiap malam sepanjang tahun. Keutamaannya besar dan pahalanya banyak. Firman ALLAH Ta'ala, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya ''(Maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur, untuk mengejakan shalat malam) , sedang mereka berdo'a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rizki yang KAMI berikan kepada mereka.” (As-Sajdah: 16).

Ini merupakan sanjungan dan pujian dari ALLAH bagi orang-orang yang mendirikan shalat tahajjud di malam hari. Dan sanjungan ALLAH kepada kaum lainnya dengan firman-NYA, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka momohon ampun (kepada ALLAH).” (Adz-Dzaariyaat: 17-18). “Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (Al-Furqaan: 64).

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (dengan mengatakan: Hadits ini hasan shahih dan hadist ini dinyatakan shahih oleh Al-Hakim) dari Abdullah bin Salam, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sebarkan salam, berilah orang miskin makan, sambungkan tali kekeluargaan dan shalatlah pada waktu malam ketika semua manusia tidur, niscaya kalian masuk Surga dengan selamat.”

Juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Bilal, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kamu mendirikan shalat malam karena itu tradisi orang-orang shalih sebelummu. Sungguh, shalat malam mendekatkan dirimu kepada TUHAN-mu, menghapuskan kesalahan, menjaga diri dari dosa dan mengusir penyakit dari tubuh.” (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menyetujuinya, 1/308).

Dalam hadits kaffarah dan derajat, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Dan termasuk derajat: memberi makan, berkata baik, dan mendirikan shalat malam ketika orang-orang tidur.” (Dinyatakan shahih oleh Al-Bukhari dan At-Tirmidzi)" Lihat kitab Wazhaa'ifu Ramadhan, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 42, 43.
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam, “Sebaik-baik shalat setelah fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim).

Bilangannya :

Termasuk shalat malam: witir, paling sedikit satu raka'at dan paling banyak 11 raka'at. Boleh melakukan witir dengan satu raka'at saja, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Barangsiapa yang ingin melakukan witir dengan satu raka'at maka lakukanlah.” HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i.

Atau witir dengan tiga raka'at, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Barangsiapa yang ingin melakukan witir dengan tiga raka 'at maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i)• Hal ini boleh dilakukan dengan sekali salam, atau shalat dua raka'at dan salam kemudian shalat raka'at ketiga.

Atau witir dengan lima raka'at, dilakukan tanpa duduk dan tidak salam kecuali pada akhir raka'at. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Barangsiapa ingin melakukan witir dengan lima raka'at maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i).

Dari Aisyah radhiallahu 'anha, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasanya shalat malam tiga belas raka'at, termasuk di dalamnya witir dengan lima raka 'at tanpa duduk di salah satu raka'atpun kecuali pada raka'at terakhir.” (Hadits Muttafaq 'Alaih). Ketiga hadits tersebut dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban.

Atau witir dengan tujuh raka'at; dilakukan sebagaimana lima raka'at. Berdasarkan penuturan Ummu Salamah radhiallahu 'anha, “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasanya melakukan witir dengan tujuh dan lima raka 'at tanpa diselingi dengan salam dan ucapan.” (HR, Ahmad, An-Nasa'i dan Ibnu Majah).
Boleh juga melakukan witir dengan sembilan, sebelas, atau tiga belas raka'at. Dan yang afdhal adalah salam setiap dua rakaat kemudian witir dengan satu raka'at.

Shalat malam pada bulan Ramadhan memiliki keutamaan dan keistimewaan atas shalat malam lainnya. Terutama jangan sampai luput yaitu pada malam yang diperkirakan malam Lailatul Qadr, yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadhan.


PUASA ADALAH PERISAI


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 183)

Seperti seorang prajurit kuno, menyerang dengan pedang, bertahan dengan perisai. Dalam kecamuk perang, serangan musuh tidak hanya berupa bacokan pedang dan tombak, tapi juga tembakan anak panah. Maka perisai yang utuh dan kuat mutlak diperlukan untuk perlindungan. Sedikit lubang pada perisai, berpeluang ditembus anak panah karena bentuknya yang kecil dan serangannya cepat dan beruntun.

Pula seorang hamba, setiap waktunya adalah peperangan melawan nafsu, syahwat dan setan. Serangan-serangan setan berupa bujukan untuk memperturutkan syahwat dan maksiat akan sangat sulit ditahan bila tidak mempunyai perisai yang kokoh. Luka-luka akibat serangan setan akan membawanya pada kebinasaan dan menjatuhkannya ke neraka. Shaum (puasa) adalah perisai baginya. Rasulullah SAW bersabda, ”Shaum itu adalah perisai dari neraka.” (HR. Tirmidzi)


Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi ulama mengatakan, shaum menjadi perisai syahwat dengan cara melemahkan kekuatan fisik. Dikatakan juga, shaum menjadi perisai dari sabetan syahwat yang dapat melukainya. Ibnul ’Arabi menjelaskan, shaum disebut perisai adalah karena dengan shaum seorang hamba berusaha menahan syahwatnya. Sedangkan neraka dikelilingi oleh syahwat. Sehingga apabila seorang hamba mampu menahan diri dari serangan syahwat di dunia, ia akan selamat dari jeratan api neraka di akhirat. Keterangan ini terdapat di dalam Fathul bari karya Imam Ibnu Hajar dalam syarh hadits 1761.

Dan selamat dari neraka, berarti akan mendapatkan Jannnah. ALLAH berfirman, ”Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Keterangan di atas berlaku untuk semua shaum, baik sunnah apalagi shaum wajib seperti pada bulan Ramadhan ini. Tubuh yang lemas, nuansa Ramadhan yang relatif lebih kondusif, serta semangat untuk memperoleh fadhilah akan semakin memperkuat pertahanan kita.

Shaum Adalah Sabar Yang Utama

Kedudukan sabar bagi iman laksana kepala bagi tubuh. Tubuh tak bernyawa tanpa kepala. Begitupun dengan iman, tak akan bertahan jika kesabaran sirna.
Sabar dalam menghadapi musibah memang utama, tapi sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menghindari maksiat lebih utama lagi, menurut mayoritas ulama. Shaum termasuk kesabaran yang sangat utama, karena shaum merupakan bentuk kesabaran untuk taat kepada ALLAH, juga sabar untuk meninggalkan maksiat.

Sebagian ulama menjelaskan, bahwa shaum menjadi perisai, yakni pencegah dari segala maksiat dan dosa. Ketika orang menjalankan shaum karena ALLAH, maka sudah tentu ia akan menjaganya dari segala yang merusak shaumnya. Ia akan menjauhkan dirinya dari Ghibah, bicara kotor, menipu, apalagi minum khamr dan zina, amat jauh kemungkinan orang shaum jatuh ke dalamnya.

Maka shaum sangat efektif untuk membersihkan hati dari segala kotoran dan mencegah masuknya noda ke dalam hati. Karena noda yang mengotori bersumber dari dosa. Dan apabila hati kita tersebut telah tertutup dengan noda-noda dari dosa, maka akan sangat sulitlah hati untuk menerima kebenaran, diajak kepada kebaikan, bahkan hati tersebut dapat dikatakan mati. Iman tak akan hidup di hati yang mati.

Harus Utuh

Rasulullah SAW bersabda, ”Shaum itu adalah perisai selama ia tidak mengoyaknya.” (HR. An-Nasai)
Untuk memberikan proteksi yang maksimal, perisai haruslah kuat dan utuh, tidak koyak apalagi berlubang. Maka untuk menjaga agar perisai shaum terhindar dari cacat, kita harus mewaspadai berbagai hal yang dapat merusak perisai kita.

Yang pertama tentu saja adalah pembatal shaum seperti makan, minum, dan jima’, yang mana semua muslim pasti mengetahuinya. Namun, ada beberapa hal yang bisa jadi merupakan pembatal tapi masih sedikit yang mengetahuinya, karena syubhat atau meragukan, seperti infus, suntikan bius, transfusi darah, donor darah, makan saat shubuh telah berkumandang, obat mata yang terkadang sampai ke tenggorokan, obat telinga dan sebagainya.

Tak ada pilihan kecuali kita harus mempelajari dan memahami agar shaum kita tidak rusak dan batal. Mungkin setahun sebelumnya kita pernah mendengar atau membaca, namun seringkali masih saja kita lupa. Maka tak ada salahnya, kita kembali mempelajari dan mengkaji mengenai shaum dan Ramadhan agar shaum kita menjadi lebih sempurna.

Kedua, barangkali kita bisa selamat dari yang pertama dan bisa menjaga shaum kita dari pembatal-pemabtal yang sifatnya zhahir seperti tersebut di atas. Namun ada hal lain yang perlu diperhatikan dan dihindari, karena bisa merusak perisai shaum dan membuatnya terkoyak.
Rasulullah SAW bersabda, ”Shaum itu perisai, maka dilarang melakukan rafats dan perbuatan bodoh.” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar menjelaskan, rafats artinya ucapan keji atau menjurus pada hal-hal porno dan jorok. Bisa juga juga yang mencakup segala hal yang menjurus pada jima’ (hubungan seks) yang lain, memandang yang haram seperti pornografi atau lainnya, pacaran dan lainnya, lebih-lebih yang sudah mengarah ke tindakan zina. Sedang perbuatan bodoh adalah seperti berteriak-teriak dan melakukan hal-hal tak berguna lainnya.

Dalam hadits riwayat Imam An-Nasa’i di atas, Imam Ad-Darimi menambah lafazh ”bil ghibah”, maknanya ”Shaum adalah perisai selagi belum dirusak dengan ghibah atau menggunjing orang.”

Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda, ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalan dusta maka ALLAH tidak lagi butuh atas apa yang ia lakukan berpa meninggalkan makan dan minum (shaum)nya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Imam Ath-Thayibi menjelaskan ”Az-Zur” atau perkataan dusta dalam hadits ini juga bermakna ucapan bathil lainnya, seperti mencaci, kesaksian dusta, fitnah, mengada-ada, menggunjing dan yang semisal.

Perusak kedua ini tak kalah berbahaya dari yang pertama. Sebab, tak jarang manusia sering melakukan tapi merasa tenang karena shaumnya tidaklah batal karenanya. Memang menurut Jumhur Ulama, hal tersebut tidak membatalkan shaum yang mewajibkan qadha’, tapi apalah guna jika karenanya shaum yang dilakukannya tidak dipedulikan lagi oleh ALLAH. Dan karena itu ada ulama, seperti Ibnu Hazm menganggap ghibah dapat membatalkan shaum.


Melemahkan Perisai

Ketiga, mungkin bukan pembatal atau pun perusak. Akan tetapi, mengisi Ramadhan dengan kesibukan duniawi saja dikawatirkan dapat merusak perisai shaum.

Padahal seperti kata pepatah, pertahanan yang baik adalah menyerang. Selain dengan shaum, di bulan mulia ini kita bisa semakin memperkokoh benteng kita dengan amal kebaikan lain, bukan hanya dengan urusan duniawi.

Sayangnya, meski Ramadhan, seringkali jadual mencari penghidupan kita tak jauh beda dengan hari biasanya. Waktupun habis untuk bekerja. Sedang untuk membaca Al-Qur’an hingga khatam, shalat lebih lama dan sebagainya, waktu tak lagi bersisa. Untuk itu, dibutuhkan kejelian dan keseriusan. Kita bisa mengatur jadual dengan cara memanfaatkan waktu-waktu senggang pada waktu jam kerja untuk membaca Al-Qur’an, dzikir atau shalat sunat.

Amatlah sayang rasanya, jika Ramadhan yang penuh berkah ini lewat dan kita tidak dapat menjaring berjuta faidah di dalamnya.
Sedangkan untuk kepentingan dunia kita sangat bersemangat dan sangat takut tidak kebagian atau hanya dapat sedikit. Padahal, akhirat itu kekal dan dunia itu fana.

Sumber: Ar-Risalah no. 75 Tahun 2007


Minggu, 24 Agustus 2008

Andai Besok Ramadhan Terakhir


Barangsiapa melaksanakan shiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari ALLAH, niscaya dosa-dosanya telah lalu akan diampuni (HR. Bukhari-Muslim)

Apa yang akan kita lakukan jika kita diberitahu bahwa seorang pejabat tinggi misal seorang Menteri akan datang ke rumah kita? Kita pasti akan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangannya. Mulai dari hidangan, tempat menginap sampai alat-alat elektronik untuk mengabadikan momen bersama beliau. Dan persiapan itu akan kita persiapkan dengan sungguh-sungguh jika kita tahu bahwa itu adalah kesempatan satu-satunya kita miliki.

Keutamaan Ramadhan jelas lebih besar daripada keutamaan seorang pejabat tinggi. Di bulan itu ada satu hari yang lebih baik dari seribu bulan. Di bulan itu pintu neraka ditutup dan pintu jannah dibuka. Di bulan itu kita diperintah untuk melaksanakan shiyam Ramadhan yang ALLAH sendirilah yang akan membalasnya. Di bulan itu amalan sunnah yang kita amalkan bernilai amalan fardhu, sedangkan amalan fardhu digandakan 70 kali. Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan lainnya.


