" Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai ALLAH daripada mukmin yang lemah, dan bagi masing-masing mendapatkan kebaikan, bersungguh-sungguhlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan ALLAH dan janganlah merasa lemah”
(HR. Muslim)
Nafsu itu seperti anak umur 2 tahun yang menyusu pada ibunya. Jika dibiarkan, hingga besar dia akan terus menyusu, namun jika disapih, maka tidak akan celaka. Nafsu untuk makan yang enak-enak, nafsu untuk tidur nyenyak, nafsu untuk memandang yang tidak layak, nafsu untuk terus bercanda dan bersuka ria, menyapihnya tak akan mendatangkan bahaya, bahkan memperturutkannya menimbulkan bahaya.
Sahabat Rasulullah SAW, Salman Al-Farisi memberikan nasihat, “Sesungguhnya nafsu itu jika anda tidak menyibukkannya dengan ketaatan, niscaya dia akan menyibukkanmu dengan kemaksiatan.”
Butuh kesungguhan untuk mengisi waktu dengan segala aktifitas yang selalu bernilai ketaatan dan ibadah. Karena nafsu itu ammarah bis suu’, cenderung kepada yang buruk. Kesungguhan untuk menahan nafsu disaat cenderung kepada sesuatu yang tidak bernilai ibadah inilah yang disebut mujahadah.
Sebagaimana mujahadah diperlukan bagi orang yang ingin sukses di dunia, mujahadah juga diperlukan bagi mereka yang ingin sukses di akhirat.
Jannah bukan hadiah bagi orang yang berleha-leha di dunia, atau seperti slogan murahan ’kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.’
Bukan. Jannah disediakan hanya bagi orang yang mau berlelah-lelah dan bersusah payah, mau menempuh jalan yang bertolak belakang dengan kehendak hawa nafsunya. Neraka dihiasi dengan (berbagai hal yang sesuai) syahwat, dan jannah dihiasi dengan hal-hal yang tidak disukai (nafsu).
Jannah hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu memerangi hawa nafsunya. ALLAH berfirman, ”Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran TUHAN-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41)
Untuk itulah, ketika seorang Tabi’in mengenang malam saat para sahabat Nabi sedang membaca Al-Qur’an, yang lain sedang shalat malam, yang lain lagi sedang menangis mengadu kepada ALLAH, dia suka mengelilingi rumah demi rumah untuk mendengar suara syahdu itu. Namun setelah mereka tiada, dia keluar malam dan mendapatkan rumah-rumah senyap tanpa suara kecuali suara orang mendengkur, maka dia berkata, ”Aku heran terhadap jannah, bagaimana orang memburunya namun mereka tidur, aku heran terhadap neraka, bagaimana orang-orang lari darinya, tetapi mereka tidur.”
TINGKATAN MUJAHADAH
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa memerangi hawa nafsu ada empat tingkatan. Pertama mengendalikan hawa nafsunya agar mau mempelajari urusan agama. Kedua mengendalikannya agar mau mengamalkannya. Ketiga mengendalikannya agar mau mengajarkan kepada yang belum mengetahuinya. Dan keempat adalah menyeru manusia untuk mentauhidkan ALLAH dan memerangi orang-orang yang memusuhi agama-NYA.
Masing-masing tingkatan membutuhkan mujahadah. Imam syafi’i ketika ditanya: ”Bagaimana kiat anda mendapatkan seluruh ilmu ini?” Beliau menjawab, ”Dengan tanpa bersandar, mengembara ke negeri seberang, bersabar seperti kesabaran himar dan berpagi-pagi seperti ayam jantan berkokok.” Begitupun dengan prestasi yang didapatkan oleh Imam Al-Bukhari, bukan semata-mata karena kebagusan hapalannya, tetapi juga kesungguhannya. Ketika beliau ditanya tentang obat lupa, beliau menjawab, mudamimatun nadhr ilal kutub, dengan terus-menerus membaca kitab.
Mujahadah lebih dibutuhkan lagi ketika hendak mengamalkan ilmu dan mendakwahkannya.
