A. Sejarah Peringatan Maulid Nabi SAW
Ada beberapa versi mengenai sejarah munculnya acara peringatan Maulid Nabi SAW. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah, bahwa Daulah Fathimiyyah ’Ubaidiyyah yang memerintah Mesir dari tahun 357-567H adalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan di dalam Islam yang banyak sekali di antaranya Maulid Nabi Muhammad SAW. Padahal mereka adalah orang-orang zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-’Ubaidiyyun dari golonga Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi. Ada yang mensinyalir mereka dari orang Majusi (penyembah api) bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok Atheis. Jadi tidak mungkin mereka melakukan yang demikian karena cinta kepada Rasulullah SAW, tetapi karena ada maksud lain, yaitu ingin merusak agama Islam.
2. Pendapat lain mengatakan bahwa pertama kali yang merayakan maulud Nabi SAW adalah Shalahudin Al-Ayubi, yang menjabat Gubernur di Haramain (Mekkah dan Madinah) dari tahun 1174-1193M atau 570-590H pada dinasti Ayyub. Shalahudi mempunyai niat untuk menghidupkan kembali semangat juang umat Islam dengan cara menngkatkan kecintaan pada Nabi SAW. Maka Shalahuddin sebagai gubernur Haramain menganjurkan kepada seluruh jama’ah haji, agar setelah kembali ke kampung halaman masing-masing mereka mempersiapkan diri untuk menyambut perayaan maulid Nabi SAW di mana saja mereka berada. Peringatan tersbut akan dimulai pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 580 H (1184M).
Namun perlu diketahui bahwa sambutan yang dilakukan Shalahudin ini mendapat pertentangan dari para ulama. Di antara sebabnya adalah karena sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tida pernah ada.
B. Benarkah Tanda Cinta Kepada Nabi SAW?
Kecintaan kepada Nabi SAW adalah bukti kesempurnaan iman seseorang. Bahkan kecintaan kepada Nabi SAW merupakan juga bukti kecintaan kepada ALLAH. ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ’Imraan: 31)
Bahkan, seseorang diancam dengan adzab bila kecintaannya kepada selain ALLAH dan Rasul-NYA lebih besar bila dibandingkan dengan kecintaannya kepada ALLAH dan Rasul-NYA. ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)
Maksud dari ”Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Menurut Mujahid dan Hasan Al-Bashri adalah siksaan yang pasti datang cepat maupun lambat. (Tafsir Qurthubi VIII/95-96)
Demikian juga Rasulullah SAW bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-NYA, tidak akan sempurna iman seseorang di antara kamu sekalian sehingga ia mencintaiku melebihi cintanya kepada orang tua dan anaknya. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak (sempurna) iman seorang hamba sebelum ia mencintaiku melebihi kecintaannya kepada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia.” (HR. Muslim)
Begitu besar dan mulianya nilai kecintaan kepada Nabi SAW, maka memang sudah sepantasnya semua orang ingin meraih segala faedahnya. Sehingga kita lihat berbagai cara orang untuk meraih kemuliaan tersebut. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk mencapai rasa cinta kepada Nabi SAW adalah dengan memperingati hari kelahirannya.
Tidak lain yang mendorong orang untuk mengadakan maulidan ini adalah karena kecintaan mereka kepada Nabi SAW dan ingin mendapatkan kebaikan (pahala) dari amalan yang mereka lakukan tersebut. Dan mereka beranggapan bahwa rasa cinta mereka itu akan terwujud dengan berbagai acara yang mereka adakan di dalam maulidan tersebut.
Oleh karena itu, maka kita melihat banyak orang berlomba-lomba mengadakan berbagai acara dan peramalan untuk memeriahkan hari kelahiran Nabi SAW tersebut. Masjid-masjid atau langgar-langgar dipenuhi sesak oleh jama’ah, berbagai instansi pemerintah maupun swasta juga tak mau ketinggalan, demikian juga berbagai acara ditampilkan oleh TV dan Radio dalam rangka memeperingati Maulid.
