Seorang diantara kalian tidaklah (dikatakan) beriman sampai ia menyukai (hadirnya kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia menyukai (hadirnya kebaikan) untuk dirinya sendiri.
(HR. Bukhari)
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan, Rasulullah SAW kedatangan tamu. Kelelahan terpancar di wajah tamu yang hanya seorang diri itu. Rasulullah SAW mengutus seorang shahabat untuk menanyakan kepada istri-istri beliau, adakah sesuatu yang bisa dimakan untuk disuguhkan kepada sang tamu. Nihil. Di rumah istri-istri Beliau SAW tidak ada makanan sedikitpun. Maka beliau menawarkan kepada para shahabat Muhajirin dan Anshar untuk menjamu sang tamu pada waktu malam itu saja. Salah seorang shahabat yang tidak ingin didahului oleh shahabat lain dalam berbuat kebaikan angkat suara, menyambut tawaran tersebut. “Saya akan menjamunya, wahai Rasulullah SAW.”
Setelah meminta izin kepada Beliau SAW, shahabat Anshar itu pulang untuk mempersiapkan segala sesuatunya. “Kita akan menjamu tamu Rasulullah SAW. Jangan kamu simpan makanan apapun. Keluarkan semuanya.” Ujarnya kepada sang istri sesampainya di rumah.
Sang istri terperanjat. Seingatnya, hanya ada sedikit makanan untuk anak-anak mereka yang masih kecil-kecil. Itu pun hanya cukup untuk satu orang sekali makan. Kepada suaminya, ia berterus terang.
Solusi yang diberikan suaminya semakin membuatnya terhenyak. Kata suaminya, “Begini saja, kalau mereka ingin makan carilah cara supaya mereka tidur. Apa saja terserah kamu.”
Akhirnya, tanpa ragu sang istri shalihah itu melaksanakan perintah suaminya. Setelah semua siap, shahabat Anshar itu pun menjamu tamu Rasulullah SAW dalam gelap. Tujuannya, supaya sang tamu tidak mengetahui bahwa ia makan hanya seorang diri, sementara sang tuan rumah yang ada didekatnya hanya pura-pura makan.
Keesokan harinya, shahabat Anshar itu menghadap Rasulullah SAW. Sebait senyum menghiasi wajah berseri Rasulullah SAW. Beliau SAW bersabda, “ALLAH kagum dengan apa yang kamu lakukan bersama istrimu. ALLAH turunkan firman-NYA, “…mereka mengutamakan (saudara- saudara mereka) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri sangat memerlukan (yang mereka berikan itu)...” (QS. Al-Hasyr: 9).
Shahabat Anshar tersebut sangat berbunga-bunga mendapat pujian langsung dari ALLAH atas ketulusannya menjamu tamu Rasulullah SAW. Shahabat itu adalah Abu Thalhah RA.
PERSAUDARAAN SEJATI PERLU BUKTI
Islam memandang adanya ikatan antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Ikatan itu adalah ukhuwah atau persaudaraan. Ikatan ini lebih kuat daripada ikatan nasab (keturunan/hubungan darah). Sebab jika saudara kandung kafir, maka dalam pandangan ALLAH ia tidak bersaudara. Bahkan putus hubungan antara keduanya. ALLAH berfirman, “Hanyasanya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al-hujurat: 10)
Maknanya, persaudaraan itu hanya boleh terjadi antara orang-orang yang beriman. Dan tanpa adanya simpul ini, keimanan kita nyaris tanpa makna dan tiada arti.
Ukhuwah yang sejati perlu bukti. Dan puncak pembuktian itu telah diteladankan Abu Thalhah yang menjadi penyebab turunnya ayat ke-9 Al-Hasyr tersebut, juga para salafush shalih. Ia telah mampu berbuat itsar, yaitu mendahulukan saudara seiman dalam mendapatkan kebaikan duniawi.
Sifat itsar ini, hanya akan hadir dari hati yang sangat yakin dengan kehidupan ukhrawi, memiliki rasa cinta yang kuat kepada sesama saudara seiman dan sanggup bersabar menghadapi segala kesulitan.
TAHAPAN
Ibnul Qayyim Al-Jauziah menjelaskan bahwa itsar tersebut mempunyai tahapan-tahapan, yaitu:
Pertama, Sakha’. Yaitu saat seseorang sama sekali tidak merasa keberatan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya. Berapa keperluan saudaranya ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Seperti yang telah dilakukan oleh Shahabat Abu Thalhah RA atau seperti yang dilakukan oleh Shahabat Sa’ad bin ‘Ubadah saat ia membebaskan semua orang yang berhutang kepadanya.
Kedua, Juud. Yaitu saat seseorang memberikan sebagian miliknya saat saudara membutuhkannya. Kalaupun ia menyisakan untuk dirinya, ia sisakan sekedarnya saja.
Ketiga, Itsar. Yaitu saat seseorang memenuhi keperluan saudaranya, meskipun dirinya sendiri sangat membutuhkannya. Seperti ‘Aisyah RA yang memberikan beberapa keping roti kering-yang sedianya untuk berbuka puasa-kepada pengemis, padahal itu adalah roti terakhir yang dimilikinya.