Mestinya beberapa keutamaan Ramadhan di atas sudah membuat kita bersiap-siap menyambutnya secara ‘luar biasa’. Nah, bagaimana pula kiranya, jika ternyata Ramadhan ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita? Seperti apakah persiapan yang kita lakukan?
Di antara yang bisa dan semestinya kita lakukan dalam upaya menyambut Ramadhan adalah:

Muraja’ah Kajian Fiqh Shiyam dan Qiyam Ramadhan

Ini yang paling utama. Sebab al-’ilmu qablal qaul wal ’amal, sebelum berbicara dan berilmu harus tahu lebih dahulu ilmunya. Meski pernah mempelajarinya, mengulanginya kembali tentu tidak ada salahnya. Apalagi jika kita mendapati hal-hal baru atau hal-hal yang sudah pernah kita baca namun baru kini kita mengerti maksud sebenarnya.

Mengkaji fiqh shiyam meliputi syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, pembatal-pembatalnya, hal-hal yang disunnahkan, dan perkara-perkara yang dimakruhkan. Juga, berbagai perbedaan pendapat di antara para ulama sehubungan dengan semua itu.

Baik juga jika kita mengkaji hikmah-hikmah shiyam supaya kita dapat menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Dan sebelum menunaikannya, kita patrikan di dalam benak kita hadits berikut, “Barangsiapa melaksanakan shiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari ALLAH, niscaya dosa-dosanya telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari-Muslim)

Qiyam ramadhan atau shalat Tarawih adalah amalan sunnah yang sangat ditekankan di bulan Ramadhan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menunaikan shalat Tarawih berjama’ah di masjid selama tiga hari berturut-turut dan sekiranya tidak khawatir para sahabat akan mengira bahwa shalat Tarawih itu itu wajib dikerjakan secara berjama’ah di masjid, niscaya Beliau terus melaksanakannya.

Dan sebaiknya kita patrikan pula dibenak kita, hadits shahih berikut, “Barangsiapa melaksanakan qiyam Ramadhan (Tarawih) dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari ALLAH, niscaya dosa-dosanya telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari-Muslim)

Intensifikasi Ibadah Di Bulan Ramadhan

Ini penting, karena tabiat manusia akan merasa sangat kesulitan jika langsung dibebani dengan tugas yang berat. Shiyam dan qiyam di bulan Ramadhan bukanlah amalan yang ringan kecuali bagi yang sudah terbiasa melakukan shiyam sunnah dan qiyamullail pada malam-malam selain Ramadhan.

Rasulullah SAW yang sudah terbiasa mengamalkan shiyam sunnah dan senantiasa menjaga qiyamullail, melipatgandakan amal ibadah Beliau, khususnya shiyam di bulan Sya’ban. A’isyah menyatakan, “Aku tidak pernah menyaksikan Rasulullah SAW menyempurnakan shiyam sebulan penuh selain shiyam Ramadhan. Aku juga tidak menyaksikan Beliau mengerjakan shiyam sebanyak yang Beliau kerjakan di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dan di riwayat lain A’isyah berkata, “Aku tidak pernah menyaksikan Beliau melaksanakan shiyam dalam satu bulan melebihi shiyam Beliau di bulan Sya’ban. Beliau melaksanakan shiyam selama bulan Sya’ban, penuh. Beliau melaksanakan shiyam di bulan Sya’ban, kecuali beberapa hari saja.” (HR. Muslim)

Dengan membiasakan shiyam, qiyam dan banyak membaca Al-Qur’an di bulan Sya’ban, diharapkan nantinya di bulan Ramadhan kita sudah bisa langsung ’tancap gas’, beramal dengan sungguh-sungguh tanpa dihinggapi rasa malas atau berat dalam menunaikannya. Tidak perlu pemanasan dan penyesuaian terlebih dahulu.

Menebalkan Iman

Kuat dan tebalnya keimanan kita, khususnya keimanan kepada hari akhir memiliki andil yang sangat besar tehadap keseriusan kita dalam beramal. Jika kita yakin bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan yang abadi, bahwa kenikmatan dan siksaan di sana adalah rasa yang sebenarnya-karena dirasakan oleh jasmani dan ruhani sekaligus - sedangkan kehidupan dunia adalah kehidupan yang sebentar atau sementara saja, pastilah kita - yang cerdas dan berakal - akan mendahulukan semua yang diperlukan demi kesuksesan di akhirat.

Tentang nilai dunia, Rasulullah SAW bersabda, “Dibandingkan di akhirat, dunia itu hanya seperti air yang menempel di jari salah seorang dari kalian ~ lalu Yahya (salah seorang perawi hadits ini) mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ~ di lautan. Lihatlah, seberapa banyak (air) yang dibawanya.” (HR. Muslim)
Ya, sungguh tiada artinya kenikmatan dunia dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat.

Kajian tentang apa yang telah terjadi setelah kita mati di alam barzakh kelak dan bahwa seseorang itu bisa meninggalkan dunia yang fana ini kapan saja, tentunya menyadarkan kita untuk bersiap-siap menghadapinya, kapan saja.

ALLAH berfirman, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah KAMI berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya RABB-ku, mengapa ENGKAU tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS. Al-Munafiqun: 10)

Kajian tentang nikmatnya jannah dan perihnya neraka akan menyadarkan kita dan membuat kita sangat merindukan kehidupan akhirat. Terlebih jika beban berat senantiasa kita pikul dari waktu ke waktu.

Keimanan kepada hari akhir yang kuat akan mengurangi sikap berlebihan kita dalam mencintai dan mengurusi dunia. Kita tidak bakalan rela membiarkan dunia menyita waktu kita. Dan Ramadhan yang memiliki begitu banyak kelebihan terlalu sayang dibiarkan berlalu. Apalagi setelah selama sebelas bulan kita banyak dilalaikan oleh nikmat dunia.

Berazzam Untuk Tidak Menyia-nyiakan Ramadhan

Setelah ketiga persiapan pertama sudah maksimal dan ramadhan di ambang pintu, tiba saatnya untuk membulatkan tekad, berazzam untuk tidak menyia-nyiakan Ramadhan. Tidak membiarkan sedetikpun berlalu kecuali dalam rangka ibadah.

Dengan tekad ini semoga jika seandainya kita tidak berkesempatan lagi berjumpa dengan Ramadhan, kita tidak terhalangi dari fadilahnya. Yang demiian ini karena Rasulullah SAW telah bersabda, ”Hanyasanya amal-amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap seseorang itu akan mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari)

Semoga pula dengan datangnya Ramadhan ini ketakwaan kita kepada ALLAH semakin meningkat, karena sesungguhnya satu ciri shiyam yang diterima itu adalah meningkatnya takwa. Sebagaimana ALLAH berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Sumber: Ar-Risalah: no. 28 tahun 2003

Selasa, 19 Agustus 2008

Agar Tak Sekedar Haus Dan Lapar

Dari Surat Al-Baqarah ayat 183, bisa kita ketahui bahwa taqwa menjadi tujuan diwajibkannya berpuasa selama di bulan Ramadhan atas orang-orang beriman. Dengan kata lain, bahwa puasa adalah proses yang dijamin oleh syari’at, yang akan menyampaikan seseorang pada ketaqwaan; melaksanakan perintah ALLAH dan menjauhi larangan-NYA. Ayat tersebut adalah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Yang demikian merupakan wujud kemurahan hati dan kasih sayang ALLAH agar manusia selamat dan terjaga dari neraka dan apa-apa yang ditakutinya.

Saat Kebaikan Dimudahkan

ALLAH telah menyertai kewajiban tersebut dengan berbagai kemudahan bersamanya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Apabila datang bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu jannah, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dibukannya pintu jannah pada bulan ini adalah lantaran banyaknya pintu-pintu amal shalih dan banyak pula motivasi bagi yang mau mengamalkannya. Sedangkan ditutupnya pintu neraka lantaran sedikitnya kemaksiatan yang terjadi atas orang-orang yang beriman. Dan setan dibelenggu sehingga tidak bisa bebas melakukan sesuatu yang dibebaskan pada bulan sebelumnya. Maka barangsiapa yang mau memperhatikan niscaya bisa menyaksikan betapa banyak ladang amal yang terbuka dankemudahan bagi siapa saja yang hendak melaksanakan ketaatan kepada-NYA.

Demikian pula faedah shaum yang demikian banyak dan beragam, adalah karunia ALLAH sebagai jalan, sekaligus hiasan kebaikan dan tambahan keutamaan bagi siapa saja yang memenuhi panggilan-NYA.
Di antara faedah shaum adalah mendapatkan kebaikan yang banyak di dunia dan akhirat. “Dan puasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Shaum juga menjadikan seorang hamba terbiasa dengan kesabaran dan menanggung beban maupun kesusahan. Karena shaum menuntut manusia meninggalkan apa yang menjadi keinginan dan seleranya.

Shaum juga memungkinkan manusia untuk menundukkan nafsunya yang cenderung pada syahwat. “Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh TUHAN-ku”.(QS. Yusuf: 53) maka orang yang shaum berarti mengekang kendali nafsu dan menundukkannya. Shaum juga dapat melemahkan aliran setan di dalam jasad, karena setan mengalir dalam diri anak Adam bersama aliran darah.
Shaum juga bisa mengingatkan seorang hamba akan nikmat ALLAH dan bersyukur karenanya. Tatkala ia lapar dan dahaga, maka timbul kesadaran bahwa ALLAH yang berkuasa untuk memberikan nikmat kepadanya dengan mempermudah baginya mendapatkan makanan dan minuman.

Selain itu, shaum juga bisa melahirkan kepedulian terhadap apa yang diderita orang-orang fakir yang lapar dan kehausan sebagaimana ia haus dan lapar saat berpuasa. Dalam waktu yang sama runtuh pula kesombongan dan perasaan tinggi hati di antara manusia ketika seluruhnya; baik yang kaya maupun yang miskin, baik yang rakyat maupun pejabat, dengan serentak harus sama-sama tunduk patuh sebagai hamba di hadapan ALLAH.

Dan faedah shaum yang lainnya, adalah shaum juga bisa mewujudkan solidaritas dan persatuan kaum muslimin dan keterikatan bathin antara yang satu dengan yang lainnnya dikarenakan mereka sama-sama berpuasa serentak di seluruh dunia. Bahkan dari tinjauan medis, shaum terbukti memberi manfaat dan menyehatkan badan, karena dengan kosongnya perut dari makanan-makanan yang mendatangkan mudharat. Masih banyak lagi faedah puasa.

Supaya membuahkan Pahala

Namun hendaknya diingat, agar shaum memberi manfaat sebagaimana yang dikehendaki, maka orang yang berpuasa harus menetapi semua ketentuan dan menjaga batasan-batasannya.

Yang pertama niat, harus ikhlas semata-mata hendak mencari ridho ALLAH, bukan karena riya’ (agar dilihat orang), sum’ah (ingin didengar orang), ikut-ikutan orang, atau toleransi pada keluarga atau lingkungan. Dalam sebuah hadits yang telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim disebutkan, Abu Hurairah berkata, telah bersabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, karena penuh keimanan dan mengharapkan ridha ALLAH, maka dosa-dosa yang telah lalu akan diampuni.”

Yang Kedua, harus menetapi sunnah Rasulullah SAW. Tidak boleh terkontaminasi bid’ah, baik dalam persiapan, pelaksanaan, maupun ketika selesai saat syawal menjelang. Karena Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang membuat (sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) ini, yang bukan darinya (Al-Qur’an) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Batasannya Harus Dijaga

Sesungguhnya shaum memiliki perkara-perkara yang wajib dijaga dari hal-hal yang bisa membatalkan, atau dari apa saja yang bisa merusaknya. Ali bin Abi Thalib pernah bertanya, “Ya Rasulullah amal apakah yang paling utama di bulan ini?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya Abal Hasan, amal yang paling utama dibulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan ALLAH.”
Orang shaum adalah orang yang menjaga anggota badannya dari dosa, menjaga lisannya dari dusta, berkata kotor, dan bersaksi palsu, menjaga perutnya dari makanan dan minuman, dan menjaga kemaluannya dari tindakan keji. Apa yang dia ucapkan dan apa yang dia perbuat, semuanya hanya yang baik dan bermanfaat.

Di antara adab shaum adalah, hendaknya tidak terlalu banyak makan di waktu malam, tetapi sekedarnya saja. Karena tiadalah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari memenuhi perutnya. Jika seseorang memenuhi perutnya di awal alam, maka dia tidak dapat lagi memanfaatkan sisa malamnya untuk sesuatu amal yang utama, seperti membaca Al-Qur’an, Qiyamul lail dan sebagainya. Demikian pula di waktu sahur, perut yang terlalu kenyang menyebabkan malas dan lesu di siang hari.

Di antara adabnya pula, adalah mengakhirkan sahur, yakni memulai shaum (selesai sahur) tatkala terbit fajar yang kedua dan bersegera berbuka ketika matahari telah pasti terbenam dengan ia menyaksikannya sendiri atau ketika ia mendengar adzan. ALLAH berfirman, “Dan makan dan minumlah hingga terang benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Jika ada orang-orang yang begadang sampai larut malam, kemudian makan sahur sebelum tidurnya satu atau dua jam sebelum fajar, padahal yang demikian terkumpul setidaknya tiga kesalahan, bahwa mereka shaum sebelum waktu shaum, bisa jadi ia meninggalkan jama’ah shalat shubuh yang berarti telah bermaksiat kepada ALLAH dengan meninggalkan shalat berjama’ah yang wajib atasnya, dan ketiga bahwa terkadang hal tersebut menyebabkan dia mengerjakan shalat setelah habis waktunya. Mereka tidak shalat melainkan setelah terbit matahari. Sungguh ini musibah besar. ALLAH berfirman, “Maka kecelakanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Ibarat membangun sebagian sambil menghancurkan sebagian yang lainnya. Ingin menegakkan satu rukunnya, yakni shaum namun justru merobohkan satunya, yakni shalat.

