Jumat, 18 Juli 2008

Mulia Dengan Ilmu

“Niscaya ALLAH akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan ALLAH Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Mujadilah: 11)

Ilmu merupakan salah satu kelebihan yang diberikan ALLAH kepada manusia, termasuk perangkat-perangkat untuk mencari ilmu itu sendiri. Hal ini pulalah yang menjadikan manusia mulia dan menjadi khalifah di muka bumi. Namun demikian, potensi ini juga dapat menjadi bumerang jika tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya AKU hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa ENGKAU hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji ENGKAU dan mensucikan ENGKAU?" TUHAN berfirman: "Sesungguhnya AKU mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah: 30)

KEUTAMAAN ILMU
ALLAH jelas-jelas membedakan derajat orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Ilmu yang dimaksud ilmu syar’i. walaupun sama-sama diberi perangkat-perangkat untuk mencari ilmu, rupanya tidak setiap orang mau dan mampu memanfaatkan potensi ini. Oleh karena itu, wajar jika ALLAH memberikan penghargaan tersendiri bagi orang-orang yang mau mencari ilmu.

“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(QS. Az-Zumar: 9)

Dalam Al-Qur’an, ALLAH senantiasa mengaitkan kata al-Alim (Maha Mengetahui) dan al-Hakim (Maha Bijaksana). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara ilmu dengan kebijaksanaan. Kebijaksanan yang dimaksud di sini bukan hanya mampu membedakan yang benar dan yang salah sebagaimana ilmu yang dimiliki, namun juga mampu mensikapi segala sesuatu dengan tepat, sesuai pada porsinya. Termasuk pula kebijaksanaan adalah bagaimana seseorang menempatkan ilmunya itu bagi dirinya sendiri, orang lain dan ummat secara umum.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai pendidik terbaik mencontohkan bagaimana Beliau mengambil langkah bijak tatkala ada orang Badui yang kencing di masjid. Umar yang melihat hal ini tentu saja ingin memarahi orang Badui tersebut. Namun oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam segera dicegah. Sebagai upaya pemecahan masalah, Umar diminta untuk menyiram bekas air kencing dahulu, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan bahwa orang Badui itu orang yang tidak tahu, sehingga tidak bisa langsung dimarahi.
Seorang yang berilmu pada akhirnya dituntut untuk mengajarkan ilmunya. Tak hanya itu, ia juga harus pandai memilih materi yang sesuai dengan kadar dan tingkat kemampuan orang lain, termasuk memilih orang yang berhak mendapat ilmu dan tidak memerikan kepada orang selainnya.

Pada perkara terakhir ini, Katsir bin Umar berkata, “Jangan engkau sampaikan hikmah kepada orang-orang bodoh sehingga mereka mendustakanmu, jangan engkau sampaikan kebathilan kepada orang-orang bijak sehingga mereka akan membencimu, janganlah engkau halangi ilmu dari orang yang berhak mendapatkannya sehingga kamu berdosa, dan janganlah engkau sampaikan kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya sehingga engkau menjadi orang bodoh. Engkau mempunyai kewajiban terhadap ilmu sebagaimana engkau mempunyai kewajiban terhadap harta yang engkau miliki.

Kebijaksanaan ini pula yang tampak tatkala ALLAH memilih Adam sebagai khalifah bumi. Amanah sebagai khalifah dimuka bumi ini bukan semata-mata manusia yang paling mulia di antara makhluk ALLAH yang lain. Bahkan dalam masalah ketaatan, malaikat justru jauh lebih unggul dibandingkan dengan Adam. Namun untuk urusan dunia, rupanya ALLAH lebih memilih Adam sebagai khalifah-NYA. Jika para malaikat mempunyai keutamaan karena kemuliaan yang diberikan kepada mereka, maka ulama (orang yang berilmu) juga memiliki keutamaan karena kemuliaan yang telah dianugerahkan kepada mereka. Di sinilah ALLAH dengan segala keijaksanaan-NYA menempatkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Dan tak jarang, kebijaksanaan-kebijaksanaan ini yang sulit diterima dengan akal manusia. Wajar, jika dibandingkan dengan ilmu ALLAH, tiadalah ilmu manusia kecuali sedikit. Bahkan sangat sedikit.