Demikianlah, teladan yang diberikan oleh para pendahulu kita dalam menghargai sesama saudara seiman benar-benar mengagumkan dan menjadikan kita terharu. Bagi mereka, apapun akan mereka berikan selama hal itu bisa membuktikan keimanan mereka. Bukan bukti untuk dilihat manusia, tetapi bukti supaya dilihat ALLAH semata. Bagi mereka keridhaan ALLAH adalah segala-galanya. Asalkan mendapatkan ridha-NYA, tubuh sakit menderita pun tak mengapa.
KEBALIKANNYA
Lain itsar, lain lagi egois. Sang empunya sifat egois tidak mengerti kecuali kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Ia tidak pernah bisa menimbang rasa, juga tidak pernah peduli keadaan dan kepentingan sesamanya. Ia hidup di tengah masyarakat tapi layaknya hidup di tengah padang pasir sendirian. Sungguh, egois adalah wujud dari berkumpulnya sifat buruk yang mebinasakan.
Orang egois adalah orang yang tamak. Ia tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan takut bagiannya terkurangi walau sedikit saja.ia juga lebih senang menyembunyikan nikmat yang ALLAH berikan kepadanya. Dalam hal ini ALLAH berfirman, “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 96)
Orang egois adalah orang yang kikir, tidak mau memberi dan berbagi. Andainya memberi, itupun karena maksud ingin mengambil untung dengan hitungan yang sangat teliti. Firman-NYA, “Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan - perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya.” Dan adalah manusia itu sangat kikir.” (QS. Al-Isra’: 100)
Orang egois adalah orang yang zhalim karena tidak menempatkan sesuatu dengan seharusnya, serta berani berlaku culas terhadap hak saudaranya. Ia adalah ‘Raja Tega’ tatkala melihat saudaranya kekurangan, tak tersentuh perasaannya ketika melihat penderitaan saudaranya. Ia lupa atau memang tak peduli, apabila ia sesama muslim maka mereka itu adalah saudaranya. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam kecintaan, kasih sayang dan kelemahlembutan mereka adalah sebagaimana satu tubuh; jika salah satu mengerang kesakitan, seluruh anggota badannya akan ikut mengerang dengan demam dan begadang.” (HR. Muslim)
Orang egois juga tak mengenal balas budi. Mau menerima, tetapi menolak untuk memberi. Ia senang, bahkan selalu berharap agar orang lain berbuat baik dan berlaku pemurah pada dirinya, namun tidak untuk sebaliknya.
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad: 38)
“…dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9)
Sumber Tulisan:
Ar-Risalah edisi No. 48. Juni 2005
(HR. Bukhari)
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan, Rasulullah SAW kedatangan tamu. Kelelahan terpancar di wajah tamu yang hanya seorang diri itu. Rasulullah SAW mengutus seorang shahabat untuk menanyakan kepada istri-istri beliau, adakah sesuatu yang bisa dimakan untuk disuguhkan kepada sang tamu. Nihil. Di rumah istri-istri Beliau SAW tidak ada makanan sedikitpun. Maka beliau menawarkan kepada para shahabat Muhajirin dan Anshar untuk menjamu sang tamu pada waktu malam itu saja. Salah seorang shahabat yang tidak ingin didahului oleh shahabat lain dalam berbuat kebaikan angkat suara, menyambut tawaran tersebut. “Saya akan menjamunya, wahai Rasulullah SAW.”
Setelah meminta izin kepada Beliau SAW, shahabat Anshar itu pulang untuk mempersiapkan segala sesuatunya. “Kita akan menjamu tamu Rasulullah SAW. Jangan kamu simpan makanan apapun. Keluarkan semuanya.” Ujarnya kepada sang istri sesampainya di rumah.
Sang istri terperanjat. Seingatnya, hanya ada sedikit makanan untuk anak-anak mereka yang masih kecil-kecil. Itu pun hanya cukup untuk satu orang sekali makan. Kepada suaminya, ia berterus terang.
Solusi yang diberikan suaminya semakin membuatnya terhenyak. Kata suaminya, “Begini saja, kalau mereka ingin makan carilah cara supaya mereka tidur. Apa saja terserah kamu.”
Akhirnya, tanpa ragu sang istri shalihah itu melaksanakan perintah suaminya. Setelah semua siap, shahabat Anshar itu pun menjamu tamu Rasulullah SAW dalam gelap. Tujuannya, supaya sang tamu tidak mengetahui bahwa ia makan hanya seorang diri, sementara sang tuan rumah yang ada didekatnya hanya pura-pura makan.
Keesokan harinya, shahabat Anshar itu menghadap Rasulullah SAW. Sebait senyum menghiasi wajah berseri Rasulullah SAW. Beliau SAW bersabda, “ALLAH kagum dengan apa yang kamu lakukan bersama istrimu. ALLAH turunkan firman-NYA, “…mereka mengutamakan (saudara- saudara mereka) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri sangat memerlukan (yang mereka berikan itu)...” (QS. Al-Hasyr: 9).
