Jumat, 18 Juli 2008

IHSAN

“Ihsan adalah seolah-olah engkau berbuat melihat ALLAH. Kalau engkau tidak melihat-NYA, maka DIA melihatmu.” (HR. Muslim)

Bagi seorang muslim, tak boleh ada waktu terbuang. Setiap langkah kaki dan gerak tubuhnya harus bernilai ibadah. Bahkan, tarikan nafas pun harus bermuatan ibadah. Pahala tidak semata-mata menjadi milik mereka yang berdiam di masjid atau mushala. Pahala bisa diraih di mana saja, rumah, kantor, pasar atau bahkan di jalan. Pun bukan semata-mata milik orang kaya yang berlimpah harta. Ibadah tidak hanya didominasi oleh para kiyai, ustadz atau orang alim. Pekerja kasar, guru dan orang-orang miskin pun memiliki peluang sama melakukan sesuatu yang bernilai ibadah. Siapapun boleh bersaing mengumpulkan pahala sebanyak mungkin.
Islam menjadikan ibadah sebagai landasan utama setiap pekerjaan. Agar setiap desah dan gerak anggota tubuh bermuatan pahala, pekerjaan harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Ia harus dilaksanakan dengan ihsan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ALLAH menyukai orang yang jika bekerja dengan ihsan dan itqan (tekun).” (HR. Baihaqi)
Sikap ihsan ini hendaknya menjadi pakaian kaum muslimin di mana pun ia berada. Di rumah, sikap ihsan bisa diaktualisasikan dalam beragai aktivitas, seperti mengatur waktu makan, memenej waktu, dan keuangan. Dalam mengatur kadar konsumsi makanan misalnya, Rasulullah SAW memberikan tuntunan tersendiri.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada tempat yang lebih buruk daripada perut manusia yang diisi penuh makanan. Manusia cukup makan beberapa suap sekedar untuk memuat punggungnya tegak. Kesuluruhan isi perut terbagi menjadi tiga yaitu sepertiga untuk makanan, sepertiga lagi untuk air dan sepertiga terakhir untuk nafas (angin). (HR. Tarmidzi)

IHSAN PADA SEMUA
Ketika bermuamalah pun kita dituntut untuk berlaku ihsan dengan siapa saja. ALLAH memerintahkan untuk berbuat ihsan kepada kedua orang tua melalui firman-NYA, “Dan TUHAN-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain DIA dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)
Begitu pun terhadap tetangga. Dalam sebuah riwayat, Jibril dikabarkan sering memberi wasiat kepada Rasulullah SAW untuk berbuat ihsan kepada tetangga. Saking seringnya, Rasulullah mengira mereka akan mendapat warisan (lihat dalam HR. Bukhari). Sikap ihsan tak hanya ditujukan kepada sesama manusia. Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan ihsan kepada binatang. Rasulullah SAW pernah mengisahkan tentang seorang wanita yang masuk neraka karena mengurung kucing dan tidak memberinya makanan (lihat HR. Bukhari)
Sebaliknya, beliau juga pernah bersabda, “Seorang wanita pelacur melihat seekor anjing di atas sumur dan hampir mati kehausan. Lalu wanita itu melepaskan sepatunya dan megikatnya dengan kerudungnya untuk mengambil air dari sumur (untuk memberi minum anjing tersebut). Karena perbuatannya itulah dosanya diampuni.” (HR. Bukhari)