Untuk memeriahkan acara maulidan itu, maka mereka mengadakan berbagai amalan, yaitu berupa pembacaan Al-Barzanji, dzikir, pembacaan Al-Qur’an, ceramah agama, dan berbagai perlombaan seperti perlombaan qashidah, nasyid atau lainnya, serta tak lupa dihidangkan berbagai makanan dan minuman.
Benarkah demikian cara menunjukkan rasa cinta kepada Nabi SAW?
Islam adalah agama yang telah sempurna dan menyeluruh (syamil muttakamil), artinya tidak ada satupun kebaikan yang tertinggal dan terlupakan melainkan telah diatur dan diterangkan. Oleh karena itu, mencintai Nabi SAW adalah suatu amalan kebaikan yang tentu saja tidak akan luput dari perhatian Islam.
Oleh karena itu, cara mencintai Nabi SAW yang sesuai dengan syariat Islam adalah sebagai berikut:
1. Mengikuti dan melaksanakan Sunnah Beliau.
ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ’Imraan: 31)
2. Mendahulukan syariat dan perintahnya daripada perkataan manusia dan hawa nafsu
ALLAH berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1)
3. Mencukupkan diri dengan apa yang telah Beliau ajarkan dan meninggalkan apa yang Beliau larang
ALLAH berfirman, ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
4. Menerima keputusan hukum yang ditetapkan oleh Beliau dan menerimanya dengan lapang dada serta tidak membencinya,
ALLAH berfirman, ”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
5. Tidak mempertentangkan sunnah dan sabda Beliau dengan perkataan manusia dan tidak memilih selain sunnah Beliau
ALLAH berfirman, ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
6. Mengucapkan Sami’na Wa Atha’na terhadap hukum-hukum yang ditetapkannya
Allah berfirman, ”Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51)
Dengan menggunakan kriteria tersebut, maka cobalah anda bandingkan sikap dan cara orang-orang yang sangat antusias merayakan maulidan. Sudahkah mereka memiliki hal-hal tersebut? Bahkan sangat nampak sekali penentangan mereka terhadap syariat. Mereka tidak mengikuti jejak Nabi SAW, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Mereka tidak menjalankan sunnah Nabi dan tidak pula meninggalkan apa yang dilarangnya. Mereka mengada-adakan amalan dalam agama, mendahulukan hawa nafsunya dan mempertentangkan sabda Rasulullah SAW dengan perkataan manusia.
C. Menyelisihi Syariat dan Sunnah
Maulidan adalah perbuatan yang telah jelas menyelisihi syariat dan sunnah Rasulullah SAW. Ada beberapa kesalahan yang terjadi di dalamnya, yaitu:
1. Pelaksanaan maulidan ini adalah hal yang baru (bid’ah)
Karena Nabi SAW sendiri tidak pernah melaksanakan atau memerintahkan untuk memperingati hari lahirnya. Tidak ada satupun riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan dan mengadakan untuk memperingati hari lahirnya, atau juga memperingati hari lahir keluarganya, dan sahabatnya. Demikian juga para sahabat, tabi’in, dan tabiit tabi’in. Begitu pula para Imam Madzhab yang empat. TIDAK ADA SATUPUN RIWAYAT YANG SHAHIH. DAN SEMUA RIWAYAT MENGENAI KEUTAMAAN MAULID NABI ADALAH BATHIL. Jadi tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sebagi hujjah untuk memperingati maulid Nabi SAW.
Bahkan yang didapati adalah larangan dari Allah dan Rasulullah SAW untuk jangan membuat-buat sesuatu ibadah dan amalan yang menyelisihi syariat Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman, ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang berbuat perkara yang baru dalam urusan kami (agama) yang tidak ada perintahnya maka tertolak.” (HR. Muttafaq ’alaih)
Dalam riwayat lain, ”Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut adalah tertolak.” (HR. Muslim)
Juga dalam riwayat lainnya, ”Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian segala perkara yang baru (bid’ah) dalam urusan agama. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ashabus Sunnan, shahih)
2. Meniru Kaum Kafir
Maulid berarti kelahiran. Memperingati hari maulid berarti memperingati hari kelahiran. Maka, maulidan itu itu sangat persis, serupa benar dan meniru-niru kaum kufar, yaitu orang Nasrani dalam melaksanakan Natal.