Shahabat Anshar tersebut sangat berbunga-bunga mendapat pujian langsung dari ALLAH atas ketulusannya menjamu tamu Rasulullah SAW. Shahabat itu adalah Abu Thalhah RA.
PERSAUDARAAN SEJATI PERLU BUKTI
Islam memandang adanya ikatan antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Ikatan itu adalah ukhuwah atau persaudaraan. Ikatan ini lebih kuat daripada ikatan nasab (keturunan/hubungan darah). Sebab jika saudara kandung kafir, maka dalam pandangan ALLAH ia tidak bersaudara. Bahkan putus hubungan antara keduanya. ALLAH berfirman, “Hanyasanya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al-hujurat: 10)
Maknanya, persaudaraan itu hanya boleh terjadi antara orang-orang yang beriman. Dan tanpa adanya simpul ini, keimanan kita nyaris tanpa makna dan tiada arti.
Ukhuwah yang sejati perlu bukti. Dan puncak pembuktian itu telah diteladankan Abu Thalhah yang menjadi penyebab turunnya ayat ke-9 Al-Hasyr tersebut, juga para salafush shalih. Ia telah mampu berbuat itsar, yaitu mendahulukan saudara seiman dalam mendapatkan kebaikan duniawi.
Sifat itsar ini, hanya akan hadir dari hati yang sangat yakin dengan kehidupan ukhrawi, memiliki rasa cinta yang kuat kepada sesama saudara seiman dan sanggup bersabar menghadapi segala kesulitan.
TAHAPAN
Ibnul Qayyim Al-Jauziah menjelaskan bahwa itsar tersebut mempunyai tahapan-tahapan, yaitu:
Pertama, Sakha’. Yaitu saat seseorang sama sekali tidak merasa keberatan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya. Berapa keperluan saudaranya ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Seperti yang telah dilakukan oleh Shahabat Abu Thalhah RA atau seperti yang dilakukan oleh Shahabat Sa’ad bin ‘Ubadah saat ia membebaskan semua orang yang berhutang kepadanya.
Kedua, Juud. Yaitu saat seseorang memberikan sebagian miliknya saat saudara membutuhkannya. Kalaupun ia menyisakan untuk dirinya, ia sisakan sekedarnya saja.
Ketiga, Itsar. Yaitu saat seseorang memenuhi keperluan saudaranya, meskipun dirinya sendiri sangat membutuhkannya. Seperti ‘Aisyah RA yang memberikan beberapa keping roti kering-yang sedianya untuk berbuka puasa-kepada pengemis, padahal itu adalah roti terakhir yang dimilikinya.
Demikianlah, teladan yang diberikan oleh para pendahulu kita dalam menghargai sesama saudara seiman benar-benar mengagumkan dan menjadikan kita terharu. Bagi mereka, apapun akan mereka berikan selama hal itu bisa membuktikan keimanan mereka. Bukan bukti untuk dilihat manusia, tetapi bukti supaya dilihat ALLAH semata. Bagi mereka keridhaan ALLAH adalah segala-galanya. Asalkan mendapatkan ridha-NYA, tubuh sakit menderita pun tak mengapa.
KEBALIKANNYA
Lain itsar, lain lagi egois. Sang empunya sifat egois tidak mengerti kecuali kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Ia tidak pernah bisa menimbang rasa, juga tidak pernah peduli keadaan dan kepentingan sesamanya. Ia hidup di tengah masyarakat tapi layaknya hidup di tengah padang pasir sendirian. Sungguh, egois adalah wujud dari berkumpulnya sifat buruk yang mebinasakan.
Orang egois adalah orang yang tamak. Ia tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan takut bagiannya terkurangi walau sedikit saja.ia juga lebih senang menyembunyikan nikmat yang ALLAH berikan kepadanya. Dalam hal ini ALLAH berfirman, “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 96)
Orang egois adalah orang yang kikir, tidak mau memberi dan berbagi. Andainya memberi, itupun karena maksud ingin mengambil untung dengan hitungan yang sangat teliti. Firman-NYA, “Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan - perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya.” Dan adalah manusia itu sangat kikir.” (QS. Al-Isra’: 100)
Orang egois adalah orang yang zhalim karena tidak menempatkan sesuatu dengan seharusnya, serta berani berlaku culas terhadap hak saudaranya. Ia adalah ‘Raja Tega’ tatkala melihat saudaranya kekurangan, tak tersentuh perasaannya ketika melihat penderitaan saudaranya. Ia lupa atau memang tak peduli, apabila ia sesama muslim maka mereka itu adalah saudaranya. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam kecintaan, kasih sayang dan kelemahlembutan mereka adalah sebagaimana satu tubuh; jika salah satu mengerang kesakitan, seluruh anggota badannya akan ikut mengerang dengan demam dan begadang.” (HR. Muslim)
Orang egois juga tak mengenal balas budi. Mau menerima, tetapi menolak untuk memberi. Ia senang, bahkan selalu berharap agar orang lain berbuat baik dan berlaku pemurah pada dirinya, namun tidak untuk sebaliknya.
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad: 38)
“…dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9)
Sumber Tulisan:
Ar-Risalah edisi No. 48. Juni 2005