Sabtu, 19 Juli 2008

AMAL YANG TERTOLAK

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-NYA maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 36)

Dari Ai’syah, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang membuat urusan yang baru dalam urusan (agama) ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dengan redaksi lain hadits senada diriwayatkan Imam Muslim, “Siapa yang melakukan suatu amal yang tidak memiliki dasar dalam urusan (agama) kami, maka amal itu tertolak.”
Hadits di atas adalah hadits shahih yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Kitab Al-Shulh, bab Idza ishthalahu ‘ala shulhi jurin fa as-shulhu mardudun, hadits no. 2697, juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Kitab Al-Uqdhiyah, bab naqdh-al-ahkam al-bathilah wa radd muhdatsat al-umur, hadits no. 1718.

Ibn Rajab Al-Hambali mengatakan bahwa hadits ini merupakan salah satu pokok Islam terpenting. Ia merupakan tolok ukur lahiriah agar suatu amal diterima oleh ALLAH. Sebagaimana hadits Inama a’mal bi al-niyyat merupakan tolok ukur bathin. Jadi suatu amal akan diterima oleh ALLAH SWT, jika memenuhi dua hal, yaitu:

1. Secara lahiriah sesuai dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW
2. Secara bathin, ikhlas karrena ALLAH

LARANGAN
Secara garis besar, hadits di atas menjelaskan larangan memunculkan sesuatu yang baru dalam agama, baik berupa keyakinan, atau amal perbuatan atau lainnya dan bahwa segala sesuatu yang baru ini, jika tidak memiliki dasar atau sandaran dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, baik dasar AL-Qur’an, Al-hadits atau dalil-dalil lain yang dibenarkan oleh Al-Qur’an dan Al-hadits. Dan jika sesuatu yang baru ini demikian halnya, dalam arti tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an dan Al-hadits atau dalil-dalil lain yang dibenarkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka sesuatu yang baru itu tertolak, dalam arti:

1. Tidak diterima oleh ALLAH
2. Dan tidak boleh dipandang sebagai bagian dari agama.
3. Bahkan pelakunya akan diancam dengan dosa, karena bentuk pelanggarannya atas larangan ALLAH dan Rasul-NYA.

Sesuatu yang baru dengan pengertian seperti di atas inilah yang oleh para ulama disebut dengan bid’ah.
Perlu dipahami bahwa maksud amrina (urusan) dalam hadits di atas adalah agama dan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad SAW, hal ini menunjukkan bahwa semua amal yang dilakukan seseorang hendaklah berada di bawah kendali hukum-hukum syari’ah. Dan bahwasanya hukum-hukum syari’ah hendaklah mengendalikan amal-amalnya, baik melalui perintah-perintah yang ada di dalamnya maupun melalui larangan-larangnya. Jika amal tersebut sesuai dengan syari’ah, maka amal tersebut diterima dan jika tidak sesuai dengan syariah, maka amal tersebut tertolak, tidak diterima dan pelakunya diancam dengan dosa.

AMAL YANG DIBENARKAN SYARI’AH TETAPI BERCAMPUR DENGAN AMAL LAIN

Bagaimana jika suatu amal pada asal atau prinsipnya dibenarkan oleh syari’ah, akan tetapi tercempur dengan sesuatu yang tidak dibenarkan?
Jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut:

1. Amal yang tercampur seperti dalam pertanyaan di atas terkategori amalan yang menyimpang dari syari’ah.
2. Jika campuran tersebut merusak bagian terpenting dari suatu amal-misalnya merusak pelaksanaan rukuk dalam shalat- atau jika campuran tersebut merusak sebuah syarat wajib suatu amal-misalnya merusak pelaksanaan wudhu’-maka campuran seperti ini menyebabkan amal tersebut tertolak dan tidak diterima.
3. Jika campuran tersebut tidak merusak pokok suatu amal-misalnya tidak merapatkan barisan dalam sebuah shalat berjama’ah-maka amal seperti ini tidak tertolak secara mutlak, tetapi mengakibatkan nilai shalat berjamaah tersebut menjadi berkurang dan tidak sempurna.