Kita sebagai orang beriman dilarang keras untuk meniru-niru orang kufar dalam segala hal. Sungguh, sangat banyak sekali larangan yang datang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai larangan meniru-niru dan mengikuti orang kufar.
ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Menurut Ibnu Katsir, surat ini merupakan surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang oleh orang-orang musyrik.
”Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqan: 52)
Demikian juga Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada kita agar jangan mengikuti orang-orang kufar. “Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk mereka." (HR. Abu Dawud. shahih menurut Ibnu Hibban)
Bahkan Rasulullah SAW tidak suka diperlakukan dengan perlakuan seperti kaum kufar (Nasrani) memuliakan ’Isa ibnu Mayam. Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian menyanjung nyanjungku sebagaimana orang-orang Nashara menyanjung-nyanjung Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorag hamba. Maka ucapkanlah: ’Abdullah dan Rasulullah.” (HR. Bukhari)
3. Ghuluw
Rasa cinta yang berlebihan dan tidak dibingkai dengan syariat, dapat menyebabkan seseorang berlebih-lebihan pula dalam mengungkapkan rasa cinta kepada orang yang dicintainya.
Maulidan juga menunjukkan sikap ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam beragama. Rasulullah SAW bersabda, ”Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam agama (HR. Ibnu Majah, Shahih)
Coba lihatlah mereka dalam melaksanakan maulidan, ada yang mengekspresikan cinta mereka kepada Nabi SAW dengan shalawat dan puji-pujian yang berlebih-lebihan dan mengandung kesyirikan, menjadikan Nabi SAW menempati kedudukan sejajar dengan kedudukan ALLAH, atau bahkan melebihi kedudukan ALLAH.
Cobalah lihat, pujian mereka dalam Barzanji:
”Wahai penolongku, Wahai pelindungku
Wahai peganganku, dan harapanku
Kepadamulah aku berbaik sangka
Wahai pemberi kabar gembira dan peringatan
Wahai penolongku, wahai pelindungku
Dikala kesempitan dan musibah
Tolonglah aku danlindungilah aku
wahai yang menyelamatkan dari neraka
hambamu yang miskin ini mengharap
karuniamu yang luas dan banyak
hapuslah dosa-dosaku ini
ampunilah segala kesalahanku.”
Atau dalam Qasidah Burdah yang sering mereka dendangkan dengan penuh kekhusyukan:
”Wahai makhluk yang termulia (nabi)kepada siapakah aku berlindung
Jika tidak kepadamu ketika musibah besar menimpaku
Jika Nabi tidak menolongku di hari kiamat kelak
Dengan karunianya maka aku tergelincir (ke neraka)
Sesugguhnya dari kedermawananmu (diciptakannya) dunia dan seisinya
Dan di antara ilmumu adalah ilmu lauhul (mahfudz) dan qolam (ghoib)”
Atau dalam Shalawat Nariyah;
”Allahumma shali Shalatan kamilatan wa salim salaman...dst.”
Artinya:
Ya Allah, limpahkanlah keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami muhammad, yang dengan Beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga dan sahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
Atau dalam Shalawat Badar, seperti di bawah ini:
”Ya Rabbi bil Musthafa, baligh maqashidana... dst”
Artinya:
Wahai Rabb-ku, dengan perantaraan Al-Musthafa (salah satu sebutan Nabi SAW), jadkanlah tujuan-tujuan kami kami tercapai. Ampunilah dosa kami yang lampau, wahai Dzatyang Maha luas kedermawanan-NYA.”
Berbagai shalawat di atas adalah shalawat Bid’ah (membuat-buat sesuatu yang baru dan menyelisihi sunnah) dan bahkan mengandung kesyirikan.
4. Ada Kemungkaran dan Kemaksiatan.
Dalam pelaksanaan maulidan tersebut banyak terjadi kemungkaran dan kemaksiatan. Cobalah lihat mereka, dalam maulidan itu dimeriahkan dengan nyanyian (qashidah, nasyid atau rebana), adanya ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram).