Rugilah Yang Menyia-nyiakannya

Sungguh, Ramadhan adalah bulan paling mulia. hari-harinya adalah yang paling utama, malamnya adalah malam-malam yang paling bermakna, dan setiap detik waktunya adalah yang paling berharga. Di bulan ini ALLAH menurunkan berkah, rahmat, dan maghfirah-NYA. Di bulan ini nafas menjadi tasbih, tidur di hitung ibadah, amal-amal diterima, pahala dilipatgandakan dan doa dikabulkan.

Karena itu, celakalah orang-orang tidak mengambil manfaatnya, selain haus dan lapar. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung. amin


Sumber : Ar-Risalah No. 63/tahun 2006

Jumat, 15 Agustus 2008

Marhaban Ya Ramadhan

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.”
(QS Al-Baqarah:183)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: Adalah Rasulullah SAW memberi khabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda, "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. ALLAH mewajibkan kepadamu puasa didalamnya; pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa'." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)

Persiapan Menyambut Ramadhan

Beberapa hari lagi kita akan kedatangan bulan Ramadhan 1427 H. Sebagai muslim, sudah seharusnya kalau kedatangan Ramadhan tahun ini kembali kita sambut dengan penuh kegembiraan karena insya ALLAH, kesempatan menikmati ibadah Ramadhan kembali kita peroleh. Target utama dari ibadah Ramadhan sebagaimana yang disebutkan pada ayat di atas adalah semakin mantapnya ketaqwaan kepada ALLAH SWT. Sebagai wujud dari rasa gembira itulah, Ramadhan tahun ini tidak boleh kita lewatkan begitu saja tanpa aktivitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan diri, keluarga dan masyarakat kita kepada ALLAH SWT. Maka, persiapan-persiapan kearah itu sudah harus kita lakukan, baik secara pribadi maupun bersama-sama.

Ramadhan yang penuh berkah harus kita jadikan sebagai momentum untuk menyelamatkan masyarakat dengan melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada ALLAH), baik dengan taubat, munajat dan menjalankan sejumlah peribadatan maupun dengan khidmat yakni memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat agar kehidupan kita betul-betul dapat dirasakan manfaatnya bagi orang lain dan perbaikan masyarakat dapat kita wujudkan dari waktu ke waktu, baik perbaikan diri, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.

Sekurang-kurangnya, ada tiga klasifikasi program yang harus kita persiapkan. Pertama, tarhib atau menyambut Ramadhan dengan mengkondisikan diri, keluarga dan masyarakat untuk menyambut dan mengisi Ramadhan yang mubarok dengan berbagai aktivitas yang dapat memantapkan ketaqwaan. Secara pribadi ada beberapa hal yang harus dilakukan:

Pertama, menjaga kondisi fisik agar tetap sehat sehingga ibadah Ramadhan seperti puasa, tarawih, tilawah dan lain-lain dapat kita laksanakan dengan baik, karena bila sakit amat sulit bagi kita untuk melaksanakan berbagai aktivitas Ramadhan yang memang amat menuntut kesiapan fisik.

Kedua, mengingat atau mengkaji kembali fiqih yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan sehingga pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik karena didasari pada pemahaman yang baik.

Ketiga, segera membayar atau mengqadha puasa yang dengan sebab-sebab tertentu tidak bisa kita laksanakan pada Ramadhan tahun lalu.

Keempat, mengkondisikan diri dengan menunaikan ibadah-ibadah yang sunat seperti puasa bulan Sya'ban, tadarus Al-Qur'an dan sebagainya.

Kelima, saling maaf memaafkan dengan sesama kaum muslimin, sehingga dalam memasuki Ramadhan, dosa kita dengan sesama manusia sudah kita hapus sehingga pada bulan Ramadhan hanya menyelesaikan dosa kepada ALLAH SWT, sehingga ketika Ramadhan berakhir dan tiba hari raya Idul Fitri, kita benar-benar berada dalam keadaan fitrah atau suci.

Setelah mempersiapkan pribadi, mempersiapkan keluarga dan masyarakat untuk menunaikan aktivitas dan ibadah Ramadhan juga harus kita lakukan. Diantara aktivitas yang bisa kita lakukan untuk mengkondisikan masyarakat untuk menyambut Ramadhan antara lain: pemasangan spanduk dan stiker penyambutan Ramadhan dengan slogan-slogan yang menumbuhkan semangat beribadah Ramadhan dengan segala aktivitasnya, menyelenggarakan tabligh akbar, membentuk panitia kegiatan Ramadhan di masjid, mushalla dan kerohanian Islam baik di kantor, kampus maupun sekolah dan klub-klub seperti olah raga, kesenian dll dengan mencanangkan sejumlah program dan sebagainya.

Persiapan menyambut Ramadhan juga harus dilakukan oleh para pengelola media massa, baik cetak maupun elektronik dengan menyiapkan acara dan rubrik Ramadhan yang berkualitas. Tegasnya semua pihak dari kaum muslimin harus mempersiapkan diri menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan perencanaan yang matang, untuk itu mutlak keharusan pembentukan panitia kegiatan Ramadhan agar aktivitas Ramadhan bisa dilaksanakan dengan baik.

Menghidupkan Ramadhan

Ihya atau menghidupkan Ramadhan dengan berbagai aktivitas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, seperti puasa, shalat tarawih dan witir, berdo'a, tilawah, tasmi' (memperdengarkan) dan tadabbur Al-Qur'an, khataman Al-Qur'an, I'tikaf sepuluh hari terakhir dan sebagainya. Di samping itu aktivitas Ramadhan juga harus dapat memperkokoh hubungan dengan sesama, seperti zakat, infaq dan shadaqah, ifthor (buka puasa) bersama, bazar Ramadhan dan sebagainya.

Yang juga amat penting adalah adanya upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas aktivitas da'wah, misalnya dengan penyelenggaraan ceramah tarawih yang harus ditentukan topik-topiknya agar tidak tumpang tindih atau pengulangan yang terlalu berlebihan, dalam kaitan ini juga harus menetapkan pembicara atau penceramah yang tepat, begitu juga dengan kuliah Shubuh dan ceramah Dzuhur di kantor-kantor.

Pelatihan-pelatihan dalam rangka itu juga perlu diselenggarakan, misalnya pelatihan khatib dan muballigh, pengelolaan perpustakaan masjid, manajemen masjid, mengurus jenazah, pengelolaan zakat, pengelolaan baitul maal wat tamwil (BMT), dan sebagainya yang kesemua itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemakmuran masjid dan sebagainya.

Ba'da Ramadhan

Yakni menindaklanjuti aktivitas Ramadhan sehingga Ramadhan tidak berakhir begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Aktivitas ba'da Ramadhan yang dimaksudkan untuk memberikan bekas yang dalam antara lain menyelenggarakan takbiran sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, bukan takbiran yang hura-hura dan mengandung nilai kemaksiatan, melaksanakan shalat Idul Fitri yang berlangsung secara khusyu,

Menyerukan atau mengingatkan kaum muslimin akan nilai-nilai Ramadhan yang harus kita tindak lanjuti, memperkokoh silaturrahmi antar keluarga dan masyarakat muslim agar tumbuh dan dapat direalisasikan semangat kebersamaan dalam menjalankan ajaran Islam, melaksanakan puasa sunat bulan Syawal dan memulai kembali aktivitas keislaman yang dialihkan sementara kepada kegiatan Ramadhan.

Manakala sejak dini, aktivitas Ramadhan telah kita rencanakan dengan matang dan kita laksanakan pada waktunya dengan baik, niscaya banyak manfaat yang kita peroleh dalam upaya menyelamatkan diri, keluarga dan masyarakat dari sejumlah krisis yang selalu menghantui.


Sumber : Edisi Lengkap Ramadhan

Rabu, 06 Agustus 2008

SAKARATUL MAUT


Perbanyaklah mengingat penghancur segala kelezatan, yakni kematian (HR. Tirmidzi)

Sering terdengar, karena putus asa menghadapi problem yang berat, seseorang menjemput maut (bunuh diri). Dikiranya maut merupakan solusi ampuh untuk mengatasi semua problem. Bisa jadi juga dikiranya maut menjanjikan ketenangan dan impian.

Sebaliknya ada pula manusia yang menjadikan hari-hari kehidupannya sekedar unuk bersenang-senang dan memuaskan syahwat. Baginya seakan-akan maut tak akan pernah datang atau maut dianggap sekedar peristiwa biasa yang tidak perlu dirisaukan.

Padahal, ada prahara besar menjelang kematian. Terdapat derita luar biasapada sakaratul maut. Muncul problema besar menjelang dan sesudah kematian. Semuanya hanya bisa disaksikan dan dirasakan oleh orang yang tengah menjelang ajal.

Makna Sakaratul Maut

“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (QS. Qaf: 19)

Ar-raghib berkata, “Sekarat adalah sebuah kondisi yang menghalangi antara seseorang dengan akalnya (tidak sadar).” Al-Baghawi berkata, “Yakni akan datang kepada manusia kepayahan dan kesusahan luar biasa menjelang maut meliputi seluruh tubuhnya dan mengalahkan akalnya. Kata bilhaq artinya dengan kematian yang sebenarnya, ada juga yang mengatakan dengan sesuatu yang benar adanya berupa perkara akhirat.”

Sementara kalimat, Dzalika maa kunta minhu tahiid. Disampaikan oleh Ibnu Katsir bahwa akan dikatakan kepada orang yang tengah sekarat, “Inilah maut yang selama ini kamu jauhi, engkau lari darinya kini telah sampai menghampirimu dan engkau tidak kuasa untuk menghindarinya.”

Ayat di atas memberikan khabar mengenai kepastian adanya sakaratul maut atau mabuk sebelum ruh terlepas dari raga. Saat itulah kita merasakan penderitaan luar biasa. Hal ini didukung oleh banyak hadits, di antaranya: Perkataan Aisyah istri Rasulullah SAW, “Aku belum pernah melihat seorangpun mengalami derita seberat dialami oleh Rasulullah.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar mencatat riwayat yang mengemukakan doa Rasulullah:


اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ

Artinya:
“Ya ALLAH tolonglah saya dari sakaratul maut.” (Fathul Baari)

Dari Hasan Al-Bashri bahsawanya Rasulullah SAW menceritakan tentang duka dan derita saat sakaratul maut, Beliau bersabda, “Setara dengan 300 kali sabetan pedang.” (Ibnu Abi Dunya)

Hikmah Di Balik Sakaratul Maut

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “berdasarkan hadits Aisyah tentang kondisi wafatnya Rasulullah SAW menunjukkan bahwa sengsaranya seseorang ketika sakaratul maut tidak menunjukkan rendahnya kedudukan di hadapan ALLAH, justru menunjukkan tambahan kebaikan baginya atau sebagai penebus dosa-dosanya.”

Pernyataan Ibnu Hajar tersebut berdasarkan sebuah hadits dari Anas, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kematian adalah kaffarah (penebus) bagi setiap muslim.” (HR. Baihaqi)

Akan tetapi berdasarkan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa kepayahan sekarat yang dialami oleh orang shaleh hanyalah pada awal pencabutan ruh. Ketika ruh akan diangkat, para malaikat datang memberikan ketenangan dan kabar yang menyenangkan. Pada saat itulah seorang mukmin mendapatkan kegembiraan luar biasa hingga lenyaplah segala derita yang dirasakannya, kemudian ruhnya keluar dengan tenang dan mudah. (lihat dalam Fathul Baari dalam Bab: Raqa-iq)

Kondisi Orang Mukmin

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah ALLAH" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan ALLAH kepadamu.”” (QS. Fushshilat: 30)

Turunnya malaikat ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Mujahid, Al-Sudi, dan Zaid bin Aslam, terjadi saat sakaratul maut. (Tafsir Ibnu Katsir)
Menjelang kematian seseorang menjadi takut dan khawatir terhadap keselamatan dirinya dan nasib keluarganya. Di saat demikian malaikat akan memberikan kabar yang sangat menyenangkan kepada seorang mukmin mengenai surga dan memberikan ketenangan agar tidak takut dan bersedih. Barra’ bin Azib berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seorang mukmin ketika hendak meninggalkan dunia menuju akhirat turunlah para malaikat kepadanya dari langit, wajahnya putih bersih laksana sinar matahari. Para malaikat duduk di depannya sejauh mata memandang, kemudian datanglah malaikat maut duduk di dekat kepalanya seraya berkata, “Wahai jiwa yang baik keluarlah menuju ampunan ALLAH.” Ruh tersebut keluar dari tubuhnya laksana mengalirnya tetesan air dari mulut kendi. Kemudian malaikat maut mengambil ruh tersebut.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)

Kondisi Seorang Kafir dan Fajir

“kalau kamu melihat ketika Para Malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar", (tentulah kamu akan merasa ngeri).” (QS. Al-Anfal: 50)

Barra’ bin Azib berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sedangkan hamba kafir, dalam riwayat lain fajir, apabila hendak menuju akhirat meninggalkan dunia maka akan turun kepadanya malaikat dari langit. Sifat mereka kasar dan keras bermua hitam. Mereka membawa pakaian kasar dari neraka, kemudian duduk di depannya sejauh mata memandang. Kemudian datang malaikat maut duduk dekat kepalanya seraya berkata, “Wahai ruh yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan ALLAH. Ruh tersebut memencar dalam tubuh (tidak mau keluar) sehingga malaikat maut mencabut dengan kasar, sebagaimana besi yang banyak kaitnya dipakai mencabut bulu domba yang dibasahi sehingga tercerabut pula kulit dan uratnya. (HR. Abu Dawud)

Su’ul Khotimah

Sering kita temui orang yang sekarat tidak mampu mengucapkan kalimat tauhid. Ada yang justru menyebut-nyebut kekasihnya, hartanya, penyanyi pujaannya, atau kebiasaan buruknya selama hidup. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh ulama, terjadinya seperti halnya orang tidur. Orang yang tidur akan sering melihat dalam tidurnya sesuatu yang ketika sadar mendominasi akal dan hatinya.