IHSAN DALAM DAKWAH
Sikap ihsan tak sekadar tuntutan dakwah, tapi juga kebutuhan para dai. Benar, di antara motivasi utama dan akhir dari perjalanan dakwah adalah meraih setumpuk pahala. Tapi tak sekedar itu, dakwah harus membuahkan hasil nyata yang terlihat jelas berupa meningkatnya kuantitas dan kualitas mad’u (yang didakwahi). Tentu saja, target itu akan tercapai jika aktivitas dakwah diatur dengan baik dan dimenej dengan rapi. Jika tidak, jalan dakwah akan semakin panjang dan target pun kian sulit tercapai. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Kebathilan yang terencana dan rapi bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terencana.”
Keberhasilan dakwah Rasulullah SAW, para sahabatnya dan salafus shalih bukan hanya faktor ilahiyah (takdir), tapi juga didukung oleh kelihaian mereka dalam memenej dan dan mengatur strategi dakwah. Sebelum negara-negara barat menggaungkan istilah profesionalisme, lebih empat belas abad silam, Islam telah mengajarkan ihsan. Dalam berbagai aktivitasnya Rasulullah SAW dan para sahabat senantiasa melakukan pekerjaan dengan ihsan dan hati-hati.
Ketika wahyu pertama turun dan kegiatan dakwah sirriyah (secara rahasia) pun berlangsung, Rasulullah SAW menjadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah. Beliau tidak memilih rumah lain meski lebih besar dan megah. Dijadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah karena Rasulullah SAW tahu rumah tersebut terletak di atas bukit Shafa, strategis dan tersembunyi dari ancaman orang-orang Quraisy yang bisa menghalangi dakwahnya.
Dalam berbagai peperangan, Rasulullah SAW senantiasa menyusun strategi dan rencana yang rapi. Sehingga kemenangan demi kemenangan dapat diraih. Pendek kata, segala tindakannya Rasulullah SAW selalu mengaturnya dengan baik dan terencana. Selalu berusaha agar aktivitasnya sempurna.

IHSAN YANG UTAMA
Hal di atas adalah ihsan dalam pengertian umumnya, yaitu berbuat baik pada setiap saat dan pada siapapun. Lebih dari itu, ihsan secara khusus adalah ihsan dalam ibadah yang bersifat ritual. Yaitu peningkatan kualitas dalam ibadah. Dalam ibadah tak hanya kuantitas (jumlah), tapi kualitas menjadi faktor penting yang akan memberi nilai pada semua ibadah yang dilakukan. Meski banyak dan sering, ibadah yang tak berkualitas, akan sangat kurang nilainya. Akan tetapi meski hanya sedikit, tapi kualitas maksimal, akan lebih bermakna dan memberi manfaat. Meski tentu saja yang banyak dan berkualitas menjadi target kita semua.
ALLAH berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya DIA menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan DIA Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Rasulullah SAW bersabda, “Engkau beribadah kepada ALLAH, seakan-akan engkau melihat-NYA, atau jika tidak, maka yakinlah bahwa ALLAH selalu mengawasimu.” (HR. Muslim)
Artinya, dalam beribadah, apapun itu, kita harus selalu berusaha mencapai tuntutan ideal dalam ibadah tersebut. Laiknya orang yang hendak mempertunjukkan sesuatu pada seseorang, maka ia akan berusaha untuk menampilkan sesuatu yang maksimal dan terbaik. Segala sesuatu dipersiapkan dengan maksimal dan terbaik. Segala sesuatu dipersiapkan dengan matang dan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semua aspek pendukung akan dikumpulkan dan digunakan sebagai penopang meraih kesempurnaan. Atau sebagai orang merasa diawasi, maka kita akan selalu was-was dan khawatir jika yang mengawasi kita tahu cacat dan cela kita.
Maka dalam melakukan shalat, ihsan adalah usaha untuk mencapai kekhusyu’an dan ketenangan. Raihan-raihan yang bisa dicapai dalam shalat seperti mencegah perbuatan mungkar akan sekuat tenaga dicapai. Dalam puasa, ihsan bisa berupa tetap menjaga keutuhan puasa, baik yang bersifat lahiriyah maupun maknawiyah. Ihsan dalam zakat adalah menjaga niat tetap lurus, tidak menyebut-nyebut pemberian, menghindari sum’ah (ingin agar amalnya dikenang dan disebut-sebut) dan lainnya. Intinya menjaga kualitas dan terus menigkatkannya.
Jika hal ini telah tertanam, maka kebiasaan buruk berupa mengerjakan amalan hanya sebagai penggugur kewajiban akan sirna. Juga kebiasaan meninggalkan sunah karena merasa tidak mengakibatkan sanksi tertentu juga akan tiada. Karena ihsan akan memompa semangatnya agar terus berusaha sebaik-baiknya.
Dan fadhilah (keutamaan) yang besar sebagai hadiah dari yang bisa mencapai ihsan adalah cinta ALLAH. ALLAH berfirman, “Dan berbuat ihsan (baiklah), sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang yang ihsan.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dan di dunia ini, adakah yang lebih berarti dari mencintai-NYA?

Sumber: Ar-Risalah No. 70 April 2007)