Dan yang ironis sekali adalah orang-orang yang begitu antusias merayakan maulidan tersebut tujuannya adalah untuk menumbuhkan cinta kepada Rasulullah SAW, tetapi ternyata mereka masuk ke masjid tidak memenuhi adab yang sesuai sunnah, seperti masuk masjid menggunakan kaki kiri (mereka samakan seperti masuk ke WC), tidak shalat Tahiyyatul Masjid, juga tidak pula shalat yang wajib seperti shalat maghrib atau Isya’ dan tidak Sholat Shubuh karena begadang sampai jauh malam akibat banyaknya acara untuk memeriahkan maulidan tersebut.
5. Boros
Begitu banyak pemborosan dalam acara maulidan tersebut, baik dari segi biaya, waktu, tenaga, pikiran dan sebagainya. ”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS.Al-Israa’: 27)
Apalagi penghambur-hamburan tersebut untuk acara bid’ah, selain sudah rugi hal di atas juga tak akan mendapatkan balasan.
”... amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. An-Nuur: 39)
Jadi apa manfaatnya melaksanakan maulidan? Bukannya manfaat yang mereka peroleh, bahkan maksiat dan mudharat yang mereka dapatkan. Andai tidak ada kesalahan lain selain dari hal tersebut, maka telah cukup untuk menjauhi dan dilarangnya acara maulidan ini.
C. Mencukupkan Diri Dengan Sunnah Rasulullah SAW
Sungguh semua orang ingin mendapatkan kebaikan (berupa pahala) dari segala amalnya, dan tidak ada orang yang ingin amalannya sia-sia dan mengalami kerugian. Demikian juga beramal dalam agama, kita wajib mengikuti aturan-aturan syariat yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Allah telah jadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh manusia untuk beramal dan beribadah dalam Islam, dan hanya dengan ittiba’ (mencontoh) kepada Rasulullah SAW amalan dan ibadah tersebut akan diterima. Dengan kata lain, akan sia-sia saja amalan dan ibadah tersebut, bahkan akan diancam dengan adzab (neraka) bagi orang yang menyelisihi (membuat amalan sendiri yang bertentangan).
Dalam beramal dan beribadah tidak cukup hanya dengan niat yang baik saja, tetapi harus benar pula caranya.
Niat yang baik dalam beramal dan beibadah haruslah Ikhlas, yaitu meniatkan hanya semata-mata karena Allah dan mengharapkan ridho-Nya, bukan karena ingin pamer, mendapat pujian dari sesama atau tujuan-tujuan dunia lainnya. Dan barangsiapa berniat selain karena Allah, maka batAllah amal ibadahnya, bahkan akan diancam dengan neraka. Rasulullah SAW bersabda, ”Inamal a’malu bil niyat.” (sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya).” (HR. Bukhari)
Setelah ikhlas niat, maka dalam beramal harus sesuai benar caranya, yaitu sesuai dengan apa yang telah Rasulullah SAW contohkan. Dengan kata lain kita harus beramal dan beribadah harus mencontoh kepada Rasulullah, maka apa saja yang diamalkan oleh Rasullah dalam agama, maka wajib kita kerjakan persis seperti apa yang dikerjakannya. Demikian juga, apabila Rasulullah SAW meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu amalan dalam agama, maka wajib pula kita tinggalkan dan tidak kita kerjakan. ”Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari Kami maka amalan tersebut adalah tertolak.” (HR. Muslim)
Setelah jelas bahwa maulidan itu bukanlah amalan sunnah yang sesuai dengan syariat Islam, bahkan itu semua adalah bid’ah dhalalah (bid’ah yang sesat), maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang mengaku beriman dan mencintai Allah dan Rasul-Nya, wajib bersegera meninggalkan acara maulidan tersebut.
Allah berfirman, ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An-Nisaa’: 115)
”Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad: 25)
Ditulis Ulang Oleh:
Abu Hasan
Dari berbagai Sumber:
1. Peringatan Maulid, Bid’ah atau Sunnah, At-Tibyan
2. Bid’ah Tanpa Sadar, At-Tibyan
3. Bincang-bincang Seputar Tahlilan, Yasinan & Maulidan, At-Tibyan
4. dan sumber-sumber lain.