Imam Adz-Dzahabi berkata, Mujahid berkata, “Tidaklah seseorang meninggal dunia kecuali akan tergambar di hatinya teman-teman dekatnya. Orang yang gemar bermain catur ketika ditalqin (dituntun) untuk mengucapkan La ilaha illALLAHi saat hendak meninggal justru mengucapkan ‘skak’ lantas mati. Ada juga yang saat hidupnya hobi minum khamr ketika ditalqin untuk mengucapkan kalimat tauhid justru mengatakan ‘minumlah dan berilah aku minum’ lalu mati.”

Imam Ibnu Qayim menjelaskan sebab akhir hidup yang jelek, tiga di antaranya adalah:
1. seorang terlampau cinta terhadap dunia sehingga hati dan pikirannya terpusat padanya, sementara lupa terhadap akhirat.
2. memiliki keyakinan-keyakinan yang menyimpang
3. terjerumus dalam perbuatan maksiat dan belum sempat bertobat menjelang ajal.

Beliau mengatakan bahwa jika seseorang dalam kondisi normal akal, kekuatannya dan inderanya saja masih dikuasai oleh setan, hingga hatinya lalai dari mengingat ALLAH, lisannya enggan melafadzkan dzikir, anggota badannya berat melakukan amal ketaatan, lantas bagaimana di saat hilangnya semua kekuatan sementara hati dan dirinya diliputi derita akibat sakaratul maut…!!??
Pada saat itulah setan berada puncak kekuatannya, sementara manusia dalam kondisi lemah. Hanya orang yang benar-benar beriman yang akan selamat. ALLAH berfirman, “ALLAH meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan ALLAH menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Sumber Tulisan: Fatawa Juni 2007

Selasa, 05 Agustus 2008

PENGHAPUS AMAL SHALIH

"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan ALLAH dan karena mereka membenci keridhaan-NYA, sebab itu ALLAH menghapus (pahala) amal-amal mereka." (QS. Muhammad: 28)

BESARNYA NIKMAT ALLAH

Ketahuilah sesungguhnya rahmat ALLAH sangat luas. ALLAH berfirman, ”... dan rahmat-KU meliputi segala sesuatu. Maka akan AKU tetapkan rahmat-KU untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat KAMI.” (QS. Al-A’raaf: 156)

Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah SAW yang sangat banyak, di antaranya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khaththab bahwasanya Nabi SAW melihat seorang wanita sedang menggendong anaknya sambil memberi makan, lantas Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, ”Apakah kalian mengira ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami (para sahabat) mejawab, ”Demi ALLAH, dia tidak akan tega.” Rasulullah SAW pun bersabda, ”Ketahuilah, ALLAH lebih mengasihi para hamba-NYA daripada seorang ibu kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan bahwa bahwasanya Nabi SAW pernah bersabda, ”Setan berkata,’Demi kemuliaan-MU wahai RABB-ku, aku akan senantiasa menyesatkan para hamba-MU selama mereka masih hidup. ALLAH membalas perkataanya, ’Demi Kemuliaan dan Keagungan-KU, aku senantiasa memberi ampunan kepada mereka selama mereka meminta ampun kepada-KU.” (HR. Ahmad, Hasan Lighairihi)

Imam Munawi berkata, ”ini janji ALLAH untuk memberi ampunan.” (Faidhul Qadir 2/437).

Akan tetapi sadarilah wahai para hamba yang sedang meniti jalan RABB-nya, luasnya rahmat dan ampunan ALLAH, janganlah menjadikan kita merasa aman dari siksa dan adzab-NYA. ALLAH berfirman, ”ALLAH berfirman: "Siksa-KU akan KU-timpakan kepada siapa yang AKU kehendaki.” (QS. Al-A’raaf: 156)

Oleh karena itu, janganlah kita merasa bahwa segala malan yang kita kerjakan pasti diterima oleh ALLAH, siapakah yang bisa menjamin hal itu? Generasi terdahulu, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in, dengan segala kebaikan yang mreka miliki, mulai dari ibadah, amal kebajikan, zuhudnya, dan pengetahuan mereka bahwa ALLAH Maha Luas Ampunan dan Rahmat-NYA, mereka masih dihinggapi rasa takut akan tertolaknya amal yang mereka kerjakan. Lihatlah gambaran Al-Qur’an tentang mereka, ”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada TUHAN mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)

A’isyah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ayat tersebut, Beliau menjawab, ”Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, bersedekah, shalat, dan mereka merasa khawatir tidak diterima amalannya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani)

Amal shalih adalah perkara yang besar, karena menyangkut keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Perhatikanlah firman ALLAH, ”Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-NYA kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al-Baqarah: 266)

Ibnu Abbas berkata, ”ALLAH membuat permisalan tentang sebuah amalan.” Umar bertanya, ”Amalan apa?” Beliau menjawab, ”Amalan ketaatan seseorang yang kaya, kemudian ALLAH mengutus setan kepadanya hingga orang itu berbuat maksiat yang pada akhirnya setan menghanguskan amalannya.” (HR. Bukhari)

PENYEBAB HAPUSNYA AMAL SHALIH

1. Syirik Kepada ALLAH

Tidak ragu lagi, syirik adalah penyakit akut lagi berbahaya, siap membunuh pelakunya kapan dan dimanapun, tiada jalan lain bagi orang yang berbuat syirik kecuali dengan taubat. Orang yang berbuat syirik amalannya tidak bermanfaat sedikitpun, camkanlah ayat-ayat berikut:

”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (TUHAN), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

”Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan ALLAH, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)
Ketahulaih, perbuatan syirik tidak akan mendatangkan manfaat sedikitpun kepada pelakunya. Ia akan merugi selama-lamanya, amalannya terhapus dan tertolak, sia-sia belaka bagaikan debu yang bertebaran. ALLAH berfirman, ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu KAMI jadikan amalan itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
”... seandainya mereka mempersekutukan ALLAH, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka lakukan.” (QS. Al-An’am: 88)

”Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19)

Renungkanlah maksud dari ’sedang ia adalah mukmin’ adalah ia tidak kafir dan syirik. Karena sesungguhnya kekafiran dan kesyirikan itu tidaklah bermanfaat sedikitpun baginya di dunia dan akhirat, bahkan hal tersebutlah yang dapat menyebabkan terhapusnya amalan mereka, betapapun banyak amal shalih yang telah diperbuatnya.

A’isyah pernah suatu hari pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Abdullah Jud’an yang mati dalam keadaan syirik, akan tetapi dia orang yang baik, suka memberi makan orang miskin, menolong yang teraniaya, punya kebaikan yang banyak. Rasulullah SAW menjawab, ”Semua amalan itu tidak memberinya manfaat sedikitpun, karena dia tidak pernah mengatakan, ’Wahai RABB-ku, berilah ampunan atas kesalahan-kesalahanku pada hari kiamat kelak.’” (HR. Muslim)

Maka sudah menjadi kemestian bagi orang yang mengendaki amalannya diterima di sisi ALLAH untk mentauhidkan-NYA, karena Tauhid adalah hal ALLAH yang paling besar bagi para hamba-NYA.

Lihatlah, perkara syafa’at pada hari kiamat, khusus diberikan kepada orang-orang yang bertauhid bukan kepada orang yang berbuat syirik.

Rasulullah SAW bersabda, ”Syafaat ini akan diperoleh, insya ALLAH, bagi orang yang mati dari umatku dalam keadaan tidak menyekutukan ALLAH dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari-Muslim)

Bahkan, adalah suatu kebodohan terbesar bagi manusia yang telah dianugerahkan akal kepadanya, apabila dia melakukan perbuatan syirik yaitu menyembah dan meminta kepada selain ALLAH. Seperti orang yang meminta ke kuburan, mendatangi dukun, bahkan ada orang yang memuja binatang, atau benda-benda mati. ALLAH berfirman, ”Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir: 14)

”Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada ALLAH, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah ALLAH memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung.” (QS. Al-An’am: 71)

Demikianlah bagi yang ingin agar amal shalihnya tidak terhapus, maka dia harus meghindari sejauh mungkin perbuatan syirik, dalam segala hal, seperti berdoa atau dalam ibadah lainnya, seperti nadzar, menyembelih kurban, atau mendatangi dukun dan meminta pertolongannya.

2. Riya’

Riya’ tidak diragukan lagi membatalkan dan menghapuskan amalan seseorang. Berdasarkan hadits qudsi, ”(ALLAH berfirman): ”Aku paling kaya, tidak butuh tandingan dan sekutu. Barangsiapa beramal menyekutukan-KU kepada yang lain, maka AKU tinggalkan amalannya dan tandingannya.” (HR. Muslim)

Penyakit inilah yang paling dikhawatirkan Rasulullah SAW menimpa umatnya. Beliau bersabda, ”Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, ”Apa yang dimaksud dengan syirik kecil?” Rasulullah SAW menjawab, ”Yaitu riya’”. (HR. Ahmad)

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, ”Ketahuilah bahsawanya amalan yang ditujukan kepada selain ALLAH bermacam-macam. Adakalanya murni dipenuhi riya’, tidaklah yang dia niatkan kecuali mencari perhatian orang demi meraih tujuan-tujuan duniawi, sebagaimana halnya dengan orang-orang munafik di dalam shalat mereka. ALLAH berfirman, ’Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia.’ (QS. An-Nisa’: 42). Lanjutnya lagi, ”Sesungguhnya ikhlas dalam ibadah sangat mulia. Amalan yang dipenuhi riya’- tidak diragukan lagi bagi seorang muslim- sia-sia belaka, tidak bernilai, dan pelakunya berhak mendapatkan murka dan balasan dari ALLAH. Adakalanya pula amalan itu ditujukan kepada ALLAH, akan tetapi terkotori oleh riya’. Jika terkotori dari asal niatnya maka dalil-dalil yang shahih menunjukkan batalnya amalan tersebut.” (Taisir Aziz Hamid)

3. Menerjang Keharaman ALLAH Tatkala Sendiri

Banyak di antara kita yang berani menerjang keharaman ALLAH, utamanya saat sepi dan tidak ada yang tahu, padahal ALLAH DZAT yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Orang yang tetap nekat menerjang keharaman ALLAH saat bersendiri, akan terhapus amalannya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ”Sungguh akan datang sekelompok kaum dari umatku pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak semisal gunung yang amat besar. ALLAH menjadikan kebaikan mereka bagaikan debu yang beterbangan.” Tsauban bertanya, ”Terangkanlah sifat mereka kepada kami ya Rasulullah, agar kami tidak seperti mereka.” Rasulullah SAW menjawab, ”Mereka masih saudara kalian, dari jenis kalian, dan mereka mengambil bagian mereka di waktu malam sebagaimana kalian juga, hanya saja mereka apabila menyendiri menerjang keharaman-keharaman ALLAH.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani)

4. Menyebut-nyebut Amalan Shalihnya

Berdasarkan firman ALLAH, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada ALLAH dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan ALLAH tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ”Ada tiga golongan yang tidak dilihat oleh ALLAH pada hari kiamat, tidak disucikan-NYA, dan baginya adzab yang pedih.” Para sahabat bertanya, ”Terangkan sifat mereka kepada kami, alangkah meruginya mereka.” Nabi SAW bersabda, ”Mereka adalah yang menjulurkan pakaiannya, orang yang suka menyebut-nyebut pemberian, dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)

5. Mendahului Rasulullah SAW dalam Perintahnya

Maksudnya, janganlah seorang muslim mengerjakan amalan yang tidak Rasulullah SAW perintahkan, karena hal itu termasuk perbuatan lancang terhadap Beliau. Ditambah lagi, syarat diterimanya amalan adalah sesuai dengan petunjuknya, tidak menambahi dan tidak mengurangi.
ALLAH berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului ALLAH dan Rasul-NYA dan bertakwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1)

Rasulullah SAW juga bersabda, ”Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak termasuk urusan Kami maka tertolak.” (HR. Muslim)

Kita sering melihat orang melakukan suatu amal perbuatan yang tidak diperintahkan dan tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan mereka menganggapnya sebagai ibadah yang akan memperoleh pahala dan kebaikan dari ALLAH. Padahal sesungguhnya mereka telah menyelisihi ALLAH dan Rasul-NYA, karena telah mengubah syariat tanpa hak, yang hanya berbekal persangkaan semata kepada ALLAH.

