Jumat, 11 Juli 2008

PERINTAH DAN LARANGAN

“Dan AKU tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-KU.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ayat di atas menjelaskan bahwa tujuan ALLAH menciptakan manusia adalah untuk beribadah, yaitu menjalankan segala perintah-NYA dan menjauhi apa yang dilarang-NYA.
ALLAH juga dalam ayat lain menyatakan bahwa tujuan diciptakan manusia adalah sebagai ujian untuk mengetahui siapakah yang paling baik amalnya. ALLAH berfirman, “Maha Suci ALLAH Yang di tangan-NYA-lah segala kerajaan, dan DIA Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya DIA menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan DIA Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)
Maka yang dimaksud dengan ibadah adalah menjalankan segala yang di perintahkan oleh ALLAH dan menjauhi apa yang dilarang-NYA.

MENTAATI ALLAH
Sangat banyak sekali di dalam Al-Qur’an ayat yang memerintahkan kita untuk taat kepada ALLAH.

Diantara ayat-ayat tersebut adalah:

“Katakanlah: "Ta'atilah ALLAH dan Rasul-NYA; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya ALLAH tidak menyukai orang-orang kafir." (QS. Ali Imraan: 32)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah ALLAH dan taatilah Rasul (NYA), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada ALLAH (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada ALLAH dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
“Katakanlah: "Taat kepada ALLAH dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat ALLAH) dengan terang." (Qs.An-Nur:54)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah ALLAH dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)
Ketaatan kepada ALLAH tidak datang begitu saja. Ia akan datang setelah ia yakin dan percaya kepada ke-Esaan ALLAH dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma wa Shifat. Yakin secara rububiyyah maksudnya menyakini hanya ALLAH satu-satunya sebagai Pencipta alam semesta dan memeliharanya, serta yang menjamin rejeki seluruh makhluk-NYA. Yakin secara uluhiyyah artinya menyakini ALLAH sebagai satu-satunya yang berhak disembah, dan tidak menyekutukan-NYA dengan segala sesuatu. Yakin secara Asma’ wa Shifat artinya kita menyakini ALLAH mempunyai nama-nama dan sifat-sifat seperti yang disebutkan-NYA di dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang shahih, dengan tanpa mentakwilnya (meyerupakan) dengan makhluk.
Jadi semakin tebal keyakinan seseorang dalam hal tersebut di atas, maka akan semakin kuat pula ketaatannya kepada ALLAH. Kuatnya aqidah seseorang berbanding lurus dengan ketaatannya kepada ALLAH. Tidak bisa dikatakan kuat akidahnya jika seseorang keluar dari ketaatan kepada ALLAH.

TIGA PERINTAH
Para ulama mengklasifikasikan perintah ALLAH itu menjadi tiga; yaitu wajb atau fardhu; sunnah atau mustahab; dan ibahah atau mubah. Wajib atau fardhu adalah perintah ALLAH yang barangsiapa meninggalkannya mendapatkan ancaman siksa. Misal perintah yang wajib adalah shalat lima waktu, puasa Ramadhan, berbakti kepada kedua orang tua dan sebagainya. Sunnah atau mustahab adalah perintah ALLAH yang barangsiapa meninggalkannya tidak dicela atau tidak berdosa. Misalnya: shalat dhuha, shiyam arafah, shadaqah dan lain sebagainya. Ibahah atau mubah adalah perintah ALLAH yang barangsiapa mengerjakan ataupun meninggalkannya tidak dicela. Meski tidak dicela, namun yang mubah ini tidak boleh ditinggalkan secara mutlak. Karena jika ditinggalkan sama sekali, maka mudharatlah yang akan datang. Misal dari yang mubah ini adalah makan, minum, tidur, berbicara dan lain sebagainya.
Klasifikasi ini tidak dimaksudkan untuk membuat kita malas dalam melaksanakan perintah ALLAH; hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja sedangkan yang sunnah ditinggalkan. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk memudahkan kita dalam menentukan prioritas; hal mana terkadang seseorang pada saat yang sama dibebani oleh lebih dari satu perintah. Dengan mengetahui mana yang wajib, yang sunnah dan yang mana yang mubah, maka ia bisa mendahulukan yang wajib di atas yang sunnah, mendahulukan yang sunnah di atas yang mubah. Misal di saat hari Senin atau Kamis pada bulan Ramadhan, apakah ia akan mendahulukan Puasa Ramadhan atau Puasa Senin-Kamis, dengan mengetahui Puasa Ramadhan adalah wajib maka ia akan mengutamakan mengerjakan Puasa Ramadhan dibandingkan dengan puasa Senin-Kamis yang sunnah.

MANAJEMEN KETAATAN
Tak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki status sosial yang berbeda-beda. Ada pemimpin dan ada yang dipimpin, ada guru ada murid, ada mandor ada buruh, ada suami ada istri, ada orang tua ada anak, dan seterusnya. Untuk itu ada manajemen ketaatan yang harus dipedomani oleh orang beriman.
Ketaatan kepada ALLAH adalah mutlak adanya. Tidak boleh ada ketaatan kepada siapapun yang mengalahkan ketaatan kepada ALLAH. Misal bila waktu adzan shalat telah tiba, walaupun kita sedang rapat dengan atasan, maka kita wajib memenuhi panggilan adzan tersebut. Bahkan ketaatan kepada Rasulullah pun itu harus dalam rangka taat kepada ALLAH. Demikian juga ketaatan kepada ibu bapak.
ALLAH berfirman, “Dan KAMI wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu - bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan AKU dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-KU-lah kembalimu, lalu AKU kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8)

MENINGGALKAN KEMAKSIATAN
Diantara ayat-ayat yang melarang mengerjakan maksiat adalah, “Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka (maksiat) dan selalu melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 78)
“Dan KAMI memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada TUHAN melainkan TUHAN yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada ALLAH)." Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka (maksiat) sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 90-91)
Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada TUHAN-ku." (QS. Az-Zumar: 13)

MUDHARAT MAKSIAT
Sebenarnya meninggalkan kemaksiatan sebagaimana mengerjakan kewajiban adalah semata-mata untuk kebaikan kita. Dan bagi ALLAH tidak bermudharat sedikitpun kemaksiatan seluruh manusia dan tidak butuh sedikitpun kepada ibadah kita. Atau bahasa sederhananya ALLAH tidak akan rugi sedikitpun bila semua manusia bermaksiat dan tidak akan untung sedikitpun andaikan seluruh manusia taat kepada-NYA.
Ibnul Qayyim menyebutkan, mudharat maksiat itu antara lain:
 Kemaksiatan merusak tubuh dan akal. Tidak ada pakar kesehatan yang mengingkari bahayanya minum minuman keras dan zina.
 Kemaksiatan membuat pelakunya terhina di hadapan masyarakat. Seorang pencuri akan dianggap hina dalam masyarakat dan tidak dipercayai.
 Kemaksiatan dapat menghalangi pelakunya dari rejeki yang halal dan berkah, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah KAMI akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat KAMI) itu, maka KAMI siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)

Demikianlah, andaikan ALLAH tidak mengancam dengan siksa, maka dengan melihat mudaharatnya saja seharusnya kita sudah harus meninggalkan maksiat tersebut.

Sumber: Ar-Risalah No. 65 Tahun 2006