Ada beberapa versi mengenai sejarah munculnya acara peringatan Maulid Nabi SAW. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah, bahwa Daulah Fathimiyyah ’Ubaidiyyah yang memerintah Mesir dari tahun 357-567H adalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan di dalam Islam yang banyak sekali di antaranya Maulid Nabi Muhammad SAW. Padahal mereka adalah orang-orang zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-’Ubaidiyyun dari golonga Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi. Ada yang mensinyalir mereka dari orang Majusi (penyembah api) bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok Atheis. Jadi tidak mungkin mereka melakukan yang demikian karena cinta kepada Rasulullah SAW, tetapi karena ada maksud lain, yaitu ingin merusak agama Islam.
2. Pendapat lain mengatakan bahwa pertama kali yang merayakan maulud Nabi SAW adalah Shalahudin Al-Ayubi, yang menjabat Gubernur di Haramain (Mekkah dan Madinah) dari tahun 1174-1193M atau 570-590H pada dinasti Ayyub. Shalahudi mempunyai niat untuk menghidupkan kembali semangat juang umat Islam dengan cara menngkatkan kecintaan pada Nabi SAW. Maka Shalahuddin sebagai gubernur Haramain menganjurkan kepada seluruh jama’ah haji, agar setelah kembali ke kampung halaman masing-masing mereka mempersiapkan diri untuk menyambut perayaan maulid Nabi SAW di mana saja mereka berada. Peringatan tersbut akan dimulai pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 580 H (1184M).
Namun perlu diketahui bahwa sambutan yang dilakukan Shalahudin ini mendapat pertentangan dari para ulama. Di antara sebabnya adalah karena sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tida pernah ada.
B. Benarkah Tanda Cinta Kepada Nabi SAW?
Kecintaan kepada Nabi SAW adalah bukti kesempurnaan iman seseorang. Bahkan kecintaan kepada Nabi SAW merupakan juga bukti kecintaan kepada ALLAH. ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ’Imraan: 31)
Bahkan, seseorang diancam dengan adzab bila kecintaannya kepada selain ALLAH dan Rasul-NYA lebih besar bila dibandingkan dengan kecintaannya kepada ALLAH dan Rasul-NYA. ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)
Maksud dari ”Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Menurut Mujahid dan Hasan Al-Bashri adalah siksaan yang pasti datang cepat maupun lambat. (Tafsir Qurthubi VIII/95-96)
Demikian juga Rasulullah SAW bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-NYA, tidak akan sempurna iman seseorang di antara kamu sekalian sehingga ia mencintaiku melebihi cintanya kepada orang tua dan anaknya. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak (sempurna) iman seorang hamba sebelum ia mencintaiku melebihi kecintaannya kepada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia.” (HR. Muslim)
Begitu besar dan mulianya nilai kecintaan kepada Nabi SAW, maka memang sudah sepantasnya semua orang ingin meraih segala faedahnya. Sehingga kita lihat berbagai cara orang untuk meraih kemuliaan tersebut. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk mencapai rasa cinta kepada Nabi SAW adalah dengan memperingati hari kelahirannya.
Tidak lain yang mendorong orang untuk mengadakan maulidan ini adalah karena kecintaan mereka kepada Nabi SAW dan ingin mendapatkan kebaikan (pahala) dari amalan yang mereka lakukan tersebut. Dan mereka beranggapan bahwa rasa cinta mereka itu akan terwujud dengan berbagai acara yang mereka adakan di dalam maulidan tersebut.
Oleh karena itu, maka kita melihat banyak orang berlomba-lomba mengadakan berbagai acara dan peramalan untuk memeriahkan hari kelahiran Nabi SAW tersebut. Masjid-masjid atau langgar-langgar dipenuhi sesak oleh jama’ah, berbagai instansi pemerintah maupun swasta juga tak mau ketinggalan, demikian juga berbagai acara ditampilkan oleh TV dan Radio dalam rangka memeperingati Maulid.