ALLAH berfirman, ”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 36)

Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Waspadalah kalian dari ditolaknya amalan pada awal kali hanya karena menyelisihinya, engkau akan disiksa dengan berbaliknya hati ketika akan mati. Sebagaimana ALLAH berfirman, ”Dan (begitu pula) KAMI memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan KAMI biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (QS. Al-An’am: 110)

6. Bersumpah Atas Nama ALLAH

Rasulullah SAW bersabda, ”Dahulu kala ada dua orang dari kalangan Bani Israil yang saling berlawanan sifatnya. Salah satunya gemar berbuat dosa sedangkan sedangkan satunya lagi rajin beribadah. Yang rajin beribadah selalu mengawasi dan mengingatkan temannya agar menjauhi dosa. Sampai suatu hari, ia berkata kepada temannya, ”Berhentilah berbuat dosa.” Karena terlalu seringnya diingatkan, temannya yang sering bermaksiat itu berkata, ”Biarkan aku begini. Apakah engkau diciptakan hanya untuk mengawasi aku terus?” Yang rajin beribadah itu akhirnya berang dan berkata, ”Demi ALLAH, ALLAH tidak akan mengampuni.” atau ”Demi ALLAH, ALLAH tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.” Akhirnya ALLAH mencabut arwah keduanya dan dikumpulkan di sisi-NYA. ALLAH berkata kepada orang yang rajin beribadah, ”Apakah engkau tahu apa yang ada di Diri-KU, ataukah engkau merasa mampu atas apa yang ada di Tangan-KU?” ALLAH berkata kepada orang yang berbuat dosa, ”Masuklah engkau ke dalam surga karena Rahmat-KU.” dan DIA berkata keada yang rajin beribadah, ”Dan engkau masuklah ke dalam neraka.” Abu Hurairah berkata, ”Demi DZAT yang jiwaku ada di Tangan-NYA, orang ini telah mengucapkan perkataan yang membinasakan dunia dan akhiratnya.” (HR. Abu Dawud)

Juga dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, ”Ada orang yang berkata, ”Demi ALLAH, ALLAH tidak akan mengampuni si fulan.” Maka ALLAH berfirman, ”Siapa yang bersumpah atas nama-KU bahwa AKU tidak akan mengampuni si fulan, sungguh AKU telah mengampuninya dan AKU membatalkan amalanmu.” (HR. Muslim)

7. Membenci Sunnah Rasulullah SAW Sekalipun Dia Mengamalkannya

”Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan ALLAH (Al Quran) lalu ALLAH menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)

Yaitu karena mereka membenci apa yang dibawa oleh Rasul-NYA berupa Al-Qur’an yang isi kandungannya berupa tauhid dan hari kebangkitan, karena alasan itu ALLAH menghapuskan amal-amal kebajikan yang pernah dikerjakan.

Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kekuatan oleh ALLAH untuk menjauhi sebab-sebab di atas. Kita memohon kepada-NYA agar amalan yang kita kerjakan dinilai sebagai amalan yang shalih di sisi-NYA. Amin ya Rabbil ’alamin

Sumber: Al-Furqon Edisi I Tahun VI


Akhir kehidupan Nabi Palsu Mirza Ghulam Ahmad

Al Ustadz Qomar ZA

Ajaran Ahmadiyah banyak mendapat penentangan dari para ulama di India. Di antara ulama yang terdepan menentangnya adalah Asy-Syaikh Tsana’ullah Al-Amru Tasri. Karena geram, Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan pernyataan pada tanggal 15 April 1907 yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Tsana’ullah. Di antara bunyinya:

“…Engkau selalu menyebutku di majalahmu (‘Ahlu Hadits’) ini sebagai orang terlaknat, pendusta, pembohong, perusak… Maka aku banyak tersakiti olehmu… Maka aku berdoa, jika aku memang pendusta dan pembohong sebagaimana engkau sebutkan tentang aku di majalahmu, maka aku akan binasa di masa hidupmu. Karena aku tahu bahwa umur pendusta dan perusak itu tidak akan panjang… Tapi bila aku bukan pendusta dan pembohong bahkan aku mendapat kemuliaan dalam bentuk bercakap dengan Allah, serta aku adalah Al-Masih yang dijanjikan maka aku berdoa agar kamu tidak selamat dari akibat orang-orang pendusta sesuai dengan sunnatullah.

Aku umumkan bahwa jika engkau tidak mati semasa aku hidup dengan hukuman Allah yang tidak terjadi kecuali benar-benar dari Allah seperti mati dengan sakit tha’un, atau kolera berarti AKU BUKAN RASUL DARI ALLAH…

Aku berdoa kepada Allah, wahai penolongku Yang Maha Melihat, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berilmu, Yang mengetahui rahasia qalbu, bila aku ini adalah pendusta dan perusak dalam pandangan-Mu dan aku berdusta atas diri-Mu malam dan siang hari, ya Allah, maka matikan aku di masa hidup Ustadz Tsana`ullah. Bahagiakan jamaahnya dengan kematianku –Amin–.

Wahai Allah, jika aku benar dan Tsana`ullah di atas kesalahan serta berdusta dalam tuduhannya terhadapku, maka matikan dia di masa hidupku dengan penyakit-penyakit yang membinasakan seperti tha’un dan kolera atau penyakit-penyakit selainnya….

Akhirnya, aku berharap dari Ustadz Tsana`ullah untuk menyebarkan pernyataan ini di majalahnya. Kemudian berilah catatan kaki sekehendaknya. Keputusannya sekarang di tangan Allah.

Penulis, hamba Allah Ash-Shamad, Ghulam Ahmad, Al-Masih Al-Mau’ud. Semoga Allah memberinya afiat dan bantuan. (Tabligh Risalat juz 10 hal. 120)

Apa yang terjadi? Setelah berlalu 13 bulan 10 hari dari waktu itu, justru Ghulam Ahmad yang diserang ajal. Doanya menimpa dirinya sendiri.

Putranya Basyir Ahmad menceritakan: Ibuku mengabarkan kepadaku bahwa Hadrat (Ghulam Ahmad) butuh ke WC langsung setelah makan, lalu tidur sejenak. Setelah itu butuh ke WC lagi. Maka dia pergi ke sana 2 atau 3 kali tanpa memberitahu aku. Kemudian dia bangunkan aku, maka aku melihatnya lemah sekali dan tidak mampu untuk pergi ke ranjangnya. Oleh karenanya, dia duduk di tempat tidurku. Mulailah aku mengusapnya dan memijatnya. Tak lama kemudian, ia butuh ke WC lagi. Tetapi sekarang ia tidak dapat pergi ke WC, karena itu dia buang hajat di sisi tempat tidur dan ia berbaring sejenak setelah buang hajat. Kelemahan sudah mencapai puncaknya, tapi masih saja hendak buang air besar. Diapun buang hajatnya, lalu dia muntah. Setelah muntah, dia terlentang di atas punggungnya, dan kepalanya menimpa kayu dipan, maka berubahlah keadaannya.” (Siratul Mahdi hal. 109 karya Basyir Ahmad)

Mertuanya juga menerangkan: “Malam ketika sakitnya Hadhrat (Ghulam Ahmad), aku tidur di kamarku. Ketika sakitnya semakin parah, mereka membangunkan aku dan aku melihat rasa sakit yang dia derita. Dia katakan kepadaku, ‘Aku terkena kolera.’ Kemudian tidak bicara lagi setelah itu dengan kata yang jelas, sampai mati pada hari berikutnya setelah jam 10 pagi.” (Hayat Nashir Rahim Ghulam Al-Qadiyani hal. 14)

Pada akhirnya dia mati tanggal 26 Mei 1908.

Sementara Asy-Syaikh Tsana`ullah tetap hidup setelah kematiannya selama hampir 40 tahun. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala singkap tabir kepalsuannya dengan akhir kehidupan yang menghinakan, sebagaimana dia sendiri memohonkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kini siapa yang sadar dan bertobat setelah tersingkap kedustaannya?

Wallahu a’lam bish-shawab.

Judul Asli: Akhir Kehidupan yang Menghinakan
Sumber: www.asysyariah.com

Sabtu, 02 Agustus 2008

MUHASABAH (1)



Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-KU hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah: 197)

Kehidupan dunia ini adalah sepenggal episode yang amat singkat, namun menetukan nasib perjalanan maha panjang di akhirat yang tak terbatas kurun waktunya. Barangsiapa menyiapkan bekal di dunia sesuai kebutuhan yang diperlukan dalam perjalanan panjang itu, maka perjalanannya laksana tamasya yang hanya berisi suka cita dan bahagia.

Tapi, barangsiapa yang memperbanyak sesuatu yang tidak berguna uuntuk perjalanan panjangnya, maka justru hanya menjadi beban berat bagi perjalanan yang menyedihkan. Tak ada yang dia alami selain penderitaaan panjang tak berkesudahan.

Banyak orang bekerja keras menyiapkan bekal dunia untuk kebahagiaan di hari tua yang sangat singkat. Tapi adakah yang memikirkan bekal untuk kehidupan yang tidak ada batasnya? Hanya orang pintar yang menyiapkan perbekalan untuknya, Nabi SAW bersabda, “Orang yang pintar adalah yang introspeksi diri dan beramal untuk setelah mati.” (HR. Tirmidzi)


Menghitung Perbekalan

Waktu demi waktu bergulir, hari demi hari berjalan, tahun demi tahun berlalu, seringkali kita menjalani hidup dengan apa adanya. Tanpa perencanaan yang jelas, tanpa target yang fokus dan tanpa mengevaluasi kekurangan amal yang telah kita perbuat.

Tengoklah, hari yang berlalu, dua hari yang lalu atau minggu lalu, atau bulan lalu atau tahun yang lalu, apakah ada peningkatan yang berarti pada ilmu, amal dan prestasi kita? Lihatlah Abu Bakar Ash-Shidiq, waktu dua tahun menjadi khalifah cukup untuk mengembalikan orang-orang yang murtad ke dalam pangkuan Islam. Demikian pula Umar bin ‘Abdul Aziz, waktu dua tahun cukup untuk mengembalikan keadilan, mengenyahkan kezhaliman dan menghadirkan kemakmuran dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan Ibnu Abi Ja’d, dua tahun belajar akhirnya menjadi mufti di Madinah.

Itulah kehidupan orang-orang cerdas, kehidupan yang diawali dengan tekad yang kuat, konsisten dengan niat lalu mengevaluasi dan introspeksi atas kekurangan. Dari situ, mulailah diadakan perbaikan-perbaikan hingga tercapailah kesuksesan.

Hanya saja, tiada suatu itikad baik muncul, atau upaya perbaikan ditempuh, kecuali setelah terbuka pintu ‘muhasabah’, perhitungan atau introspeksi, lalu didapatkan adanya sisi kekurangan. Muhasabah juga bisa diartikan sebagai pertimbangan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari suatu amal.
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa muhasabah adalah memperhitungkan segala kondisi sebelum berbuat ataupun meninggalkan sesuatu, baik sesuatu yang berupa keyakinan hati maupun perbuatan anggota badan, hingga menjadi jelas baginya apa yang selayaknya dia kerjakan dan dia tinggalkan. Jika telah jelas baginya sesuatu yang dibenci oleh ALLAH maka dia akan menjauhi dengan hatinya, menahan anggota badannya dari apa yang dibenci ALLAH dan tidak membiarkan nafsunya meninggalkan yang fardhu, lalu dia bersegera untuk menunaikan yang fardhu.

Maka, muhasabah membutuhkan ilmu tentang perintah dan larangan ALLAH serta apa yang disunnahkan oleh Nabi-NYA. Karena dia hanya bisa menghitung perbuatan baik dan buruknya sesuai dengan ukuran yang ditetapkan ALLAH dan Rasul-NYA.

Faedah

Melihat apa yang telah kita kerjakan lalu diukur dengan sesuatu yang mestinya kita kerjakan, maka akan tampaklah kekuangan dirinya. Betapa kewajiban tidak mampu dia tunaikan dengan sempurna, amalan sunnah pun terlalu sedikit untuk menutup kekurangan pada fardhunya. Hadirnya perasaan ini akan mendorong kita untuk melakukan perbaikan. Muhasabah menjadi titik tolak untuk melakukan perbaikan. Mustahil seseorang melakukan perbaikan tanpa diawali dengan muhasabah. Seperti orang yang merehab rumah, pastilah dikarenakan ada sesuatu yang kurang dari rumahnya menurut pandangannya.
Orang yang tekun bermuhasabah tak ubahnya seperti pedagang yang ulung, dia menghitung modalnya, mencari barang dagangan yang paling laku dan bernilai jual tinggi. Usai berniaga, dia menghitung laba ruginya.

Akan halnya dengan orang yag tidak pernah melakukan muhasabah, ia seperti pedagang amatiran yang tak paham cara berdagang. Dia berdagang tanpa melihat berapa modalnya, bagaimana cara mendapatkan keuntungan, tida pula memiliki inisiatif untuk menghitung laba ataukah rugi. Akibatnya, dia memang sibuk berniaga, tetapi tak kunjung nampak hasilnya. Begitulah orang yang tidak mau bermuhasabah terhadap amalnya.

Berat Timbangan Amalnya, Ringan Timbangan Dosanya

Orang yang tekun melakukan muhasabah adalah yang paling cepat tabatnya. Karena dia segera menyadari kesalahannya. Sedangkan taubat menuntut dia untuk bertekad tidak mengulangi dosa. Berbeda halnya dengan orang yang tidak pernah merenungkan apa yang telah dia kerjakan. Dosa yang menumpuk justru semakin menumpulkan kepekaan jiwa terhadap dosa. Akhirnya dosa menjadi kebiasaannya.