AMAL YANG DITAMBAH-TAMBAHI

Bagaimana pula jika suatu amal mendapatkan penambahan sesuatu yang tidak diajarkan syari’ah?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
1. Tambahan tersebut tidak dapat dinilai sebagai bentuk pendekatan kepada ALLAH dan tidak ada pahalanya.
2. Jika penambahan tersebut terkait dengan sebuah amal yang secara kaifiyyah (tatacara) telah diatur syari’ah sebagai sesuatu yang wajib diikuti, maka penambahan seperti ini menjadikan amal tersebut batal secara keseluruhan. Misalnya menambah atau mengurangi rakaat dalam shalat.
3. Jika penambahan tersebut terkait dengan sesuatu yang sunnat, maka penambahan ini tidak menjadikan suatu amal batal dan tertolak secara mutlak, tetapi penambahan ini tidak mendapatkan pahala dari ALLAH SWT, misalnya jika seseorang berwudhu’ dengan membasuh muka atau tangan atau kaki masing-masing sebanyak empat kali. Sebab yang wajib hanyalah satu kali. Yang sunnat adalah tiga kali. Sedangkan yang keempat kalinya, ia tidaklah merupakan bentuk ibadah dan tidak ada pahalanya sama sekali, hanya saja, ia tidak menjadikan wudhu’nya tersebut batal.

AMAL YANG TERCAMPUR YANG HARAM

Bagaimana jika suatu amal tercampur dengan sesuatu yang haram, misalnya shalat dengan baju curian?

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa amal seperti ini pada dasarnya adalah sah, diterima di sisi ALLAH dan telah menggugurkan kewajiban dengan arti tidak perlu mengulangi lagi shalatnya. Hanya saja, bersama dengannya, ia pun mendapatkan dosa atas baju hasil curiannya.

Simpul dari rincian jawaban seperti ini adalah:
Jika suatu larangan terkait dengan makna khas yang dimiliki oleh suatu amal ibadah, maka campuran larangan ini dengan amal ibadah tersebut menjadikan amal ibadah tersebut batal. Misalnya shalat dengan pakaian najis atau shalat tanpa menutup aurat menjadikan shalat tidak sah atau batal, sebab shalat dengan pakaian suci dan menutup aurat adalah bagian syarat sahnya shalat yang tidak dapat dipisahkan dari shalat.

Namun, jika larangan tersebut tidak terkait dengan makna khas suatu ibadah, akan tetapi larangan tersebut bersifat “eksternal” dari pelaksanaan hasil ibadah, maka campuran larangan ini dengan pelaksanaan suatu ibadah tidak menjadikan ibadah tersebut batal, misalnya shalat dengan pakaian hasil curian, sebagaimana dijelaskan di atas. Wallahu a’lam

Dengan demikian, jika kita menemukan suatu amal yang tidak sesuai dengan perintah syari’ah, janganlah kita serta merta mengatakan bahwa amal tersebut tidak diterima oleh ALLAH secara mutlak. Akan tetapi, kita perlu melihatnya secara detail dan terinci, lalu megurai yang mana-mana yang tertolak dan mana-mana yang masih tetap diterima di sisi ALLAH.

Oleh karena itu, lebih selamat bagi kita bila beramal didahului dengan ilmu, sehingga kita mengerti yang mana amal ibadah yang sesuai dengan perintah syari’ah dan yang mana yang tidak berasal dari syaria’ah. Ibarat seorang petani yang menanam padi, maka petani tersebut harus tahu bahwa yang dia tanam tersebut apakah padi ataukah rumput ilalang. Demikian juga dalam beramal dan beribadah bila kita mengharapkan pahala dari ALLAH, maka kita haruslah hanya beramal dan beribadah seperti yang telah diperintahkan ALLAH dan seperti yag telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW.

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia.” (QS. Al-Hasyr: 7)