Untuk memeriahkan acara maulidan itu, maka mereka mengadakan berbagai amalan, yaitu berupa pembacaan Al-Barzanji, dzikir, pembacaan Al-Qur’an, ceramah agama, dan berbagai perlombaan seperti perlombaan qashidah, nasyid atau lainnya, serta tak lupa dihidangkan berbagai makanan dan minuman.
Benarkah demikian cara menunjukkan rasa cinta kepada Nabi SAW?
Islam adalah agama yang telah sempurna dan menyeluruh (syamil muttakamil), artinya tidak ada satupun kebaikan yang tertinggal dan terlupakan melainkan telah diatur dan diterangkan. Oleh karena itu, mencintai Nabi SAW adalah suatu amalan kebaikan yang tentu saja tidak akan luput dari perhatian Islam.
Oleh karena itu, cara mencintai Nabi SAW yang sesuai dengan syariat Islam adalah sebagai berikut:
1. Mengikuti dan melaksanakan Sunnah Beliau.
ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ’Imraan: 31)
2. Mendahulukan syariat dan perintahnya daripada perkataan manusia dan hawa nafsu
ALLAH berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1)
3. Mencukupkan diri dengan apa yang telah Beliau ajarkan dan meninggalkan apa yang Beliau larang
ALLAH berfirman, ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
4. Menerima keputusan hukum yang ditetapkan oleh Beliau dan menerimanya dengan lapang dada serta tidak membencinya,
ALLAH berfirman, ”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
5. Tidak mempertentangkan sunnah dan sabda Beliau dengan perkataan manusia dan tidak memilih selain sunnah Beliau
ALLAH berfirman, ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
6. Mengucapkan Sami’na Wa Atha’na terhadap hukum-hukum yang ditetapkannya
Allah berfirman, ”Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51)
Dengan menggunakan kriteria tersebut, maka cobalah anda bandingkan sikap dan cara orang-orang yang sangat antusias merayakan maulidan. Sudahkah mereka memiliki hal-hal tersebut? Bahkan sangat nampak sekali penentangan mereka terhadap syariat. Mereka tidak mengikuti jejak Nabi SAW, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Mereka tidak menjalankan sunnah Nabi dan tidak pula meninggalkan apa yang dilarangnya. Mereka mengada-adakan amalan dalam agama, mendahulukan hawa nafsunya dan mempertentangkan sabda Rasulullah SAW dengan perkataan manusia.
C. Menyelisihi Syariat dan Sunnah
Maulidan adalah perbuatan yang telah jelas menyelisihi syariat dan sunnah Rasulullah SAW. Ada beberapa kesalahan yang terjadi di dalamnya, yaitu:
1. Pelaksanaan maulidan ini adalah hal yang baru (bid’ah)
Karena Nabi SAW sendiri tidak pernah melaksanakan atau memerintahkan untuk memperingati hari lahirnya. Tidak ada satupun riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan dan mengadakan untuk memperingati hari lahirnya, atau juga memperingati hari lahir keluarganya, dan sahabatnya. Demikian juga para sahabat, tabi’in, dan tabiit tabi’in. Begitu pula para Imam Madzhab yang empat. TIDAK ADA SATUPUN RIWAYAT YANG SHAHIH. DAN SEMUA RIWAYAT MENGENAI KEUTAMAAN MAULID NABI ADALAH BATHIL. Jadi tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sebagi hujjah untuk memperingati maulid Nabi SAW.
Bahkan yang didapati adalah larangan dari Allah dan Rasulullah SAW untuk jangan membuat-buat sesuatu ibadah dan amalan yang menyelisihi syariat Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman, ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang berbuat perkara yang baru dalam urusan kami (agama) yang tidak ada perintahnya maka tertolak.” (HR. Muttafaq ’alaih)
Dalam riwayat lain, ”Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut adalah tertolak.” (HR. Muslim)
Juga dalam riwayat lainnya, ”Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian segala perkara yang baru (bid’ah) dalam urusan agama. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ashabus Sunnan, shahih)
2. Meniru Kaum Kafir
Maulid berarti kelahiran. Memperingati hari maulid berarti memperingati hari kelahiran. Maka, maulidan itu itu sangat persis, serupa benar dan meniru-niru kaum kufar, yaitu orang Nasrani dalam melaksanakan Natal.