MUJAHADAH DAN GHULUW
Mujahadah dalam segala amal baik adalah terpuji, tetapi jika kadarnya kelewat batas menjadi tercela. Karena tidak lagi disebut mujahadah, tetapi ghuluw (berlebih-lebihan). Nabi SAW bersabda: ”Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan), karena yang menyebabkan binasanya orang sebelum kalian adalah berlebh-lebihan dalam menjalankan agama.” (HR. Ahmad)
Ada batas yang membedakan antara mujahadah dan ghuluw. Dikatakan ghuluw manakala seseorang mengerjakan suatu amal yang porsinya melebihi sesuatu yang disyariatkan, seperti mengharamkan apa-apa yang dihalalkan syari’at. Sebagaimana riwayat disebutkan oleh Al-Bukhari: ”Ada tiga orang mendatangi istri Nabi SAW untuk menanyakan tentang kebagusan ibadah Nabi SAW. Ketika diberitahu, seakan mereka menganggap remeh apa yang telah mereka kerjakan lalu mereka berkata: ”Seberapakah ibadah kita dibandingkan dengan Nabi SAW padahal Beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” salah seorang dari mereka berkata: ”Aku akan shalat semalam suntuk selamanya.”, yang lain berkata, ”Aku akan shaum setahun penuh tanpa berhenti.” yang lain lagi berkata, ”Akan aku jauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” lalu datanglah Nabi SAW kepada mereka dan bersabda, ”Apakah kalian yang telah berkata begini dan begini? Demi ALLAH, sesungguhnya akulah yang paling takut dan paling takwa di antara kalian, akan tetapi saya shaum namun juga berbuka, saya shalat namun juga tidur, dan saya menikahi wanita, maka barangsiapa membenci sunnahku dia bukan golonganku. (HR. Al-Bukhari)
Dikatakan melampaui batas manakala dia melakukan suatu amal sunnah hingga menjadikan terbengkalinya suatu kewajiban. Adapun orang yang melakukan suatu amal yang di syari’atkan, tetapi dalam pandangan manusia umunya dianggap berlebihan, maka itu bukanlah ghuluw, tetapi masih dalam taraf mujahadah.
Seperti orang yang memanjangkan jenggotnya, memakai celana menggantung di atas mata kaki atau sampai pertengahan betis. Atau seorang wanita yang berjilbab sesuai dengan ketentuan syar’i. Mereka tidak dapat dikatakan melampaui batas, karena begitulah syari’at mengajarkan, meskipun telah dianggap berlebihan oleh sebagian orang.
TELADAN PARA SALAFUS SALIH
Saat perang Badar Kubra berkecamuk dipertengahan Ramadhan tahun kedua hijrah, umurnya belum genap 16 tahun. Secara sembunyi-sembunyi ia berangkat menuju medan pertempuran. Ia menghindari pertemuan dengan Rasulullah SAW, karena khawatir disuruh pulang. Maka mengetahui keinginan dan keseriusannya untuk berperang Beliau mengizinkannya. Ia maju dengan gagah berani dan akhirnya terbunuh di jalan ALLAH. Dialah ’Umair bin Abu Waqqash, adik kandung dari Sa’ad bin Abu Waqqash.
Abdullah bin Sahal dan Rafi’ bin Sahal adalah dua orang bersaudara kandung yang mengikuti Perang Uhud bersama Rasulullah SAW. Keduanya kembali dari medan Uhud dalam keadaan terluka parah. Ketika seorang utusan Rasulullah SAW mengumandangkan seruan untuk keluar kembali mengejar musuh, salah seorang dari keduanya berkata kepada saudaranya, ”Apakah kita akan hilang kesempatan bersama Rasulullah?” adalah keduanya tidak memiliki binatang tunggangan, padahal mereka benar-benar ingin berangkat sementara luka-luka yang mereka derita benar-benar parah. Keduanya tetap berangkat dengan berjalan kaki. Yang lebih ringan lukanya, kadang-kadang menggendong saudaranya. Keduanya berjalan kaki menempuh jarak lebih dari delapan mil.
Utsman bin Mazh’un buta sebelah matanya setelah ia menolak perlindungan yang diberikan oleh seorang musyrik dan memilih ridha dengan perlindungan ALLAH. Kepadanya, Walid bin Mughirah berkata, ”Demi ALLAH, wahai keponakanku, jika matamu tidak menginginkan apa terjadi sekarang ini, sebenarnya aku dapat menjaminnya.” Utsman menjawab, ”Sebaliknya, demi ALLAH, sungguh mataku yang masih sehat ini benar-benar menginginkan apa yan menimpa sebelahnya di jalan ALLAH. Dan sungguh aku kini berada di sisi DZAT yang jauh lebih mulia daripada di sisimu.”
