Selasa, 29 Juli 2008

BUKAN JALAN BERKABUT

Bid’ah lebih disukai Iblis daripada dosa besar. Karena orang yang melakukan dosa besar mengetahui kesalahannya, sehingga mungkin dia bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah, bukan saja dia tidak menyadari yang dia lakukan mengandung dosa, bahkan ia sangka mendatangkan pahala. Maka sulit diharapkan taubatnya. (Ibnul Jauzi)

Hati hamba yang bersih adalah hati yang bisa terhubung kepada ALLAH tanpa hijab. Hatinya tidak dikotori dengan ibadah kepada selain ALLAH dan terbebas dari berbagai kotoran maksiat. Salah satu penutup hati, yang dapat menghalangi hamba kepada SANG MA”BUD adalah bid’ah (sesuatu yang baru dalam beragama, yang tidak ada perintah yang mendasari berupa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang shahih, tidak dicontohkan dan tidak diperbuat oleh Rasulullah SAW). Bid’ah ini menyelisihi prinsip kewajiban ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah SAW. Padahal salah satu syarat diterimanya ibadah adalah harus ittiba’ kepada Rasulullah SAW.

Tindakan bid’ah adalah tindakan menambah-nambah hal baru dalam agama tanpa dasar yang sah dalam prinsip agama itu sendiri. Maka perbuatan bid’ah ini akan mengakibatkan kekaburan ajaran agama yang murni. Bahkan membingungkan umat, yang mana benar dan yang mana yang salah.

KABUT KEBENARAN

Tidak diragukan lagi berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. ALLAH berfirman, ”Dan bahwa (yang KAMI perintahkan ini) adalah jalan-KU yang lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-NYA. yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)

Maka, meski lebih disenangi nafsu- sebab dianggap sebagai qurbah (sarana mendekatkan diri kepada ALLAH) dan tidak menyimpang dari syariat-, serta diterima oleh khalayak ramai, hakikat bid’ah adalah tetap kesesatan. Ia serupa kabut yang mengepung pandangan mata, sehingga jalan yang lurus sekalipun menjadi samar dan kabur. Ia menipu.

Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya, setiap bid’ah itu sesat.” (HR. An-Nasa’i, Ahmad, Abu Dawud)

Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadits di atas merupakan perkataan yang mencakup keseluruhan. Tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut, dan itu merupakan dasar dari dasar agama. Jadi setiap orang yang mengada-adakan sesuatu, kemudian menisbahkannya kepada agama padahal tidak ada dasarnya di dalam agama sebagai rujukannya, maka orang itu sesat. Islam berlepas darinya; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun bathin.

Ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR. Bukhari)

Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak."

KRITIK TERHADAP SYARI’AT

Keyakinan pelaku bid’ah yang menganggap bahwa yang ia lakukan adalah sebagai qurbah, jalan yang dapat mendekatkan diri kepada ALLAH dan menganggap bahwa boleh untuk melakukan ibadah menurut apa yang dia suka dan baik menurut pandangannya walaupun tidak ada dalil yang shahih dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidak pernah pula Rasulullah SAW melakukan dan mencontohkannya. Pelaku bid’ah dengan perbuatan bid’ahnya beranggapan bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Maka keyakinan orang seperti ini, adalah suatu pelanggaran yang besar, yaitu melampaui hukum-hukum ALLAH dalam membuat syariat dan menyalahi keyakinan bahwa syariat Islam sudah sempurna, sehingga tidak boleh ada penambahan dan pengurangan.

Sedangkan ALLAH telah memberikan jaminan mengenai kesempurnaan Islam sebagai agama, sebagaimana firman-NYA, “Pada hari ini telah KU-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah KU-cukupkan kepadamu nikmat-KU, dan telah KU-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah: 3)

Dan dalam ayat lain ALLAH berfirman, ”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain ALLAH yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan ALLAH?” (QS. Asy-Syura: 21)

PINTU KERUSAKAN

Ketika seseorang condong kepada bid’ah, maka ketahuilah bahwa orang tersebut sedang menjauh dari sunnah dan hidayah. Kadang kita melihat orang seperti itu adalah orang-orang yang bersemangat menghadiri acara-acara bid’ah, tetapi shalat lima waktu berjam’ah di masjid yang jelas merupakan perintah dan sunnah dari Rasulullah SAW, ia tinggalkan. Mereka menganggap acara bid’ahnya lebih penting dari sunnah, atau bahkan lebih utama dari kewajban yang ia tinggalkan. Inilah orang yang tertipu oleh fatamorgana bid’ah.

Bid’ah juga seringkali melemahkan keimanan dan tidak secara langsung menjadikan pelakunya kafir. Maksiat itu ibarat benih yang akan menumbuhkan maksiat – lain – minimal serupa, kemudian bertambah kepada yang lebih berat secara bertahap. Ulama mengatakan, akibat keburukan adalah keburukan sesudahnya. Jika seorang hamba sudah bermaksiat, maka maksiat yang lain akan berkata, ”lakukan aku juga!” dan begitu seterusnya hingga bertambah dan berlipat-lipat.

Seperti kita melihat orang yang berdoa dan bernadzar kepada penghuni kubur ini adalah jelas bid’ah dalam aqidah yang membuat pelakunya melakukan dosa syirik.

Oleh karena itu, bid’ah bagaimanapun baiknya adalah tetap maksiat, yang tidak dapat diremehkan dan harus segera dihentikan. Yang jika tidak akan mengantarkan pada kerusakan lebih besar.

MEMBENTENGI DIRI

agar diri kita terbentengi dari keburukan bid’ah, ada sejumlah hal yang harus kita perhatikan dan kita lakukan.

Pertama, adalah membebaskan diri dari kebodohan tentang hukum-hukum agama. Karena Ilmu wajib sebelum beramal. Sehingga dapat menebalkan keyakinan kita atas kesempurnaan agama. Dan dengan ilmu pula kita dapat mengetahui yang salah dan menyimpang dan memisahkannya dari kebenaran.

Kedua, menyelaraskan nafsu dengan syariat. Pelaku bid’ah dalam melakukan perbuatan bid’ahnya didorong oleh keinginan untuk mendapat kebaikan, berupa kedekatan kepada ALLAH dan ganjaran pahala. Tetapi, karena tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih akhir nya terjatuh kepada memperturutkan prasangka dan hawa nafsu. Sedangkan bid’ah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diperturutkan. ALLAH berfirman, ”... ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari ALLAH sedikitpun.” (QS. Al-Qashshash: 50)

Ketiga, Jangan ash-shabiyah (fanatik) terhadap pendapat orang tertentu saja. Sebab sikap ini, akan menjadikan kita berpihak dan tidak jernih ketika menerima kebenaran. Padahal kita harus menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits di atas pendapat siapa saja, jangan sebaliknya. ALLAH berfirman, ”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan ALLAH," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)

Keempat, meneladani salafus shalih (para pendahulu dalam Islam yang shaleh, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in). Rasulullah SAW bersabda, ”Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan geraham! Dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Ya ALLAH, bimbinglah kami menuju jalan-MU yang lurus dan agar tetap istiqamah di atasnya. Amin.