Jika berat timbangan amal baiknya dan kecil kapasitas dosanya, niscaya menjadi ringan dosanya. Dari sinilah bisa dikatakan bahwa muhasabah di dunia menyebabkan ringan hisabnya di akhirat. Seperti diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Hisablah dirimu (di dunia) sebelum dirimu dihisab (di akhirat), berhiaslah (dengan amal) untuk menghadapi hisab yang besar, karena hisab akan diringankan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia.”

Dia layak untuk menerima kitabnya dengan angan kanan, sebagaimana ALLAH berfirman, “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: "Celakalah aku." Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).” (QS. Al-Insyiqaq: 7-13)

Salah Mengambil Timbangan

Ada orang yang merasa puas ketika punya banyak teman dan pendukung. Fenomena itu lantas dijadikan indikator bahwa dia termasuk orang yang baik. Kalau dia tidak termasuk orang baik, mana mungkin disegani oleh banyak orang. Demikian pikirnya.

Sebagian yang lain berusaha mengikuti arus kebanyakan dan merasa aman bila berbuat seperti umumnya manusia. Baginya, tanda kebenaran dan tanda kebaikan diukur dengan suara mayoritas manusia. Seperti penganut agama demokrasi: “Vox populi vox dei” (suara rakyat suara tuhan). Lalu segala yang di luar kebiasaan dan keumuman masyarakatnya dicap sebagai kesalahan atau kesesatan.

Kelompok lain, adalah kelompok yang mengetahui adanya kewajiban yang dia harus kerjakan sebagai seorang muslim. Namun ketika dia melihat kebanyakan manusia meninggalkan kewajiban shalat misalnya, diapun merasa cukup puas dan merasa bangga karena masih bisa megerjakan shalat lima waktu, meskipun dilakukan sendirian di rumah dengan tidak berjama’ah ke masjid dan di sisa-sisa waktu dan tenaga. ‘Masih mending daripada si fulan yang bolong-bolong shalatnya.’ Demikian kilahnya. Belum lagi remnya ‘blong’, yang tak mampu mencegah berbagai kecendrungan syahwat yang diharamkan.

Beberapa contoh di atas bermuara pada kesimpulan: merasa puas dengan apa yang telah mereka kerjakan dan merasa yang mereka kerjakan adalah tindakan yang baik. Tetapi baik dan benar menurut mereka belum tentu menurut ALLAH, “Katakanlah: "Apakah akan KAMI beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-kahfi: 103-104)

sumber: Ar-Risalah: no. 41 tahun 2004

MUHASABAH (2)

“Orang yang pintar adalah yang introspeksi diri dan beramal untuk setelah mati.” (HR. Tirmidzi)

Sebuah kebahagiaan yang sangat besar, ketika seorang hamba mendapatkan catatan amalnya penuh dengan amal shalih, jauh dari nilai merah yang akan membuatnya gelisah dan resah, lalu diterimanya dengan tangan kanannya, penuh harapan akan balasan-NYA. Ia tahu akan ringannya hisab yang ia alami, lalu dia kembali kepada kaumnya dengan penuh kegembiraan.

Sebaliknya, seorang hamba yang menerima catatannya dari arah belakang, ia akan berteriak “Celaka aku”, mukanya merah padam karena ia yakin adzab ALLAH menunggunya. Semua urusan ia akhiri dengan penyesalan; untuk apa ia gunakan semua hidupnya, masa mudanya, dan hartanya yang melimpah. Tak ada gunanya penyesalan, yang ada hanya perhitungan dan pembalasan.
Bermuhasabah di dunia akan meringankan perhitungan di akhirat. Ketika seorang hamba berusaha menghitung dirinya di dunia, akan mudah baginya ketika menghadapi hari pertanggungjawaban kelak.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Umar Bin Khaththab, “Hisablah dirimu (di dunia) sebelum dirimu dihisab (di akhirat), berhiaslah (dengan amal) untuk menghadapi hisab yang besar, karena hisab akan diringankan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab dirinya di dunia.”

Tentang Shalat

Shalat yang merupakan tiang agama, sudah banyak yang meremehkan dan melalaikannya. Lihatlah sekeliling kita, masih berapa banyak kaum muslimin yang masih memperhatikan shalat berjama’ah di masjid? Berapa yang masih tetap istiqomah mendirikan shalat lima waktu walau tidak berjama’ah? Berapa banyak lagi yang masih meyakini bahwa shalat adalah kewajiban atas dirinya?

Padahal dalam Islam, shalat adalah pemisah antara kekufuran dan keimanan, tali rantai terakhir dalam Islam, dan lebih dari itu, ia merupakan amalan yang pertama kali dipertanggung jawabkan di hadapan ALLAH. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pertama kali amalan hamba yang dihisab di hari kiamat adalah shalatnya. Bila baik, maka dia telah beruntung, dan bila rusak maka dia telah celaka. Bila telah berkurang sesuatu dari kewajiban shalat tersebut, maka RABB berfirman, “Lihatlah apakah hamba-KU mempunyai amalan sunnah sehingga akan menyempurnakannya dari kekurangan shalat wajibnya.” Kemudian amalan lain pun dihisab demikian.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud dan Ad-Darimi)

Tentang Empat Perkara

Menghitung diri dalam rangka meringankan hisab di akhirat kelak tidak lepas dari memperhatikan beberapa perkara, Usia panjang yang telah ALLAH berikan, jasad yang telah ALLAH sempurnakan bentuknya, harta yang telah ALLAH limpahkan, dan ilmu yang telah ALLAH karuniakan.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan selamat langkah seorang hamba hingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa ia pergunakan. Tentang jasadnya, untuk apa dia gerakan. Tentang hartanya, darimana ia dapatkan dan untuk apa dia gunakan. Dan tentang ilmunya, apa yang telah ia kerjakan.” (HR. Ad-Darimi)

Telah dikisahkan tentang taubat Ibnu Sammah: “Suatu hari dia duduk-duduk untuk menghitung-hitung dirinya. Lalu dia hitung umurnya, ternyata dia sudah sampai usia enam puluh tahun, lalu dia menghitung harinya, ternyata sudah berlalu duapuluh satu ribu lima ratus hari; lalu dia berteriak dan berkata: “Celaka aku! Raja telah melemparkan dua puluh satu ribu dosa, lalu bagaimana, padahal setiap hari ada sepuluh ribu dosa!.”

Tentang Hak Orang Lain

Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dan tanggung jawabnya di hadapan ALLAH Ta’ala; yaitu tentang hak–hak seorang hamba. Berapa banyak orang menyepelekan tindak kezhaliman atas orang lain; menyakitinya, mencelanya, memukulnya, membicarakan aib-aibnya atau yang lainnya.

Dia lupa kalau semua tindakannya itu akan ada perhitungannya, dia tidak tahu kalau semua tindakannya akan menjadikan dirinya bangkrut, tidak punya satu amal kebaikanpun, bahkan kesalahan orang lain akan ditimpakan kepada dirinya apabila dia tidak dapat menebusnya lagi dengan amal kebaikan, sehingga hanya neraka yang pantas baginya.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian mengetahui, siapakah yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak mempunyai dirham dan perhiasan.” Lau Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhya orang yang bangkrut dari umatku akan datang kelak di hari kiamat dengan shalatnya, shiyamnya dan zakatnya. Dan dia datang telah mencela ini, menuduh ini, memakan harta ini, membunuh ini, dan memukul ini. Maka digantikan ini dari kebaikannya, dan itu dari kebaikannya. Bila kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum melunasi utang-utangnya, akan diambil dari kesalahan mereka, lalu ditimpakan kepadanya dan dilemparkan ke api neraka.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ahmad)

Imam An-Nawawi berkata: “Inilah hakikat orang yang bangkrut sebagaimana telah disebutkan dalam hadits. Adapun orang yang tidak punya harta atau sedikit harta, benar semua orang menyebutnya orang yang bangkrut, tapi bukan itu hakikat orang yang bangkrut. Karena itu semua bisa sirna dengan kelarnya ruh dari jasad manusia, bahkan bisa jadi lebih bahagia setelah dia bertemu dengan RABB-nya. Tapi, orang yang bangkrut di akhirat, dia akan mendapatkan kebinasaan yang abadi.”

Maka tanyalah kepada dirimu: berapa banyak bekal telah engkau persiapkan? Kezhaliman apa yang telah engkau perbuat?

Tiga Anak Tangga

Ibnul Qayyim berkata dalam Madarijus Salikin, bahwa muhasabah memiliki tiga anak tangga, yaitu:

Anak Tangga Pertama, timbanglah kebaikan ALLAH dengan kebaikan kita, lalu bandingkan antara pengabdian kita kepada ALLAH dengan dosa-dosa yang kita perbuat.

Dengan menimbang kebaikan ALLAH dengan pengabdian kita, maka kita akan mengerti bahwa ALLAH adalah RABB, dan kita adalah hamba. Kita juga akan tahu hakikat diri dan sifat-sifat-NYA. Dan segala nikmat yang kita peroleh adalah berasal dari ALLAH. Sungguh belum sebanding amal ibadah kita dengan segala nikmat yang ALLAH berikan kepada kita.

Apalagi bila kita melihat betapa banyak dosa dan maksiat yang kita lakukan, sedangkan ALLAH tetap memberi kita rezeki, kenikmatan, dan ALLAH selalu memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat. “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13)

Anak Tangga Kedua, pilahkan antara kewajiban kita untuk beribadah dan taat kepada ALLAH dengan hak kita.

Mengenai hal ini banyak yang keliru, menganggap kewajiban adalah sebagai haknya, sehingga kalau ia melaksanakannya ia mengagnggap itu adalah sebagai suatu keutamaan. Betapa banyak orang yang mengaku sebagai muslim -dengan santainya- meninggalkan shalat lima waktu, dan yang lain menjadikan perzinaan sebagai gaya hidupnya.

Anak Tangga Ketiga, Mengertilah bahwa setiap kebaikan yang kita puas terhadapnya adalah bencana dan bahwa setiap menghina seseorang karena kemaksiatan yang dilakukannya, niscaya kita akan melakukan kemaksiatan yang sama pada suatu hari. Jadi jangan mudah puas terhadap diri sendiri dan jangan menghina orang lain.

Seseorang yang tidak mengerti tentang dirinya, sifat-sifatnya, aib dan cela dirinya, juga tidak mengerti tentang RABB-nya, hak-hak-NYA serta bagaimana berhubungan dengan-NYA, akan merasa cukup dengan amal ibadah yang dilakukannya. Jika sudah demikian keadaannya, akan lahirlah penyakit ‘ujub, kibr, dan bencana-bencana lain yang lebih berbahaya daripada zina, minum arak, dan mencuri.

“Ya ALLAH mudahkanlah hisab atas diri kami. Ampunilah dosa kami dan terimalah amal ibadah kami.”

sumber: Ar-Risalah: no. 41 tahun 2004

SUAKA MARGA MIKROBA

oleh: Abu Hadid

Bayangkan jika daging sapi maupun kambing tidak pernah ada dalam kehidupan Anda. Sungguh kita takkan pernah merasakan kelezatan makanan yang biasa kita santap. Takkan pernah ada sate kambing, baso daging sapi, serta masakan lezat lain yang menggunakan daging kedua hewan tersebut. Namun, pernahkan Anda pikirkan, bagaimana sapi bisa menjadi sapi hanya dengan memakan rumput dan bahan lain yang berasal dari tumbuhan?

Adakah manusia yang telah mampu menciptakan teknologi pengolah rumput menjadi daging? Jawabannya adalah tidak ada. Keberadaan daging dan ketidakmampuan manusia membuatnya merupakan bukti bahwa daging telah diciptakan dengan perangkat yang jauh melebihi kecerdasan manusia. Perangkat tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah sapi atau kambing itu sendiri. Begitulah, sapi dan kambing layaknya pabrik berjalan supercanggih yang mampu mengolah rumput menjadi daging!

Air liur berlimpah

Sapi atau kambing bukanlah tabung ajaib yang begitu saja mampu merubah rumput yang ditelannya dengan serta-merta menjadi daging, layaknya sulap atau sihir. Rumput perlu dicacah menjadi potongan-potongan yang jauh lebih kecil lagi sebelum memasuki sejumlah tahap pencernaan berikutnya yang sungguh rumit. Pencernaan pertama ini berlangsung pada rongga mulut, dengan bantuan gigi, air liur, lidah dan bagian lain di dalam rongga mulut tersebut.

Gigi berfungsi mengunyah, memotong, mencacah dan menghancurkan pakan hijauan. Kerja ini dimudahkan oleh gerakan lidah yang membantu dalam hal pengadukan, dan air liur yang berperan sebagai cairan pelicin. Air liur juga menyediakan cairan yang diperlukan untuk proses pencernaan tahap berikutnya di lambung, terutama rumen. Cairan ini kaya akan zat bikarbonat yang berfungsi menjaga derajat keasaman pada lambung. Menurut perkiraan, sapi dewasa mampu menghasilkan 100-150 liter air liur setiap hari! Jika jumlah ini ditampung menggunakan gelas yang biasa kita gunakan untuk minum, maka akan diperlukan sekitar 300 gelas!

