“Seandainya anak Adam diberi satu lembah yang penuh emas niscaya dia ingin lembah yang kedua, dan jika diberikan kepadanya dua lembah yang berisi emas niscaya dia akan mencari lembah yang ketiga. Tidak akan puas perut anak adam kecuali disumbat dengan tanah dan ALLAH mau menerima taubat orang yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)
Berbagai persepsi orang mengenai kebahagiaan dan kesenangan. Ada yang beranggapan hidup bahagia dengan melimpahnya harta benda. Ada lagi yang menganggap duduk di kursi empuk kekuasaan adalah puncak kebahagiaan. Ada yang menganggap dengan terpenuhinya selera terhadap segala kelezatan makanan. Atau ada yang menganggap hidup glamour dan berpoya-poya adalah kesenangan dan kebahagiaan hidup. Dan masih banyak lagi berbagai persepsi mengenai kesenangan dan kebahagiaa.
Ibarat minum air laut yang asin, semakin diminum semakin terasa haus. Begitulah halnya dengan keinginan manusia. Satu keinginan tercapai, justru menimbulkan seratus keinginan lainnya untuk diraih. Dan segala sesuatu yang diinginkkan manusia tentulah berupa sesuatu yang dianggap manusia mendatangkan kepuasaan, kesenangan, dan kebahagiaan.
Untuk selanjutnya, obsesi manusia itulah yang menentukan arah dan bentuk upaya yang akan ditempuhnya. Maka jika dia salah mendefinisikan kebahagiaan, tentulah akan sesat jalannya dan rugi usahanya bahkan menderita.
MELIMPAH HARTA
Sebagian orang berpendapat bahwa harta yang melimpah bisa membuat hati gembira karena dengannya apa yang dia kehendaki dapat terwujud. Terlihat logis memang. Dan terkadang seseorang bisa jadi merasa puas ketika mendapatkan barang yang diinginkan dengan hartanya. Namun menggantungkan kebahagiaan melulu dari harta jelas merupakan fatamorgana. Terbukti belum pernah ada manusia yang merasa puas dan cukup dengan tumpukan harta yang dimilikinya.
Pas seperti yang digambarkan oleh Nabi SAW, “Seandainya anak Adam diberi satu lembah yang penuh emas niscaya dia ingin lembah yang kedua, dan jika diberikan kepadanya dua lembah yang berisi emas niscaya dia akan mencari ladang yang ketiga.” (HR. Bukhari)
Qarun contohnya. Meskipun dia memiliki kunci gudang harta yang tak mampu diangkat oleh tujuh orang yang kuat-kuat, tak juga merasakan kebahagiaan, yang ada justru kekhawatiran, kegelisahan dan was-was kalau-kalau akankehilangan sebahagian hartanya.
Lagipula yang dimiliki oleh manusia dari hartanya adalah sekedar apa yang dipakainya dan apa yang dimakannya? Adakah dia memakai sekaligus segudang perhiasannya, atau mampukah dia makan di dua meja dalam satu waktu?
Benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi SAW, “Seseorang berkata: “Ini hartaku… Ini hartaku…, padahal dia tiada harta yang dimilikinya selain apa yang dia makan lalu sirna, apa yang dia pakai lalu usang atau yang dia berikan kemudian hilang, yang selain itu akan hilang dan dia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim)
JABATAN TINGGI
Sejak dahulu jabatan selalu dijadikan arena rebutan bagi orang-orang yang haus kekuasaan. Ia seakan identik dengan perolehan puncak dunia. Mungkin dengannya dia merasa bebas berkuasa, atau terpandang di sisi manusia, atau berpotensi mendatangkan banyak materi dan harta benda.
Tidak kita pungkiri, para pemburu kekuasaan akan kegirangan di hari H di mana apa yang dia idamkan dapat terwujud. Namun tak lama kemudian, bayang-bayang kekhawatiran akan hilangnya kekuasaan darinya segara hadir. Rasa khawatir semakin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu, hingga dia tak lagi merasakan nikmatnya jadi pejabat.