Semoga kita menjadi orang yang bermujahadah dalam taat dan meninggalkan maksiat. amin
Sumber: Ar-Risalah No. 42 Tahun 2004
(HR. Muslim)
Nafsu itu seperti anak umur 2 tahun yang menyusu pada ibunya. Jika dibiarkan, hingga besar dia akan terus menyusu, namun jika disapih, maka tidak akan celaka. Nafsu untuk makan yang enak-enak, nafsu untuk tidur nyenyak, nafsu untuk memandang yang tidak layak, nafsu untuk terus bercanda dan bersuka ria, menyapihnya tak akan mendatangkan bahaya, bahkan memperturutkannya menimbulkan bahaya.
Sahabat Rasulullah SAW, Salman Al-Farisi memberikan nasihat, “Sesungguhnya nafsu itu jika anda tidak menyibukkannya dengan ketaatan, niscaya dia akan menyibukkanmu dengan kemaksiatan.”
Butuh kesungguhan untuk mengisi waktu dengan segala aktifitas yang selalu bernilai ketaatan dan ibadah. Karena nafsu itu ammarah bis suu’, cenderung kepada yang buruk. Kesungguhan untuk menahan nafsu disaat cenderung kepada sesuatu yang tidak bernilai ibadah inilah yang disebut mujahadah.
Sebagaimana mujahadah diperlukan bagi orang yang ingin sukses di dunia, mujahadah juga diperlukan bagi mereka yang ingin sukses di akhirat.
Jannah bukan hadiah bagi orang yang berleha-leha di dunia, atau seperti slogan murahan ’kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.’
Bukan. Jannah disediakan hanya bagi orang yang mau berlelah-lelah dan bersusah payah, mau menempuh jalan yang bertolak belakang dengan kehendak hawa nafsunya. Neraka dihiasi dengan (berbagai hal yang sesuai) syahwat, dan jannah dihiasi dengan hal-hal yang tidak disukai (nafsu).
Jannah hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu memerangi hawa nafsunya. ALLAH berfirman, ”Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran TUHAN-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41)
Untuk itulah, ketika seorang Tabi’in mengenang malam saat para sahabat Nabi sedang membaca Al-Qur’an, yang lain sedang shalat malam, yang lain lagi sedang menangis mengadu kepada ALLAH, dia suka mengelilingi rumah demi rumah untuk mendengar suara syahdu itu. Namun setelah mereka tiada, dia keluar malam dan mendapatkan rumah-rumah senyap tanpa suara kecuali suara orang mendengkur, maka dia berkata, ”Aku heran terhadap jannah, bagaimana orang memburunya namun mereka tidur, aku heran terhadap neraka, bagaimana orang-orang lari darinya, tetapi mereka tidur.”
TINGKATAN MUJAHADAH
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa memerangi hawa nafsu ada empat tingkatan. Pertama mengendalikan hawa nafsunya agar mau mempelajari urusan agama. Kedua mengendalikannya agar mau mengamalkannya. Ketiga mengendalikannya agar mau mengajarkan kepada yang belum mengetahuinya. Dan keempat adalah menyeru manusia untuk mentauhidkan ALLAH dan memerangi orang-orang yang memusuhi agama-NYA.
Masing-masing tingkatan membutuhkan mujahadah. Imam syafi’i ketika ditanya: ”Bagaimana kiat anda mendapatkan seluruh ilmu ini?” Beliau menjawab, ”Dengan tanpa bersandar, mengembara ke negeri seberang, bersabar seperti kesabaran himar dan berpagi-pagi seperti ayam jantan berkokok.” Begitupun dengan prestasi yang didapatkan oleh Imam Al-Bukhari, bukan semata-mata karena kebagusan hapalannya, tetapi juga kesungguhannya. Ketika beliau ditanya tentang obat lupa, beliau menjawab, mudamimatun nadhr ilal kutub, dengan terus-menerus membaca kitab.
Mujahadah lebih dibutuhkan lagi ketika hendak mengamalkan ilmu dan mendakwahkannya.