Bukan sembarang perut besar

Makanan yang dikunyah di mulut kemudian melewati kerongkongan, dan diteruskan ke perut (lambung) sapi dan kambing. Keduanya termasuk kelompok ruminansia, yakni hewan pemamah biak. Dari keseluruhan ruangan rongga perut hewan ini, sekitar tiga perempatnya ditempati oleh lambung. Lambung ini terdiri dari tiga bagian: rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Rumen merupakan yang terbesar.

Tumbuhan yang menjadi pakan sapi mengandung selulosa dalam jumlah besar. Selulosa adalah pembentuk dinding sel tumbuhan, dan merupakan zat karbohidrat yang tak dapat dicerna oleh sapi maupun kambing. Lalu siapakah yang membantu mencernanya? Pencernaan selulosa melibatkan proses penghancuran dan penguraian menjadi molekul-molekul lebih kecil dan sederhana sehingga dapat diserap oleh dinding saluran pencernaan sapi. Penguraian selulosa terjadi dengan bantuan beragam jenis mikroba yang terdapat di dalam perut sapi, terutama rumen. Mikroba ini memiliki enzim selulase, yakni zat yang mampu menghancurkan karbohidrat selulosa menjadi molekul-molekul pembentuknya yang lebih sederhana. Enzim ini tidak dapat dihasilkan hewan pemamah biak.

Di dalam rumen, peristiwa penguraian oleh mikroba menghasilkan glukosa yang kemudian dimanfaatkan oleh mikroba untuk menghasilkan energi dan senyawa-senyawa lebih sederhana yang lalu digunakan sapi. Semua ini terjadi dalam keadaan bebas oksigen (anaerob). Inilah yang disebut fermentasi. Di antara zat yang dihasilkan proses ini adalah asam lemak berantai pendek mudah menguap (yakni asam asetat, asam propionat, dan asam butirat), yang merupakan sumber energi bagi sapi. Selain itu, fermentasi ini juga menghasilkan asam laktat, gas karbon dioksida, dan gas metana.

Beragam zat yang tersebut dihasilkan oleh kerja beragam mikroba di dalam rumen yang berdaya tampung 100-300 liter (pada sapi) dan 4-10 liter (pada kambing). Satu mililiter saja dari seluruh isi rumen ini mengandung sekitar 1-100 miliar sel mikroba. Ini jauh melebihi jumlah seluruh manusia yang menghuni bumi. Kebanyakan mikroba ini berasal dari kelompok bakteri dan protozoa, sebagian kecil sisanya adalah jamur. Selain itu, jenis bakteri, protozoa serta jamur ini pun beragam. Boleh dikata, rumen ibarat suaka marga satwa, hanya saja terdapat beraneka ragam mikroba sebagai pengganti aneka satwa.
Jumlah maupun ragam mikroba ini haruslah berada dalam keadaan seimbang agar proses fermentasi atau pencernaan makanan dapat berjalan dengan baik. Masing-masing jenis mikroba harus pula menjalankan perannya dengan baik agar dihasilkan zat-zat yang berguna bagi tubuh sapi. Tanpa ini semua, sistem pencernaan akan terganggu dan berakibat buruk bagi kesehatan maupun pertumbuhan sapi.

Dalam fermentasi ini, jumlah mikroba semakin lama semakin banyak pula karena mereka pun berkembang biak dengan membelah diri. Namun sebagian sel-sel mikroba ini pun mati, teruraikan, dan akhirnya diserap oleh dinding saluran pencernaan makanan sapi.
Inilah sekelumit uraian sederhana tentang teknologi proses pembuatan daging dari rumput. Jangankan membuat pabrik semisal sapi, manusia sampai sekarang tak mampu menciptakan satu sel mikroba yang ada dalam lambung sapi. Lalu bagaimana sapi, kambing, seluruh alat pencernaan makannya dan miliaran mikroba rumen muncul menjadi ada, dan saling bertemu membentuk perangkat canggih ini? Semua ini tak mungkin terjadi tanpa kemampuan sempurna yang dimiliki Allah semata. Dialah Pencipta Terbaik, yang telah menciptakan hewan ternak, tidak saja untuk kenikmatan hidup manusia, tetapi juga untuk dipelajari dan diteliti manusia agar mereka mengetahui kehebatan sang Pencipta, sebagaimana seruan Allah:

“Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu makan.” (QS. Al Mu’minuun, 23:21)

Sumber: Insight Magazine

The Exemplary life of the prophet (saas)

Every moment of the Prophet (saas)'s life is a splendid example for the faithful to follow. With his conversations with the faithful, the way he addressed them, his sense of humour, his affection for and interest in children, the just way he treated women and his affection and concern, he was a model protector, both for his family and for all Muslims. That, by his smiling face, joyful countenance, and his consideration and affection for the faithful, he is an important example of proper morality and an ideal model of humanity. This chapter will comprise examples of the Prophet (saas)'s life which was so pleasing to Allah.

The Prophet (saas) smiled often, and advised others to be the same

Although the Prophet (saas) bore a heavy responsibility, and despite all the difficulties he faced, he was a most humble and peaceful man, submissive to Allah. He lived the joy and ardour of belief every moment of his life. Thanks to that joy of belief and his high morality, he was always smiling and tenderhearted. His companions describe his state of being:

“It is He who raised up among the Ummi a Messenger from them to recite his Signs to them and teach them the Book and the Wisdom...” (Surat al-Jumu'a: 2)

Ali (ra): "His smiling face and kind treatment of everyone made him literally a father to the people. Everyone was equal in his sight." 152

"He was always cheerful, gentle and mild."153

"He was the softest and most kind of all people..."154

The Prophet (saas) also advised his companions to smile, and said:

"Don't entertain the people with your wealth, but entertain them with smiling face and good conduct."155

"Allah loves the simple and those having smiling countenance."156

The Prophet (saas)'s relations and conversations with his companions

The Prophet (saas) took the greatest interest in the Muslims around him. He kept a close eye on the faith, behavior, cleanliness, happiness and health of each one of them. He noticed what each one lacked and needed, and ensured that they were provided for. In every conversation he had with them, he was pleasant towards them and won their love. When his companions left him, they would be full of joy and contentment.

Ali (ra), one of the closest of those to him, describes his relations with his companions and the atmosphere during their talks:

"His hand of charity was spread to its utmost and his tongue was the most truthful. His conduct was the most modest. Awe struck one who saw him first. Whoever mixed with him loved him. One who praised him said: I have never seen like him before and after him. Once a man begged something of the Prophet (saas) and it was given to him."157

"He would take an interest in everyone he sat with, and gave no impression of treating anyone differently. He was always patient with those sitting with him or keeping him standing, and would never leave that person until that person moved away from him."158

"He missed his companions, and asked after them (when he could not see them). He would ask how people were, and how their businesses were faring. He would call beautiful things beautiful, and ugly things ugly."159

"He was always in favor of honest men, and would receive no-one else. They would come to his side for a short time, and when they left, they would leave as their hearts satisfied. They left his side as living proofs and guides."160

"He was patient in the face of extreme or illogical behavior from strangers. They would sometimes grow angry, and he would calm them, saying, 'Guide them when you see anyone like that.'" 161

"He would never interrupt, but would always wait for people to finish."162

"He always spoke words that would cause people to love another and come together. He would never frighten or chase them away. He attached great importance to the leaders of all tribes, and was hospitable towards them"163

His grandson Hassan (ra) has this to say about the Prophet (saas):

"His looks were very meaningful He spoke briefly and to the point. There was nothing unnecessary in his words, and nothing lacking."164

"He spoke in the same way to leading notables or ordinary people. He concealed nothing from them..."165

This is how Abu Zar (ra) describes the Prophet (saas)'s most affectionateness towards his companions:

"I came to him (the Prophet (saas) and found him sitting on a cot. He got up from it and embraced me. This shows that embracing is good."166

Abu Huraira (ra) describes the Prophet Muhammad (saas)'s consideration and humaneness:

"The Prophet (saas) did not withdraw his hand from another till the latter withdrew his own hand."167

The Prophet (saas) also took the greatest interest in his companions' health. He advised the thin among them to put on weight, and the overweight among them to go on a diet and be careful what they ate.168

In some cases of sickness, he would advise his companions to take a drink made out of honey.169

Abu Huraira (ra) apparently fainted one day, and the Prophet (saas) lifted him to his feet, took him home, and gave him some milk to drink when he realized he was hungry.170

The Kaaba in Mecca. The King Fahd Gate.

A Messenger has come to you from among yourselves. Your suffering is distressing to him; he is deeply concerned for you; he is gentle and merciful to the believers. (Surat at-Tawba: 128)

The Prophet (saas) would laugh and joke with his companions

The Kaaba lock, in the Sacred Relics Department of Topkapi Palace.

It appears from what has come down from his companions that the Prophet (saas) would frequently joke with his family and companions, as well as laugh at their jokes, and give them friendly names or nicknames. As always, however, the Prophet (saas) also behaved very prudently, considerately and in accordance with the demands of good conscience when it came to joking. We can summarise the advice the Prophet (saas) gave his companions about joking in this way:

"I will joke, but I only speak the truth."

"It is not lawful for a Muslim to frighten his brother."

"Do not dispute with your brother, not joke with him in mocking terms."

"Shame on him who speaks lies in order to entertain others."

"One cannot be a good believer until he ceases to tell lies, even in jest, and to dispute, even if he is in the right."

"Do not speak lies, even in jest."171

The Prophet (saas)'s advice on the subject of love

One of the most important subjects that The Prophet (saas) dwelt on was that the believers should love one another sincerely and with no thought of personal interests, and that they should not harbour thoughts of hatred, anger or jealousy for one another. The Prophet (saas) was both the best possible example to the believers, but also frequently gave them advice on the subject.

In the Qur'an, Allah says of the matter:

That is the good news which Allah gives to His servants who believe and do right actions. Say: "I do not ask you for any wage for this-except for you to love your near of kin. If anyone does a good action, We will increase the good of it for him. Allah is Ever-Forgiving, Ever-Thankful." (Surat ash-Shura: 23)

These are some of the hadiths that touch on the Prophet (saas)'s qualities of love, friendship and brotherhood:

"A believer loves for others what he loves for himself."172

"Allah's Apostle (saas) used to accept gifts and used to give something in return."173

"He who is presented with a flower of sweet basil should not reject it, because it is light in weight and pleasant in odour."174

"Don't hate one another, don't envy one another don't sell over the sale to another, don't dispute with one another and don't back-bite one another. The servants of Allah are brethren to one another."175

"The habits of earlier generations have attacked you-envy and hatred. Hatred is shaving. You will not enter Paradise till you believe. You will not believe till you love one another. Shall I not inform you what thing will establish you on it? Spread peace among you."176

The Prophet (saas)'s interest in and love for children

The Prophet Muhammad (saas)'s compassion, mercifulness and consideration for the believers can also be seen in his attitude towards children. The Prophet (saas) took a close interest in his own children and grandchildren, as in those of his companions. In regards to them, he made suggestions about everything, from their birth to choosing names for them, from their health to their education, from their clothes to the games they played, all of which he played an active role in.

For example, shortly before his daughter Fatimah gave birth to his two grandchildren, he told her: "When there is a birth, do nothing to the child without informing me."177 After the babies had been born he instructed on how they were to be fed, looked after and protected.

The Prophet (saas) also prayed for new-born babies, for his children and grandchildren, and for the children of his companions. As he held them on his knee or watched them playing, he would ask Allah to give them long and prosperous lives, as well as wisdom and faith. At every opportunity he would pray for his grandchildren Hassan and Hussein, saying that the prayer he used was the same as that Abraham used for Isaac and Ismail.178

Ibn Abbas (ra), one of his companions, relates how when he was a child, the Prophet (saas) said, "Allah, teach him wisdom." During the childhood of Anas bin Malik, another of his companions, he prayed to Allah to give him much wealth, many children and a long life, and that these would be auspicious for him.179

The Prophet (saas) attached great importance to children's play, and sometimes even joined in with them. He recommended parents to play with their children, saying, "Let he who has a child be as a child with him."180
He suggested that children play such games and sports as swimming, running and wrestling, and encouraged his own grandchildren and the children of those around him to do so.