Kita sebagai orang beriman dilarang keras untuk meniru-niru orang kufar dalam segala hal. Sungguh, sangat banyak sekali larangan yang datang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai larangan meniru-niru dan mengikuti orang kufar.
ALLAH berfirman, ”Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Menurut Ibnu Katsir, surat ini merupakan surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang oleh orang-orang musyrik.
”Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqan: 52)
Demikian juga Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada kita agar jangan mengikuti orang-orang kufar. “Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk mereka." (HR. Abu Dawud. shahih menurut Ibnu Hibban)
Bahkan Rasulullah SAW tidak suka diperlakukan dengan perlakuan seperti kaum kufar (Nasrani) memuliakan ’Isa ibnu Mayam. Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian menyanjung nyanjungku sebagaimana orang-orang Nashara menyanjung-nyanjung Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorag hamba. Maka ucapkanlah: ’Abdullah dan Rasulullah.” (HR. Bukhari)
3. Ghuluw
Rasa cinta yang berlebihan dan tidak dibingkai dengan syariat, dapat menyebabkan seseorang berlebih-lebihan pula dalam mengungkapkan rasa cinta kepada orang yang dicintainya.
Maulidan juga menunjukkan sikap ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam beragama. Rasulullah SAW bersabda, ”Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam agama (HR. Ibnu Majah, Shahih)
Coba lihatlah mereka dalam melaksanakan maulidan, ada yang mengekspresikan cinta mereka kepada Nabi SAW dengan shalawat dan puji-pujian yang berlebih-lebihan dan mengandung kesyirikan, menjadikan Nabi SAW menempati kedudukan sejajar dengan kedudukan ALLAH, atau bahkan melebihi kedudukan ALLAH.
Cobalah lihat, pujian mereka dalam Barzanji:
”Wahai penolongku, Wahai pelindungku
Wahai peganganku, dan harapanku
Kepadamulah aku berbaik sangka
Wahai pemberi kabar gembira dan peringatan
Wahai penolongku, wahai pelindungku
Dikala kesempitan dan musibah
Tolonglah aku danlindungilah aku
wahai yang menyelamatkan dari neraka
hambamu yang miskin ini mengharap
karuniamu yang luas dan banyak
hapuslah dosa-dosaku ini
ampunilah segala kesalahanku.”
Atau dalam Qasidah Burdah yang sering mereka dendangkan dengan penuh kekhusyukan:
”Wahai makhluk yang termulia (nabi)kepada siapakah aku berlindung
Jika tidak kepadamu ketika musibah besar menimpaku
Jika Nabi tidak menolongku di hari kiamat kelak
Dengan karunianya maka aku tergelincir (ke neraka)
Sesugguhnya dari kedermawananmu (diciptakannya) dunia dan seisinya
Dan di antara ilmumu adalah ilmu lauhul (mahfudz) dan qolam (ghoib)”
Atau dalam Shalawat Nariyah;
”Allahumma shali Shalatan kamilatan wa salim salaman...dst.”
Artinya:
Ya Allah, limpahkanlah keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami muhammad, yang dengan Beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga dan sahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
Atau dalam Shalawat Badar, seperti di bawah ini:
”Ya Rabbi bil Musthafa, baligh maqashidana... dst”
Artinya:
Wahai Rabb-ku, dengan perantaraan Al-Musthafa (salah satu sebutan Nabi SAW), jadkanlah tujuan-tujuan kami kami tercapai. Ampunilah dosa kami yang lampau, wahai Dzatyang Maha luas kedermawanan-NYA.”
Berbagai shalawat di atas adalah shalawat Bid’ah (membuat-buat sesuatu yang baru dan menyelisihi sunnah) dan bahkan mengandung kesyirikan.
4. Ada Kemungkaran dan Kemaksiatan.
Dalam pelaksanaan maulidan tersebut banyak terjadi kemungkaran dan kemaksiatan. Cobalah lihat mereka, dalam maulidan itu dimeriahkan dengan nyanyian (qashidah, nasyid atau rebana), adanya ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram).
