Jumat, 04 Juli 2008

RASULULLAH BUKAN PENGKHIANAT

“Orang yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam dan memandangnya sebagai suatu kebaikan, sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad SAW mengkhianati risalah.” (Imam Malik)

Seorang muslim yang paling awam sekalipun selama masih mengaku sebagai muslim yang baik dan sehat akalnya tidak akan berpikir bahwa Nabi Muhammad SAW masih menyembunyikan suatu cara untuk mendekatkan diri kepada ALLAH dengan sebaik-baiknya. Semua percaya bahwa bagian-bagian risalah Islam, mulai dari yang paling global sampai yang paling detail, mulai yang paling besar sampai yang paling kecil telah Beliau SAW sampaikan. Sesuai dengan firman ALLAH, “Pada hari ini telah AKU sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah AKU cukupkan kepada kalian nikmat-KU, dan AKU telah ridhoi Islam itu sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)
Sayangnya, tidak sedikit orang yang menyatakan tidak sekali-kali akan menuduh Nabi SAW sebagai pengkhianat risalah dan bahkan mengaku sebagai orang-orang yang sangat mencintai Beliau SAW, namun keyakinan dan amal perbuatannya menunjukkan kebalikan dari pernyataannya. Ibadahnya dipenuhi dengan perkataan dan perbuatan bid’ah.
Bid’ah menurut Imam Syathibi dalam I’tisham adalah suatu cara baru dalam agama, yang menandingi syari’at, dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada ALLAH.

SIKAP PARA MUBTADI’
Dalam benak para Mubtadi’ (Ahli Bid’ah), apa yang mereka perbuat itu adalah tambahan kebaikan. Sebenarnya itulah pangkal terjadinya beragam bid’ah dalam semua tingkatan.
Andai saja diberitahu atau diperingatkan, para mubtadi’ niscaya justru mempertanyakan, “Apanya yang salah? Bukankah ini tambahan dalam kebaikan? Bagaimana bisa yang demikian dikatakan sesat?” mereka menganggap bidah yang mereka lakukan adalah sebagai syari’at, mereka melestarikannya, mendakwahkannya, bahkan mengutamakan di atas syari’at. Mereka tidak sadar mereka sedang berbuat kekeliruan yang sangat besar, bahkan lebih besar dari dosa maksiat yang paling besar sekalipun.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa bid’ah adalah hal yang lebih disukai oleh Iblis dalam menyesatkan manusia dibandingkan dengan dosa-dosa besar, karena para Mubtadi’ tidak pernah merasa melakukan maksiat yang dia harus bertobat karenanya, mereka memandang perbuatan bid’ahnya adalah suatu ‘tambahan kebaikan’, sedangkan maksiat atau dosa-dosa besar para pelakunya masih merasa melakukan suatu dosa dan mungkin saja bertaubat di lain waktu.

JALAN ORANG-ORANG YANG MENYIMPANG
Bid’ah adalah penyimpangan dari jalan yang lurus, ALLAH berfirman, “Dan bahwa (yang KAMI perintahkan ini) adalah jalan-KU yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-NYA. Yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)
Jalan lurus adalah jalan kebenaran yang berpedoman kepada sunnatullah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah (hadits/thariqus sunnah). Sedangkan as-subul (jalan-jalan lain), adalah jalan-jalan yang penuh bid’ah dan kesesatan sebagaimana jalannya firqah menyimpang seperti Khawarij, Syi’ah, Murji’ah, Mu’tazilah, sufi dan lainnya.
Jika terhadap thariqus sunnah Ibnu Mas’ud mengatakan, “Muhammad SAW meninggalkan kami pada jalan itu sementara ujungnya di Surga.” Maka terhadap bid’ah Rasulullah SAW telah memastikan bahwa kullu Bid’atin dhalaalah (setiap bid’ah itu sesat) yang ujungnya di neraka.
Bid’ah juga jadi pemicu perpecahan. Manakala merebak bid’ah, maka timbul pula perdebatan, pertengkaran dan pepecahan. ALLAH Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-NYA dan mereka menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada ALLAH, kemudian ALLAH akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 159)
Para Mubtadi’ di akhirat kelak adalah orang-orang yang tertipu dengan semua amal yang telah dia lakukan yang diduganya bisa menjadi bekal. Mereka itu seperti musafir yang membawa bekal berkantung-kantung pasir, susah payah dan kerja kerasnya tidak bermanfaat ketika ia lapar dan dahaga. Bahkan menjadikannya lebih sengsara. Begitulah nanti di akhirat, amal-amal mereka akan di tolak, seperti yang dimaksud oleh Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah (contoh)nya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim)