Many of his companions have described how the Prophet (saas) loved children, and took an interest in and played with them. Here are a number of examples:

Anas bin Malik (r.a):
"The Prophet was one of the foremost people when it came to playing and joking with children."181

Al-Bara 'ibn Azib (r.a):
"I saw Hassan (ra) upon the shoulders of Allah's Messenger."182

Anas bin Malik (ra) said:
"The Prophet (saas) kissed and smelled (his son) Ibrahim."183

Abu Huraira (ra) describes the Prophet (saas)'s love of children and how he used to play with them:
I went along with Allah's Messenger (saas) at a time during the day but he did not talk to me and I did not talk to him until he reached Bazar of Banu Qunaiqa. He came back to the tent of Fatima and said: Is the little chap (meaning Hassan) there? We were under the impression that his mother had detained him in order to bathe him and dress him and garland him with sweet garland. Not much time had passed that he (Hassan) came running until both of them embraced each other, thereupon Allah's Messenger (saas) said: O Allah, I love him; love him and love one who loves him (Hassan)..."184

According to Anas bin Malik (ra), the Prophet (saas) used to often call his grandchildren, Hassan and Hussein, over to him and cuddle them.185

Ibnu Rebi'ati'ibni Haris (ra) says:
"My father sent al-Fadl the son of Abbas and me to the Prophet (saas). When we came into his presence, he sat us down on his right and left, and embraced us more strongly than we had ever seen before."186

The Prophet (saas) would often caress the heads of children and pray for them. For example, Yusuf 'Ibn Abdullah 'Ibn Selam (ra) says the Prophet (saas) would often call him by name and pat his head. Amr Ibnu Hureys (ra) describes how his mother took him into the presence of the Prophet (saas), and how the latter would pat his head and pray that he would always receive his daily bread. When Abdullah Ibnu Utbe (ra) was five or six, he also recalls the Prophet (saas) patting his head and praying he would have many descendants and live in plenty.187

Abu Huraira (ra) provides the following examples of the Prophet Muhammad (saas)'s interest in and love for children:
"When the people saw the first fruit (of the season) they brought it to Allah's Apostle (saas). When he received it he said: "O Allah, bless us in our fruits; and bless us in our city; and bless us in our sa's (a measurement unit) and bless us in our mudd (a measurement unit). He would then call to him the youngest child and give him those fruits."188

"Whenever he came back from a journey, the children of his household would be taken out to meet him." He (saas) used to hug them close to him, as 'Abd-Allah ibn Jafar (ra) said:
"Whenever the Prophet (saas) came back from a journey, we would be taken out to meet him. One day we met him, Hassan, Hussein and I. He carried one of us in front of him, and another on his back, until we entered Madina."189

'Once the Prophet (saas) went out during the day then he sat in the compound of Fatima's house and asked about the small boy (his grandson Hassan). After a while the boy came out running and the Prophet (saas) embraced and kissed him'."190

Jaabir bin Samurah (ra) has this to say on the subject:
"I prayed along with Allah's Messenger (saas) the first prayer. He then went to his family and I also went along with him when he met some children (on the way). He began to pat the cheeks of each one of them. He also patted my cheek and I experienced a coolness or a fragrance of his hand as if it had been brought out from the scent bag of a perfumer."191

The Prophet Muhammad (saas) was sent at a time when female babies were still killed at birth, but stressed that girls should not be discriminated against in favor of boys, and that it was a sin to kill them. By demonstrating equal love for and interest in both, he set an excellent example to the whole of the society. The followoing is an example of what the Prophet (saas) said about female children:

"A daughter is a lovely child; affectionate, eager to help, mild and full of sacred feelings of motherhood."192

The Prophet (saas) demonstrated his love in word and deed. He would tell children how much he loved them.193

The Prophet (saas) never favored one child over another. He showed the same affection and compassion to the children of the faithful that he did to his own children and grandchildren. When Halid bin Said (ra) visited the Prophet (saas), there was a little girl by his side. The Prophet (saas) showed her special affection because she had been born in Abyssinia. On one occasion, the Prophet (saas) had a piece of embroidered fabric in his hands. He called the girl over and gave it to her, making her very happy.

Jemre (ra) was a small child at the time. Her father would bring her into the presence of the Prophet (saas) and ask for him to pray to Allah to make her prosperous. The Prophet (saas) took Jemre (ra) in his lap, placed his hand on her head, and prayed.

Usama (ra), the son of the Prophet (saas)'s assistant Zaid (ra), had this recollection of the Prophet (saas):
"Allah's Apostle (saas) used to put me on (one of) his thighs and Al-Hassan bin 'Ali on his other thigh, and then embraced us and said: 'O Allah! Please be Merciful to them, as I am merciful to them'."194

Some people were unable to understand why the Prophet (saas) played with children and took such an interest in them. On one accasion, Akra bin Habis (ra) saw the Prophet (saas) kissing Hassan (ra), and said:
" 'I have ten children and have never kissed one of them'." The Prophet (saas) looked at him and said, 'Those who show no mercy will be shown no mercy'."195

The Prophet (saas)'s venerable son Ibrahim (ra) would frequently visit the house of his wet nurse, show her love and affection, and stroke her head. Anas bin Malik (ra), the servant of the Prophet (saas), has another recollection:
"I never saw anyone who was more compassionate towards children than the Messenger of Allah (saas). His son Ibrahim was in the care of a wet-nurse in the hills around Madinah. He would go there, and we would go with him, and he would enter the house, pick up his son and kiss him, then come back."196

Our Prophet (saas) also warned the faithful to treat their children justly, and said:
"Fear Allah and treat your children with equal justice."197

The Prophet (saas) also placed great emphasis on children's education and their being brought up with a proper morality, and showed the way by giving a great deal of advice on the matter. Some of the things he had to say are as follows:
"The best things that a man leaves behind after his death are a virtuous child who invokes Allah for him, a perpetual charity, the reward of which reaches him, and a beneficial knowledge which remains useful after him."198
"One of a child's duties to his father is to make his name and behavior fitting."199
"Be hospitable to your children and raise them to be well-behaved ..."200

As in all subjects, the Prophet Muhammad (saas) was an excellent model to the faithful as far as taking an interest in children and showing them love and affection. He communicated the importance of showing love to children in the words, "He does not belong to us who does not show mercy to our young ones...."201

The Prophet (saas)'s wives are the mothers of the believers

The Prophet (saas)'s wives are the mothers of all believers, models for all Muslim women, possessed of true godliness. There is a considerable amount of information about the behavior and faith of the Prophet (saas)'s wives, the way they cared for him, their own wisdom and their excellent morality, to be found in the Qur'an, the hadiths, and accounts about the life of the Prophet (saas).

One of the facts about the Prophet (saas)'s wives in the Qur'an is that they are the mothers of all the believers:

The Prophet is closer to the believers than their own selves, and his wives are their mothers... (Surat al-Ahzab: 6)

In another verse, Allah forbids the believers to marry his wives after he has passed on:

“It is not right for you to cause annoyance to the Messenger of Allah or ever to marry his wives after him. To do that would be a dreadful thing in Allah's sight.” (Surat al-Ahzab: 53)

Other verses of the Qur'an reveal that the wives of the Prophet (saas) are not like other women, and describe how they ought to behave. The description reads:

“Wives of the Prophet! You are not like other women provided you heed Allah. Do not be too soft-spoken in your speech lest someone with sickness in his heart becomes desirous. Speak correct and courteous words. Remain in your houses and do not display your beauty as it was previously displayed in the Time of Ignorance. Establish prayer [salat] and pay welfare tax [zakat] and obey Allah and His Messenger. Allah desires to remove all impurity from you, People of the House, and to purify you completely. And remember the Signs of Allah and the wise words which are recited in your rooms. Allah is All-Pervading, All-Aware.” (Surat al-Ahzab: 32-33)

The behavior of the godly wives of the Prophet (saas), as revealed in these verses, in other words, their goodwill, intelligence and conscientiousness, their dignified behavior, their modesty, the care they took over their religious observances, and their obedience of the Prophet (saas), and their knowledge of the Qur'an and the sayings of the Prophet (saas), should set an example for all Muslim women.

"Nor does he speak from whim. It is nothing but Revelation revealed."
(Surat an-Najm: 3-4)

Muhammad is the Messenger of Allah, and those who are with him are fierce to the disbelievers, merciful to one another...
(Surat al-Fath: 29)

Allah has revealed in the Qur'an that the wives of the Prophet (saas) will be doubly rewarded:

"Wives of the Prophet! If any of you commits an obvious act of indecency she will receive double the punishment. That is an easy matter for Allah. But those of you who are obedient to Allah and His Messenger and act rightly will be given their reward twice over; and We have prepared generous provision for them." (Surat al-Ahzab: 30-31)

"Whoever obeys Allah and the Messenger will be with those whom Allah has blessed: the prophets and steadfast affirmers of truth, the martyrs and righteous. What excellent company such people are!" (Surat an Nisa': 69)

"Had Allah willed, He would have made you a single community, but He wanted to test you regarding what has come to you. So compete with each other in doing good. Every one of you will return to Allah and He will inform you regarding the things about which you differed. "(Surat al-Ma'ida: 48)

The first of the wives of the Prophet (saas) was Khadija (ra). She was also one of the very first Muslims. When the Prophet (saas) received his first revelation he immediately told her of it. Khadija (ra) is known for her intelligence, perceptiveness, foresight and wisdom, and she immediately believed, offering the Prophet (saas) enormous support in the days that followed and expending great physical and spiritual effort to help spread the morality of the Qur'an.

Other wives of the Prophet (saas), such as Sauda, Aisha, Hafsah, Umm Habiba, Umm Salama, Safia, Moyomuna, Zainab bint Jahsh, Juwairya (ra) are also mentioned for their self-sacrifice, patience, and loyalty to the Prophet (saas), and were also excellent role models for the faithful.

The Prophet (saas) displayed great interest in his wives as well as children, and was a means whereby their faith, health, happiness and knowledge were all increased. It is reported that the Prophet (saas) would play with his wives and run races with them. His companions described the Prophet (saas)'s great interest in his wives in the words, " The Prophet (saas) used to joke with his wives..."202

According to Aisha (ra), "I have never seen a man who was more compassionate to his family members than Muhammad (saas)."203

Another characteristic the Prophet (saas) is known to have possessed is his great justice towards his wives. It is reported that he divided his visits between them equally.

Anas bin Malik (ra) says:
"Allah's Apostle (saas) had nine wives. So when he divided (his stay) with them, the turn of the first wife only came on the ninth (day). They (all the wives) used to gather every night in the house of the one where he had to come (and stay that night)."204

Many of the words of the Prophet (saas) make it clear just how valuable devout women are. For instance, one of his sayings was as follows: "The whole world is a provision, and the best object of benefit of the world is the pious woman."205

The Prophet (saas) also told his companions how they should treat their own wives:

"The most perfect believer in faith is one who is the best of them in good conduct. The best of you is one who treats best with his wife among you."206

"The best of you, is the one who is best to his wives, and I am the best of you toward my wives."207

“Whoever obeys Allah and the Messenger will be with those whom Allah has blessed: the prophets and steadfast affirmers of truth, the martyrs and righteous. What excellent company such people are!” (Surat an Nisa': 69)

This is news of the Unseen which We reveal to you. You were not with them when they decided what to do and devised their scheme.
(Surah Yusuf: 102)

Note:
152. Imam Muhammed bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, p. 33
153. http://www.alinaam.org.za/LIBRARY/pallah.htm
154. http://www.salaam.co.uk/knowledge/ruqaiyyah4.php158
155. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001, Volume III, p.52
156. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001, Volume II, p.132
157. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings, Volume II, p.248
158. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 33
159. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 33
160. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 33
161. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 34
162. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 34
163. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 33
164. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 32
165. Imam Muhammed Bin Muhammed bin Sulayman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, Iz Publications, p. 32
166. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001,VolumeII, p.140
167. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings, VolumeII, p.131
168. http://www.ourdialogue.com/m25.htm
169. Sahih Bukhari Hadith
170. Sahih Bukhari, Islamic Book Service Publications, New Delhi, 2002,Volume 7, p.241
171. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 15, p. 209
172. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001,VolumeIII, p.68
173. Sahih Bukhari, Islamic Book Service Publications, New Delhi, 2002,Volume 3, p. 597
174. Riyad-us-Saliheen, Volume 2, Compiled by Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Sharaf An-Nawawi Ad-Dimashqi, p. 1330
175. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001,Volume III, p.124
176. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001,Volume III, p.167
177. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 448
178. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 450
179. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 450-451
180. http://www.diyanetvakfi.dk
181. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 15, p. 209
182. Sahih Muslim, Volume IV, p.110
183. Imam Muhammad Bin Muhammad bin Suleyman er-Rudani, Cem'ul-fevaid min Cami'il-usul ve Mecma'iz-zevaid, Volume5, p.136
184. Sahih Muslim, Islamic Book Service, New Delhi (India), Volume IV, Number2421R1
185. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 508
186. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 508
187. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 509
188. Sahih Muslim, Volume 7, Number 3170
189. Sahih Muslim, Volume 4, Number 1885-2772
190. Sahih Bukhari Volume 3, Book 34, Number 333
191. Sahih Muslim, Kitab al-Fada'il, Book 30, Number 5758
192. Vesail, Ebvab-ı Ahkam-ul-Evlad, 4.bab; Huseyin Hatemi, Ilahi Hikmette Kadin (Woman in the Divine Wisdom), Birlesik Publications, Volume 4, Istanbul, 1999, p. 72
193. http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/Prophet/Prophet description.html#children
194. Sahih Bukhari, Islamic Book Service Publications, New Delhi, 2002, Volume 8, p.199
195. Sahih Bukhari, Number 91
196. Sahih Muslim, 15/75, Kitab al-Fada'il
197. Sahih Bukhari and Muslim Hadiths
198. Abu Katada Hadith
199. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 512
200. Al Hafiz ibn al-Dayba al-Shaybani, Taysir al-'usul ilaJami al-'usul, Volume 2, p. 515
201. Tirmidhi Hadith
202. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din, Volume 2, p. 32
203. Sahih Muslim, Kitab al-Fada'il,63
204. Sahih Muslim, Islamic Book Service Publications, New Delhi, 1998, Book 8, Number 3450
205. Sahih Muslim, Book 8, No. 3465
206. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001,VolumeII, p.32
207. Imam Ghazzali's Ihya Ulum-Id-Din (The Book of Religious Learnings), Islamic Book Service, New Delhi, 2001,Vol.II, p.32