MUJAHADAH DAN GHULUW
Mujahadah dalam segala amal baik adalah terpuji, tetapi jika kadarnya kelewat batas menjadi tercela. Karena tidak lagi disebut mujahadah, tetapi ghuluw (berlebih-lebihan). Nabi SAW bersabda: ”Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan), karena yang menyebabkan binasanya orang sebelum kalian adalah berlebh-lebihan dalam menjalankan agama.” (HR. Ahmad)
Ada batas yang membedakan antara mujahadah dan ghuluw. Dikatakan ghuluw manakala seseorang mengerjakan suatu amal yang porsinya melebihi sesuatu yang disyariatkan, seperti mengharamkan apa-apa yang dihalalkan syari’at. Sebagaimana riwayat disebutkan oleh Al-Bukhari: ”Ada tiga orang mendatangi istri Nabi SAW untuk menanyakan tentang kebagusan ibadah Nabi SAW. Ketika diberitahu, seakan mereka menganggap remeh apa yang telah mereka kerjakan lalu mereka berkata: ”Seberapakah ibadah kita dibandingkan dengan Nabi SAW padahal Beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” salah seorang dari mereka berkata: ”Aku akan shalat semalam suntuk selamanya.”, yang lain berkata, ”Aku akan shaum setahun penuh tanpa berhenti.” yang lain lagi berkata, ”Akan aku jauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” lalu datanglah Nabi SAW kepada mereka dan bersabda, ”Apakah kalian yang telah berkata begini dan begini? Demi ALLAH, sesungguhnya akulah yang paling takut dan paling takwa di antara kalian, akan tetapi saya shaum namun juga berbuka, saya shalat namun juga tidur, dan saya menikahi wanita, maka barangsiapa membenci sunnahku dia bukan golonganku. (HR. Al-Bukhari)
Dikatakan melampaui batas manakala dia melakukan suatu amal sunnah hingga menjadikan terbengkalinya suatu kewajiban. Adapun orang yang melakukan suatu amal yang di syari’atkan, tetapi dalam pandangan manusia umunya dianggap berlebihan, maka itu bukanlah ghuluw, tetapi masih dalam taraf mujahadah.
Seperti orang yang memanjangkan jenggotnya, memakai celana menggantung di atas mata kaki atau sampai pertengahan betis. Atau seorang wanita yang berjilbab sesuai dengan ketentuan syar’i. Mereka tidak dapat dikatakan melampaui batas, karena begitulah syari’at mengajarkan, meskipun telah dianggap berlebihan oleh sebagian orang.
TELADAN PARA SALAFUS SALIH
Saat perang Badar Kubra berkecamuk dipertengahan Ramadhan tahun kedua hijrah, umurnya belum genap 16 tahun. Secara sembunyi-sembunyi ia berangkat menuju medan pertempuran. Ia menghindari pertemuan dengan Rasulullah SAW, karena khawatir disuruh pulang. Maka mengetahui keinginan dan keseriusannya untuk berperang Beliau mengizinkannya. Ia maju dengan gagah berani dan akhirnya terbunuh di jalan ALLAH. Dialah ’Umair bin Abu Waqqash, adik kandung dari Sa’ad bin Abu Waqqash.
Abdullah bin Sahal dan Rafi’ bin Sahal adalah dua orang bersaudara kandung yang mengikuti Perang Uhud bersama Rasulullah SAW. Keduanya kembali dari medan Uhud dalam keadaan terluka parah. Ketika seorang utusan Rasulullah SAW mengumandangkan seruan untuk keluar kembali mengejar musuh, salah seorang dari keduanya berkata kepada saudaranya, ”Apakah kita akan hilang kesempatan bersama Rasulullah?” adalah keduanya tidak memiliki binatang tunggangan, padahal mereka benar-benar ingin berangkat sementara luka-luka yang mereka derita benar-benar parah. Keduanya tetap berangkat dengan berjalan kaki. Yang lebih ringan lukanya, kadang-kadang menggendong saudaranya. Keduanya berjalan kaki menempuh jarak lebih dari delapan mil.
Utsman bin Mazh’un buta sebelah matanya setelah ia menolak perlindungan yang diberikan oleh seorang musyrik dan memilih ridha dengan perlindungan ALLAH. Kepadanya, Walid bin Mughirah berkata, ”Demi ALLAH, wahai keponakanku, jika matamu tidak menginginkan apa terjadi sekarang ini, sebenarnya aku dapat menjaminnya.” Utsman menjawab, ”Sebaliknya, demi ALLAH, sungguh mataku yang masih sehat ini benar-benar menginginkan apa yan menimpa sebelahnya di jalan ALLAH. Dan sungguh aku kini berada di sisi DZAT yang jauh lebih mulia daripada di sisimu.”
Semoga kita menjadi orang yang bermujahadah dalam taat dan meninggalkan maksiat. amin
Sumber: Ar-Risalah No. 42 Tahun 2004