PERINGATAN RASULULLAH SAW
Mengingat begitu besarnya bahaya bid’ah, jauh-jauh Rasulullah SAW telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus kedalamnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah mengadakan perkara-perkara yang baru karena semua yang baru adalah itu adalah bid’ah dan semua yang bid’ah itu sesat.” (HR. An-Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud dan ad-Darimiy)
Perkara baru yag dimaksud hadits Nabi tersebut, bisa masuk ke dalam amal yang kita kerjakan melewati enam pintu. Yaitu waktu, tempat, sebab, ukuran, sifat dan jumlah. Shalat misalnya, seseorang dikatakan melakukan bid’ah jika ia merubah waktu, tempat, sebab, ukuran, sifat dan jumlah shalat. Seseorang tidak boleh mengerjakan shalat shubuh di siang hari secara sengaja dan bukan dalam rangka mengqadha’ (karena ketiduran dan baru bangun di tengah hari). Ia juga tidak boleh mengerjakannya di tempat terlarang seperti kuburan. Ia pun tidak boleh menyengaja untuk memanjangkan proses pelaksanaannya sampai keluar waktunya. Begitu pula ia tidak boleh mengubah urutan-urutannya: misal bersujud dulu baru rukuk, dan ia pun tidak diperkenankan menambah jumlah rakaat.
Oleh karena itu, para ulama telah memberikan rambu-rambu atau kaidah yang komprehensif untuk menimbang suatu perkataan, atau perbuatan itu termasuk bid’ah atau bukan. Jika perkara yang akan ditimbang adalah perkara aqidah atau ta’abbudiyyah, maka para ulama menyatakan bahwa yang termasuk bid’ah adalah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, atau kalau menurut Imam Ahmad, tidak pula dicontohkan oleh para sahabat, merekalah yang paling tahu-setelah Rasulullah- yang mana sunnah yang mana bid’ah. Sedangkan jika itu menyangkut mua’amalah, maka yang termasuk bid’ah adalah muamalah yang bertentangan dengan prinsip mu’amalah dalam Islam.

PILIHLAH SUNNAH JANGAN BID’AH
Sumber dari segala kebaikan adalah dengan mengikuti ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
“Barangsiapa taat kepada ALLAH dan Rasul-NYA, niscaya ALLAH memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai ALLAH dan Rasul-NYA dan melanggar ketentuan-ketentuan-NYA, niscaya ALLAH memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nissa: 13-14)
“Sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim)
Sebagai seorang muslim, maka sudah menjadi kewajiban bagi dirinya untuk terus berpegang teguh pada sunnah ALLAH dan Rasul-NYA. Mengapa kita harus melakukan suatu ibadah yang tidak ada perintahnya dari ALLAH dan Rasul-NYA? Tidak cukupkah bagi kita mengikuti Sunnah ALLAH dan Rasul-NYA yang telah dijamin keselamatan, kebahagiaan dan pahala yang banyak didunia dan akhirat bagi siapa saja mengkutinya? Mengapa kita pertaruhkan keselamatan hidup kita di dunia dan akhirat yang belum jelas juntrungannya dengan mengikuti petunjuk selain ALLAH dan Rasul-NYA? Apakah ada perintah dan jaminan kebahagiaan dan keselamatan dari ALLAH dan Rasul-NYA bagi siapa saja yang menyelisihi sunnah ALLAH dan Rasul-NYA?
Oleh karena itu, “Orang yang bersahaja di atas sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di atas bid’ah.” (Ibnu Mas’ud)

Dari Berbagai Sumber