Dan yang ironis sekali adalah orang-orang yang begitu antusias merayakan maulidan tersebut tujuannya adalah untuk menumbuhkan cinta kepada Rasulullah SAW, tetapi ternyata mereka masuk ke masjid tidak memenuhi adab yang sesuai sunnah, seperti masuk masjid menggunakan kaki kiri (mereka samakan seperti masuk ke WC), tidak shalat Tahiyyatul Masjid, juga tidak pula shalat yang wajib seperti shalat maghrib atau Isya’ dan tidak Sholat Shubuh karena begadang sampai jauh malam akibat banyaknya acara untuk memeriahkan maulidan tersebut.
5. Boros
Begitu banyak pemborosan dalam acara maulidan tersebut, baik dari segi biaya, waktu, tenaga, pikiran dan sebagainya. ”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS.Al-Israa’: 27)
Apalagi penghambur-hamburan tersebut untuk acara bid’ah, selain sudah rugi hal di atas juga tak akan mendapatkan balasan.
”... amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. An-Nuur: 39)
Jadi apa manfaatnya melaksanakan maulidan? Bukannya manfaat yang mereka peroleh, bahkan maksiat dan mudharat yang mereka dapatkan. Andai tidak ada kesalahan lain selain dari hal tersebut, maka telah cukup untuk menjauhi dan dilarangnya acara maulidan ini.
C. Mencukupkan Diri Dengan Sunnah Rasulullah SAW
Sungguh semua orang ingin mendapatkan kebaikan (berupa pahala) dari segala amalnya, dan tidak ada orang yang ingin amalannya sia-sia dan mengalami kerugian. Demikian juga beramal dalam agama, kita wajib mengikuti aturan-aturan syariat yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Allah telah jadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh manusia untuk beramal dan beribadah dalam Islam, dan hanya dengan ittiba’ (mencontoh) kepada Rasulullah SAW amalan dan ibadah tersebut akan diterima. Dengan kata lain, akan sia-sia saja amalan dan ibadah tersebut, bahkan akan diancam dengan adzab (neraka) bagi orang yang menyelisihi (membuat amalan sendiri yang bertentangan).
Dalam beramal dan beribadah tidak cukup hanya dengan niat yang baik saja, tetapi harus benar pula caranya.
Niat yang baik dalam beramal dan beibadah haruslah Ikhlas, yaitu meniatkan hanya semata-mata karena Allah dan mengharapkan ridho-Nya, bukan karena ingin pamer, mendapat pujian dari sesama atau tujuan-tujuan dunia lainnya. Dan barangsiapa berniat selain karena Allah, maka batAllah amal ibadahnya, bahkan akan diancam dengan neraka. Rasulullah SAW bersabda, ”Inamal a’malu bil niyat.” (sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya).” (HR. Bukhari)
Setelah ikhlas niat, maka dalam beramal harus sesuai benar caranya, yaitu sesuai dengan apa yang telah Rasulullah SAW contohkan. Dengan kata lain kita harus beramal dan beribadah harus mencontoh kepada Rasulullah, maka apa saja yang diamalkan oleh Rasullah dalam agama, maka wajib kita kerjakan persis seperti apa yang dikerjakannya. Demikian juga, apabila Rasulullah SAW meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu amalan dalam agama, maka wajib pula kita tinggalkan dan tidak kita kerjakan. ”Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari Kami maka amalan tersebut adalah tertolak.” (HR. Muslim)
Setelah jelas bahwa maulidan itu bukanlah amalan sunnah yang sesuai dengan syariat Islam, bahkan itu semua adalah bid’ah dhalalah (bid’ah yang sesat), maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang mengaku beriman dan mencintai Allah dan Rasul-Nya, wajib bersegera meninggalkan acara maulidan tersebut.
Allah berfirman, ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An-Nisaa’: 115)
”Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad: 25)
Ditulis Ulang Oleh:
Abu Hasan
Dari berbagai Sumber:
1. Peringatan Maulid, Bid’ah atau Sunnah, At-Tibyan
2. Bid’ah Tanpa Sadar, At-Tibyan
3. Bincang-bincang Seputar Tahlilan, Yasinan & Maulidan, At-Tibyan
4. dan sumber-sumber lain.