Fir’aun potret manusia yang memiliki kedudukan tinggi di hadapan manusia, tidak tanggung-tanggung, dia dituhankan kaumnya dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Toh, bukan klimaks kepuasaan yang dia dapat, bahkan klimaks kekhawatiran yang ditelannya. Bayi-bayi dibunuh karena khawatir puluhan tahun mendatang akan menjatuhkan kedudukannya. Mungkin orang lain hanya mengkhawatirkan beberapa hari yang akan datang, namun dia telah mengenyam kekhawatiran itu puluhan tahun hingga nyatalah mimpi buruk yang ditakutinya. Betul-betul kesengsaraan yang nyata dibalik gemerlapnya tahta.
POULARITAS
Berbagai media, saat ini gencar-gencarnya menawarkan berbagai acara menjadi orang ngetop (terkenal) secara instan. Seperti acara pencarian calon-calon bintang di TV, yaitu dari calon bintang anak-anak, remaja dan sebagainya. Sehingga, tak heran bila kita melihat antrian panjang orang-orang yang ingin mendaftar menjadi bintang ini dan itu.
Ketenaran dan menjadi sentral publik memang tak kalah menggiurkan bagi para pemburu kesenangan. Menjadi bintang kondang, artis beken, dan penyanyi kenamaan dianggap sebagai puncak sukses hidup. Acara-acara artis karbitan yang memang menjadi ajang bagi orang yang ingin menjadi bintang dan penyanyi selalu saja padat pendaftar. Dunia film cukup bangga dengan munculnya tunas-tunas baru.
Namun kepuasaan itupun akan segera luntur seiring dengan bertambah serak dan falesnya suara, keriputnya wajah, melemahnya kekuatannya, dan hadirnya bintang-bintangbaru yang segera menggeser posisinya.
Telah ada bukti nyata, pengakuan dari bintang film yang mencapai puncak ketenaran, Marlyn Monroe misalnya. Dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri setelah menulis jujur betapa kebahagiaan belum pernah ia rasakan.
KEBEBASAN MELIMPAHKAN SYAHWAT
Kebahagiaan disangka sebagian orang terletak pada kebebasan dalam berekspresi, merdeka berbuat apa saja, glamour dan menjadi petualang cinta.
Ujung-ujungnya, karena penasarannya mencari titik kebahagiaan hal-hal yang tidak normalpun dilakukan, padahal naluri dan orang waras menganggapnya sebagai hal yang menjijikkan. Jenuh berhubungan bebas dengan lawan jenis, akhirnya dengan pasangan sejenis, jenuh dengan manusia hewanpun dizinainya, ada pula yang melakukan sadis seks, saking bingungnya mencari titik bahagia.
Demikian juga dengan para pecandu narkoba, dia tidak pernah merasa puas dengan satu jenis candu, tak akan pernah berhenti pada satu jenis merek dan rasa, adapula yang mencampurkan berbagai bahan berbahaya yang menyebabkan nyawanya melayang.
AKHIRAT LEBIH BAIK
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa: 77)
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)” (QS. Adh-Dhuha: 4)
Namun demikian, bukanlah berarti harus meninggalkan segala kehidupan dunia, namun tidak meletakkannya di hati. Sebab, dibanding kebahagiaan akhirat, kekayaan duniawi amatlah sedikit. Rasulullah SAW bersabda, “Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seseorang memasukkan jarinya dalam lautan besar, maka perhatikan berapa dapatnya.” (HR. Muslim)
Jelaslah bagi kita, bahwa kebahagiaan yang didasarkan atas penilaian hawa nafsu adalah kebahagiaan semu. Kepuasaan yang dijanjikan olehnya tak akan pernah bisa diraih meski mulut telah disumpal dengan tanah. Kalaupun ada kesenangan, hanyalah sekejap yang harus dibayar dengan penderitaan abadi. Seperti kambing yang dikenyangkan dan digemukkan pemiliknya, namun disiapkan untuk hewan sembelihan. Begitulah keadaan orang yang melupakan peringatan ALLAH, dia mendapatkan “istidraj” (azab yang disangka nikmat), kelak dia akan kecele.