TERGELINCIRNYA ORANG BERILMU

Ilmu sesungguhnya sebanding dengan amal. Jadi ilmu bukan hanya sebatas pengetahuan, pemahaman, atau hafalan saja. Lebih dari itu, salah satu sifat orang berilmu atau pencari ilmu adalah mengamalkannya sebelum menyebarluaskan.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ilmu itu bukan sekedar apa yang dihafal, tetapi yang dimaksud ilmu adalah yang bermanfaat.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Belajarlah, kemudian siapa yang mengetahui suatu ilmu, maka hendaklah ia mengamalkannya.”

Lebih jauh, Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai pembawa ilmu. Sesungguhnya yang dinamakan orang ‘alim adalah orang yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya dan amalnya sesuai dengan ilmunya. Mereka duduk melingkar berkelompok-kelompok dan saling membanggakan satu dengan yang lainnya sampai-sampai ada di antara mereka yang marah kepada teman duduknya ketika teman duduknya itu duduk bermajelis dengan orang lain dan meninggalkan dirinya. Amalan-amalan mereka di majelis itu tidak akan bisa naik menuju ALLAH.”
Jadi kalau mengikuti konsep Al-Qur’an, keberadaan ilmu itu seharusnya membawa kebijaksaan bagi manusia.

Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang (nampak) berilmu, tapi amalannya sangat tidak mencerminkan ilmu yang dimilikinya. Na’dzubillahi minzalik. Lebih fatal lagi, jika keberadaan ilmu membuat seseorang menjadi sombong, merasa bahwa dirinyalah yang terbaik, sehingga sulit sekali menerima ilmu dan kebenaran dari orang lain. Hal ini tentu saja berkaitan dengan banyak hal, terutama niat dalam menuntut ilmu.

Abu Utsman pernah bertanya melalui surat kepada Muhammad bin Fadhl, “Apa tanda kesengsaraan itu?” Dia menjawab, “Ada tiga. Di antaranya yang pertama, seseorang yang diberi kemampuan untuk beramal, tapi tidak diberi keikhlasan. Kedua mendapatkan kesempatan untuk bersahabat dengan orang-orang shalih, tetapi tidak mau menghormati mereka.”

Dengan demikian, sungguh tipis jarak antara kemuliaan dengan kehinaan. Betapa ALLAH telah memberikan kemuliaan-kemuliaan kepada manusia, namun jika tidak hati-hati akan tergelincir pada jurang kehinaan. Maka sebagai pencari ilmu, sudah seharusnya kita mengetahui dan menyadari bahwa ilmu yang dilimpahkan kepada kita semata-mata karena kuasa dan nikmat dari ALLAH.

Maka sungguh, bagi orang-orang berilmu, akan tercipta pribadi-pribadi tawadhu’ dan takut kepada ALLAH. Karena inilah tanda-tanda ilmu yang baik dan bermanfaat.
“Sesungguhnya yang takut kepada ALLAH di antara hamba-hamba-NYA hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu).” (QS. Fathir: 28)

MEMOHON ILMU YANG BERMANFAAT

Jadi tak layak kita merasa sudah cukup dengan ilmu yang telah kita miliki. Sudah selayaknya kita memohon kepada ALLAH agar diberi kekuatan, kemudahan dan keistiqomahan untuk menuntut ilmu. Selebihnya, kita juga harus senantiasa meminta difahamkan dan diberi ilmu yang bermanfaat.

“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh ALLAH, pasti DIA akan memahamkan agama padanya. Sesungguhnya aku hanyalah orang yang membagi, sedangkan ALLAH yang memberi. Umat ini senantiasa akan tetap menegakkan perintah ALLAH, sementara orang-orang menyelisihi mereka tidak akan sampai membahayakan mereka sampai datangnya urusan ALLAH, sedang mereka tetap di atas kebenaran.” (HR. Bukhari)

“Maha Suci ENGKAU, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah ENGKAU ajarkan kepada kami” (QS. Al-Baqarah: 32)