Sebagaimana firman ALLAH, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, KAMI-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, KAMI siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Semoga kita menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup dan meninggalkan tipu daya kesenganan dunia yang fana.
Sumber Tulisan:
Ar-Risalah
Berbagai persepsi orang mengenai kebahagiaan dan kesenangan. Ada yang beranggapan hidup bahagia dengan melimpahnya harta benda. Ada lagi yang menganggap duduk di kursi empuk kekuasaan adalah puncak kebahagiaan. Ada yang menganggap dengan terpenuhinya selera terhadap segala kelezatan makanan. Atau ada yang menganggap hidup glamour dan berpoya-poya adalah kesenangan dan kebahagiaan hidup. Dan masih banyak lagi berbagai persepsi mengenai kesenangan dan kebahagiaa.
Ibarat minum air laut yang asin, semakin diminum semakin terasa haus. Begitulah halnya dengan keinginan manusia. Satu keinginan tercapai, justru menimbulkan seratus keinginan lainnya untuk diraih. Dan segala sesuatu yang diinginkkan manusia tentulah berupa sesuatu yang dianggap manusia mendatangkan kepuasaan, kesenangan, dan kebahagiaan.
Untuk selanjutnya, obsesi manusia itulah yang menentukan arah dan bentuk upaya yang akan ditempuhnya. Maka jika dia salah mendefinisikan kebahagiaan, tentulah akan sesat jalannya dan rugi usahanya bahkan menderita.
MELIMPAH HARTA
Sebagian orang berpendapat bahwa harta yang melimpah bisa membuat hati gembira karena dengannya apa yang dia kehendaki dapat terwujud. Terlihat logis memang. Dan terkadang seseorang bisa jadi merasa puas ketika mendapatkan barang yang diinginkan dengan hartanya. Namun menggantungkan kebahagiaan melulu dari harta jelas merupakan fatamorgana. Terbukti belum pernah ada manusia yang merasa puas dan cukup dengan tumpukan harta yang dimilikinya.
Pas seperti yang digambarkan oleh Nabi SAW, “Seandainya anak Adam diberi satu lembah yang penuh emas niscaya dia ingin lembah yang kedua, dan jika diberikan kepadanya dua lembah yang berisi emas niscaya dia akan mencari ladang yang ketiga.” (HR. Bukhari)
Qarun contohnya. Meskipun dia memiliki kunci gudang harta yang tak mampu diangkat oleh tujuh orang yang kuat-kuat, tak juga merasakan kebahagiaan, yang ada justru kekhawatiran, kegelisahan dan was-was kalau-kalau akankehilangan sebahagian hartanya.
Lagipula yang dimiliki oleh manusia dari hartanya adalah sekedar apa yang dipakainya dan apa yang dimakannya? Adakah dia memakai sekaligus segudang perhiasannya, atau mampukah dia makan di dua meja dalam satu waktu?
Benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi SAW, “Seseorang berkata: “Ini hartaku… Ini hartaku…, padahal dia tiada harta yang dimilikinya selain apa yang dia makan lalu sirna, apa yang dia pakai lalu usang atau yang dia berikan kemudian hilang, yang selain itu akan hilang dan dia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim)
JABATAN TINGGI
Sejak dahulu jabatan selalu dijadikan arena rebutan bagi orang-orang yang haus kekuasaan. Ia seakan identik dengan perolehan puncak dunia. Mungkin dengannya dia merasa bebas berkuasa, atau terpandang di sisi manusia, atau berpotensi mendatangkan banyak materi dan harta benda.
Tidak kita pungkiri, para pemburu kekuasaan akan kegirangan di hari H di mana apa yang dia idamkan dapat terwujud. Namun tak lama kemudian, bayang-bayang kekhawatiran akan hilangnya kekuasaan darinya segara hadir. Rasa khawatir semakin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu, hingga dia tak lagi merasakan nikmatnya jadi pejabat.
Fir’aun potret manusia yang memiliki kedudukan tinggi di hadapan manusia, tidak tanggung-tanggung, dia dituhankan kaumnya dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Toh, bukan klimaks kepuasaan yang dia dapat, bahkan klimaks kekhawatiran yang ditelannya. Bayi-bayi dibunuh karena khawatir puluhan tahun mendatang akan menjatuhkan kedudukannya. Mungkin orang lain hanya mengkhawatirkan beberapa hari yang akan datang, namun dia telah mengenyam kekhawatiran itu puluhan tahun hingga nyatalah mimpi buruk yang ditakutinya. Betul-betul kesengsaraan yang nyata dibalik gemerlapnya tahta.
POULARITAS
Berbagai media, saat ini gencar-gencarnya menawarkan berbagai acara menjadi orang ngetop (terkenal) secara instan. Seperti acara pencarian calon-calon bintang di TV, yaitu dari calon bintang anak-anak, remaja dan sebagainya. Sehingga, tak heran bila kita melihat antrian panjang orang-orang yang ingin mendaftar menjadi bintang ini dan itu.
Ketenaran dan menjadi sentral publik memang tak kalah menggiurkan bagi para pemburu kesenangan. Menjadi bintang kondang, artis beken, dan penyanyi kenamaan dianggap sebagai puncak sukses hidup. Acara-acara artis karbitan yang memang menjadi ajang bagi orang yang ingin menjadi bintang dan penyanyi selalu saja padat pendaftar. Dunia film cukup bangga dengan munculnya tunas-tunas baru.
Namun kepuasaan itupun akan segera luntur seiring dengan bertambah serak dan falesnya suara, keriputnya wajah, melemahnya kekuatannya, dan hadirnya bintang-bintangbaru yang segera menggeser posisinya.
Telah ada bukti nyata, pengakuan dari bintang film yang mencapai puncak ketenaran, Marlyn Monroe misalnya. Dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri setelah menulis jujur betapa kebahagiaan belum pernah ia rasakan.
KEBEBASAN MELIMPAHKAN SYAHWAT
Kebahagiaan disangka sebagian orang terletak pada kebebasan dalam berekspresi, merdeka berbuat apa saja, glamour dan menjadi petualang cinta.
Ujung-ujungnya, karena penasarannya mencari titik kebahagiaan hal-hal yang tidak normalpun dilakukan, padahal naluri dan orang waras menganggapnya sebagai hal yang menjijikkan. Jenuh berhubungan bebas dengan lawan jenis, akhirnya dengan pasangan sejenis, jenuh dengan manusia hewanpun dizinainya, ada pula yang melakukan sadis seks, saking bingungnya mencari titik bahagia.
Demikian juga dengan para pecandu narkoba, dia tidak pernah merasa puas dengan satu jenis candu, tak akan pernah berhenti pada satu jenis merek dan rasa, adapula yang mencampurkan berbagai bahan berbahaya yang menyebabkan nyawanya melayang.
AKHIRAT LEBIH BAIK
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa: 77)
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)” (QS. Adh-Dhuha: 4)
Namun demikian, bukanlah berarti harus meninggalkan segala kehidupan dunia, namun tidak meletakkannya di hati. Sebab, dibanding kebahagiaan akhirat, kekayaan duniawi amatlah sedikit. Rasulullah SAW bersabda, “Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seseorang memasukkan jarinya dalam lautan besar, maka perhatikan berapa dapatnya.” (HR. Muslim)
Jelaslah bagi kita, bahwa kebahagiaan yang didasarkan atas penilaian hawa nafsu adalah kebahagiaan semu. Kepuasaan yang dijanjikan olehnya tak akan pernah bisa diraih meski mulut telah disumpal dengan tanah. Kalaupun ada kesenangan, hanyalah sekejap yang harus dibayar dengan penderitaan abadi. Seperti kambing yang dikenyangkan dan digemukkan pemiliknya, namun disiapkan untuk hewan sembelihan. Begitulah keadaan orang yang melupakan peringatan ALLAH, dia mendapatkan “istidraj” (azab yang disangka nikmat), kelak dia akan kecele.
Sebagaimana firman ALLAH, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, KAMI-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, KAMI siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Semoga kita menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup dan meninggalkan tipu daya kesenganan dunia yang fana.
Sumber Tulisan:
Ar-Risalah